Sore ini, layang-layang memenuhi langit. Warna-warninya menghiasi birunya langit berlatarran. gedung megah perkantoran. Aku berdiam diri di lantai dua, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Melihat kejadian-kejadian kecil di keramaian bawah sana, lalu kembali menatap layang-layang yang saling beradu. Sebuah layangan barwarna cerah menarik perhatianku.
Entah angin yang membawanya mendekat, atau memang si pemain yang sengaja, benda terbang itu berada di depanku. Meski geraknya masih tidak beratguran, tapi tulisan kontras dengan latar merahnya membuatku menoleh ke bawah.
Lihat ke bawah.
Lambaian dari seseorang membuatku tercengang. Reno?
Aku segera turun ke bawah, dan mendapati seseorang dari balik pintu. Lelaki berkaus kasual itu memegang benang kusut di tangannya.
"Ngapain ke sini?"
"Sinis banget kamu. I just want to meet you."
Reno seketika menyerahkan gumpalan benang kusut dengan karton itu ke tanganku. Goresan darah di tangannya membuatku berhenti mengulurkan tangan untuk menerima benang layangan.
"Itu kenapa?" aku menunjuk ke ibu jari tangan kanannya.
"Oh, ini.... Ini... Ah, tadi kegores kursi warung waktu beli benang layangan."
Aku mengangguk mengerti.
"Jalan, yuk." Reno menarik tanganku.
"Ke mana?"
"Udah, ikut aja, daripada bengong di rumah."
Tangan kekarnya menarikku yang mau tak mau ikut. Sebuah layangan biru terbuang di tempat sampah depan rumahku. Aku tidak sengaja melihat sampah itu saat melewatinya. Mungkinkah tadi ada anak-anak yang membuang layang-layang di sini? Tapi, layang-layang itu masih baru.
Reno PoV
Sial, untung gak keduluan si cowok itu. Pokoknya hari ini Rina harus bareng gue. Coba kalo gak gue kasih pelajaran tadi. Of course dia bakal kasih layang-layang sok romantisnya itu ke Rina duluan. Suara penjual makanan yang lewat membuat gue tersadar secepat mungkin.
Coba aja kalo bukan sama Rina sama keluarganya, gue ogah ngomong aku-kamu. Rina, cewek berambut tanggung itu memiliki aura yang sama dengan Chika. Sekali gue suka, gue gak bakal kasih kesempatan dia pergi lagi kayak Chika. Apapun keadaannya. Angin pagi itu menemani lengangnnya jalanan.
Di hari libur kayak gini, hanya satu dua kendaraan yang sibuk. Sisanya, memilih berjalan kaki dan bersantai di barisan payung-payung kafetaria. Gue menghela napas, memandangi cewek yang sekarang berjalan di depan gue.
Sayang, kenapa harus dia targetnya? Pokoknya gue gak mau biarin dia disiksa sama Alea, cewek gila itu.
Langkah Rina makin cepet, sedikit berlari kecil menuju restoran cepat saji di dekat sini. Caranya berbicara, memiliki bumbu-bumbu sinis, mirip sama Chika. Seandainya sekarang dia masih di sini, gue gak akan susah-susah ngejer Rina yang jelas-jelas cuma kelinci yang kejebak perangkap kakaknya, juga cewek yang jatuh cinta sama cowok sederhana kayak Dion.
Sebuta apasih cinta? Sampe yang gak bisa kasih apa-apa aja dikasih hati.
"Bisa dapet apa sih lu dari cowok miskin itu?" gumam gue pelan. Supaya gadis manis yang sedang jingkrak-jingkrak riang ngeliat menu di depannya. Udah berapa lama ni anak gak makan di luar?
Gue menggelengkan kepala.
Restran semakin ramai, sementara pelayan mencatat pesanan, gue mengedarkan pandnagan ke sekitar. Mata gue berfokus pada objek di meja keempat. Aku menghembuskan napas kasar. Seorang wanita bertopi dan bermasker mengenakan jaket biru tebal duduk manis. Diam-diam menatap Rina.
Gue maju sedikit, memperkirakan sudut pandang wanita itu, lalu menghalangi pengelihatannya terhadap Rina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Hujan?
Teen FictionBerbicara cinta, ia tidak melulu datang saat dicari. Seringkali ia datang, justru ketika kita lupa akan dirinya. Berbicara hujan, aku tidak pernah menemukan kebahagiaan di dalamnya, tidak pula cinta. Aku hanya menemukan tetes bodoh yang terus mener...