"Akh..." Aku mengeluh ketika tanganku tergores ujung ayunan, meninggalkan garis merah di ibu jariku. Sepulang sekolah, terlepas dari rentetan pelajaran, langkahku membawaku ke taman bermain ini. Ketika menyentuh rantai ayunan, rasa hangat mentari sore menjamah kulitku, masih dengan hangat mentari yang sama, di taman yang sama, di waktu yang berbeda.
Aku menunduk, menatap pasir halus kecokelatan, menghalau cahaya matahari mengenai wajahku dengan rambutku yang terurai. Sebuah bayangan membuatku mendongak.
"Hai..." Senyum itu. Senyum yang sama dengan dua hari yang lalu. Senyum yang kemarin kuharap dapat kulihat. Dia lelaki yang kutemui di toko buku, ia juga lelaki yang menjemput gadis kecil dua hari yang lalu di taman ini. Lelaki itu duduk di ayunan sebelahku. Sejenak, tidak ada satu pun dari kami yang berbicara.
"Kulihat, kamu sering duduk di sini." Lelaki itu membuka pembicaraan.
"Ehm, ya, akhir-akhir ini aja."
"Kalau boleh tau, namamu siapa? Aku Dion Fradika, panggil aja Dion."
Dion menyodorkan tangannya. Aku tersenyum tipis. Kurasa dia orang baik.
"Meirina Gloria, panggil aja Rina."
Aku menjabat tangannya, membiarkan jari-jari nan kokoh merengkuh jari-jari mungilku. Kemudian, keheningan kembali tercipta di antara kami.
Tiba-tiba bulir air jatuh dari angkasa. Hujan. Sekarang memang musim hujan, di saat siang begitu terik dan sore begitu basah. Kami beranjak, berteduh ke atap bangunan bercat warna-warni di taman bermain. Seingatku, dulu di sini adalah tempat penitipan anak dengan taman bermain yang dibuka untuk umum."Hei, hujan mulai reda..." ucapku ketika rinai semakin jarang. Kami keluar dari area taman bermain, meninggalkan dua ayunan basah.
"Kamu masih sering ke toko buku?" tanyaku sembari menyusuri jalan bersama Dion."Kadang-kadang."
Aku mengangguk menjawab jawaban singkat Dion. Ujung jari telunjukku menyentuh sesuatu. Aku menoleh, mendapati sebuah daun kemerahan dari pohon di dekat kami, teronggok bisu di kursi. Daun itu bolong di tengahnya, menampilkan secercah warna putih cat kursi. Perpaduan warna yang kontras.
Aku mengambil daun itu.
"Kamu tahu gak... Kita pernah bertemu sebelumnya."
"Hah?"
"Kita bertemu karena tuh daun."Tunggu. Apa? Mataku membelalak kaget. Sore itu, daun itu, dan laki-laki itu. Aku menoleh pada Dion, melihat senyum tipis yang mengingatkanku pada kejadian yang lalu. Ah, bodohnya. Aku mengerjapkan mata, mengalihkan pandangan dari Dion. Baiklah, tidak apa-apa Rina lagipula itu sudah lama terjadi. Lima hari yang lalu, menurutku itu lama. Dan harus lama. Walaupun lama tidaknya itu relatif.
Kami berbincang kecil, tertawa di sela-sela perbincangan. Lambat laun aku mengenal sosok di sampingku ini. Cara bicaranya menegaskan kedewasaannya. Cara berbicara yang menampakkan usia yang jauh lebih matang dari usianya yang sebenarnya.
Sesekali ia menampakkan kecanggungan, menoleh menghadap sisi lain, menghindari tatapan denganku. Bukankah itu manis? Harusnya demikian. Dan memang demikian.
Aku meliriknya, ketika kepalanya merunduk menatap barisan batu kecil di taman. Teman? Aku membutuhkannya? Cukup. Aku menghentikan pikiran itu, menolak menggantung harapan, bak sarang di dahan cemara, terlalu tinggi, sehingga angin dengan gemulai menyentilnya, predator dengan suka cita menukik ke arahnya. Malang sekali.
"Sebenernya, apa sih yang kamu lihat waktu itu?"
Lelaki ini mulai mengungkit-ungkitnya lagi.
"Aku... Aku cuma memandang pasangan orang tua lansia di seberang sana, mereka terlihat serasi dengan dua pasang tangan renta yang melempar remah-remah roti dan satu dua batu, menciptakan kecipak air."
"Indah banget?"
Aku mengangguk pasti, memberi jawaban yang kuharap cukup meyakinkannya.
"Pasti banyak yang mereka lalui. Hal-hal bahagia, sulit, kejadian-kejadian memalukan dan menyakitkan. Ehm.. Bagaimana mungkin dua manusia yang berbeda hampir di segala sisi, bisa menjadi satu hanya karena ikatan cinta?"
Dion mengangguk kecil. Tangannya merogoh saku, sementara aku masih memandang ke depan, memegang daun dan memutar-mutarkan tangkainya di tanganku. Sepersekian detik kemudian, ia mengeluarkan sesuatu. Aku menoleh.
"Rina... ini... pilih dan ambil salah satunya.."
Aku melihat dua buah figurin berpasangan. Yang satunya seorang gadis berambut hitam sebahu dengan syal merah, di hadapannya, seorang lelaki berbadan jangkung memegang payung hitam. Figurin itu saling berhadapan, memberikan tatapan terbaik satu sama lain.
Dion menyodorkan dua figurin itu. Aku meraih satu di antaranya, lelaki berbadan jangkung itu.
"Eh.. Kamu memilih yang laki-laki?"
"Loh, kenapa? Kan kamu meminta aku mengambil salah satunya. Aku lebih suka yang laki-laki. Dia keliatan tampan."
Aku tersenyum lebar. Minggu-minggu bahkan bulan-bulan terakhir aku lewati dengan kesepian. Dan sekarang, sebuah rasa mekar, semacam rasa, memiliki teman. Aku menyimpannya di saku.
"Rina... kamu sibuk akhir-akhir ini?"
"Tidak juga, hanya persiapan menjelang ujian. Kenapa?"
"Ehm... Aku... Eh, kita bisa bertemu lagi? Mungkin besok, atau lusa, atau kapan saja."
Aku menyimpan tawaku.
"Tentu saja, kapan saja."
Aku menyodorkan catatan kecil berisi nomor ponsel dan alamat rumahku.
"Aku pulang dulu, dah..." Telapak tangan kokoh itu menutup perjumpaan kami. Aku berbalik pulang. Baru dua langkah, aku kembali berbalik, menoleh tepat ketika punggung itu berangsur hilang di tikungan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Hujan?
Teen FictionBerbicara cinta, ia tidak melulu datang saat dicari. Seringkali ia datang, justru ketika kita lupa akan dirinya. Berbicara hujan, aku tidak pernah menemukan kebahagiaan di dalamnya, tidak pula cinta. Aku hanya menemukan tetes bodoh yang terus mener...