Bab 11: Pameran Lukisan

83 14 8
                                    

           "Jalan apa ngesot? Lama amat." Dengan tidak sabaran, Airen meraih tanganku. Sedikit menarikku yang sedari tadi memandang tidak selera ke barisan lukisan, yang katanya "bernilai seni tinggi", entah iya tau tidak. Airen yang sedari tadi sibuk singgah dari satu lukisan ke yang lain memandang dengan mata yang berbinar-binar. Aku? Seorang anak sastra yang terjebak di pameran lukisan ini karena sepupu tercintaku.

            Baru selangkah kakiku keluar dari gerbang sekolah, Airen sudah menyambut dengan motornya. Dengar-dengar mobilnya disita Om Rudy gara-gara tertangkap basah ke club. Jadi, dapat kusimpulkan bahwa anak fakultas hukum sepertinya pun bisa berbuat khilaf.

            Sebuah lukisan corat-coret yang menjadi ikon utama pameran terpampang jelas di depan kami. Sementara Airen asik menelusuri tiap warna yang campur aduk, aku – mau tdak mau – memandang sekitar, mencari lukisan yang lebih menarik. Dan... Ah! Sepasang mataku menangkap lukisan kecil di ujung sana.

            Langkahku kupercepat setelah yakin dengan dugaanku. Hawa pengap menyergapku ketika menyempil di antara orang-orang yang mengerumuni potret gadis di dinding sebelahnya.

           Iya, ini dia. Tanganku hendak menyentuh lukisan itu, merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dan... Lihat! Bahkan nama pelukisnya tidak ada. Kosong. Lukisan berhantu? Oh, yang benar saja... Ini terlihat nyata. Bahkan, kurasa ini satu-satunya lukisan tanpa corat-coret tidak jelas. Sapuan kuasnya terlihat begitu detail, apalagi ketika menggambarkan semilir angin yang berhembus.

             "Rina!" sebuah tangan melambai ke arahku.

            "Dion?"

           "Hai, lagi apa? Suka lukisan juga?"

           "Ah.. Oh, ga nemenin sepupu aja."

            Wajah dinginnya di kejauhan, berubah menyejukkan ketika mendekatiku.

          "Wah, kamu suka lukisan ini?"

            Bukan aku yang menyukainya, mungkin saja lukisan ini yang menyukaiku, rasa-rasanya benda ini selalu menjadi hantu beberapa waktu belakangan. Kuenyahkan pikiran itu.

           "Ah, iya..."

           Mata pekatnya ikut menatap benda di hadapan kami. Lalu, seulas senyum kecil menghiasi wajahnya.

           "Dia... mirip kamu Rin."

           "Benarkah?"

           "Iya, cantik."

           "Bahkan, wajahnya aja gak keliatan. Ini kan siluet."

          "Kalau seandainya itu kamu, pasti cantik."

           Diam-diam, ketika sepasang mata kami bertemu, aku merasa aneh. Entah, perasaan itu muncul dengan sendirinya. Ini bukan sepenuhnya perasaan jatuh cinta. Ada rasa lain yang aneh. Aku tahu betul perasaan jatuh cinta, meski jika berbeda  orang akan berbeda pula  rasanya. Karena aku... pernah jatuh cinta. Dan Dion, bukan cinta pertamaku, entah akan jadi yang terakhir, atau pelengkap saja.

            Suara Airen memecah lamunan kami masing-masing. Ia melirik Dion. Tatapannya bertanya, seolah-olah ia baru kali ini bertemu teman sepupunya yang terkenal pendiam dan mahluk non-sosial.

            "Ayo, pulang Rin. Tadi Papa nelfon." Ucap Airen sembar meraih tanganku.

            "Yaudah, aku pamit dulu ya Dion. Daa..." aku melambai, lalu pergi. Menyalip kerumunan orang yang masih sibuk ke sana kemari menjelajahi ruang nan luas ini. Perjumpaan kami tadi semakin membuatku penasaran. Perasaan itu muncul, ketika Dion menunjuk lukisan itu.  Apa semuanya berhubungan?

            Lampu merah menyala redup di bawah langit mendung. Simpang tiga pada oleh kendaraan. Di balik masker, hidungku sudah tidak tahan lagi oleh udara pengap ini. Aku bergerak risih, membuat Airen menegurku. Di jalan sebelah kanan, rombongan orang menyeberang. Wanita berbaju putih di antara gerombolan penyeberang itu melirikku. Loh?! Itu kan... gadis itu... Chika?

            Dan, pertengahan tahun ini yang harusnya kuhabiskan dengan belajar materi ujian, malah dihabiskan dengan memikirkan lukisan dan gadis itu. Ah, berbicara tahun ini,  sudah minggu kedua sejak aku bertemu Kak Alena. Jadi, apakah aku harus benar-benar menemuinya kelak?

T

Kenapa Hujan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang