Bab 3: Dentang Jam Pukul Empat

243 81 54
                                    

"Sore itu matahari begitu terik, melupakan tetes-tetes hujan yang baru saja reda. Aku masih mengingatnya. Bahkan masih lekat di ingatanku. Aku masih berumur delapan belas tahun saat itu, berjalan melewati taman bermain. Kau masih kecil sekali waktu itu, duduk diam di ayunan taman bermain. Kau memanggilku seolah-olah melupakan hari-hari buruk yang kita lalui. Detik pertama aku bahagia melihat gadis kecil itu dengan senyumnya memanggilku.

Namun, untuk detik berikutnya, aku membenci itu. Kamu bagian dari mereka, bagian dari kehangatan dan kasih sayang yang tumbuh bersama canda tawa. Dan aku? Aku bagian dari kenangan buruk. Aku tersenyum untuk berikutnya mengutuk diriku, kenapa aku masih saja tersenyum pada anak itu? Aku meneruskan langkahku.

Untuk itu, hari-hari berikutnya aku tak ingin lagi mengingatmu. Menyambut malam tiba dan terbangun dengan senyuman palsu. Aku berusaha berjuang  di atas nama cinta yang kuagung-agungkan yang justru membuatku jatuh jauh ke dalam penyesalan.

Cuma itu. Cuma itu sekelabat kenangan yang masih sanggup kutulis, selebihnya terlalu buruk untuk ditulis. Tapi, aku merasa berhak atas sebagian kecil milikmu ini, bersamaan dengan surat ini.

Dan, untukmu gadis manis yang kini telah tumbuh dewasa, kuperingatkan: "Berhati-hatilah ketika kelak kamu jatuh cinta, karena jatuh cinta siap untuk jatuh ke dalam cinta dan siap untuk jatuh karena cinta." Ngomong-ngomong, apa kau menunggu panggilan ketiga dariku?"

Aku menutup kertas itu, meremasnya hingga tanganku bergetar lalu membuangnya ke sudut ruangan. Aku meraih amplop cokelat itu. Tepat seperti dugaanku, surat-surat penandatanganan ahli waris untuk menghibahkan sebagian dari kekayaan keluargaku digandakan hingga berlembar-lembar, tugasku hanya mengambil pena dan menandatangani lembar demi lembar.

              Tapi, tidak. Bukan karena aku seorang yang gila harta. Untuk apa harta itu? Bahkan, berapa miliar rupiah atau bahkan dollar tidak akan mampu menghapus kesepianku. Sebuah kebahagiaan terlalu mahal dibayar dengan tumpukan materi.

***

Aku membuka mata, rasa haus mencekik kerongkonganku. Aku menyibak tirai jendela, melihat langit yang masih gelap dan lampu-lampu di kejauhan yang masih terang. Pukul 03:45 pagi. Aku menggeliat, memaksakan diri untuk terlelap kembali sekitar tiga puluh menit lagi. Kerongkonganku terasa kering dan membuatku bangun terpaksa, membuka pintu kamar dan mengambil segelas air.

                 Gerimis di luar menyisakan bulur air di kaca jendela. Sebuah pesan masuk ketika aku membuka ponsel.
                
                "Mei.. apa kabar?"
                "Masih ingat nomor lama ini?"
                "Oh sayang.. kau sudah tidur rupanya..."
                "Good night baby... Semoga kakakmu ini hadir di mimpimu."
                
                 Aku meletakkan gelas. Dasar gila... Pesan itu dikirimkan pukul sebelas malam. Akhir-akhir ini aku selalu diteror, ah lebih tepatnya diincar. Tidak ambil pusing, aku segera menyimpan gelas dan naik kembali.

                Menit-menit berlalu, rasa kantuk kembali membuatku membaringkan kepala di atas buku. Dentang jam ruang tengah memenuhi tiap sudut ruangan rumah, membangunkanku yang masih setengah sadar. Aku duduk sebentar, mengerjapkan mata lalu turun ke lantai bawah bersiap mandi.

***

Pagi berganti siang, siang bermetamorfosa menjadi sore. Asap dari kopi di hadapanku sudah lama hilang, sedangkan aku belum menyentuhnya sama sekali. Sebuah novel tergeletak di samping kopi itu. Aku memandang keluar jendela. Tangan seseorang menepuk bahuku, membuat lamunanku buyar.

"Rin.." suara Airen membuatku menoleh.

"Eh, Airen."

"Rin, kamu harus ikut aku." Airen menarik tanganku. Aku mau tidak mau mengikutinya. Kami berhenti di kasir, melakukan pembayaran dan keluar dengan tergesa-gesa.

***

Airen menyetir dengan kecepatan kilat. Sepupuku yang satu ini memang hobi menyalip mobil lain, apalagi jika dirinya dalam keadaan tergesa-gesa seperti ini.

"DELAPAN PULUH KILOMETER?!" Mataku membelalak melihat spedometer mobil Airen. Ada apa dengan anak ini? Aku melihat kiri kanan, jalanan memang terlihat sepi. Tapi kenapa harus secepat ini? Anak ini mau mati apa? Aku tidak berkata apa-apa lagi, takut kalau-kalau konsentrasi Airen terganggu dan kami celaka.

Jalan ini sedikit asing bagiku. Kami melintasi perempatan, berbelok ke kiri lalu Airen sedikit menurunkan kecepatan. Di kejauhan, rumah besar berarsitektur minimalis berwarna putih berdiri gagah. Di sebelahnya, padang ilalang setinggi pinggang terhampar luas. Angin menyisir ilalang-ilalang itu, membuatnya membungkuk menyambut angin dari kendaraan yang lewat. Aku menarik napas dalam

"Kita mau ke mana?"

"Ke rumah Reno."

"Siapa Reno?Kenapa aku harus ikut?"

"Diamlah, kamu akan tau nanti."

Baiklah, aku sedang tidak ingin berdebat dengannya. Pikiranku masih dipenuhi barisan kalimat dari surat semalam. Argh... Wanita itu membuatku frustasi memikirkannya. Kami berhenti di rumah megah itu, seorang satpam membuka pintu dan menyambut kami. Aku melangkah, masih dengan seragam SMA-ku. Aku melihat sekitar, bonsai-bonsai tertata rapi, batang-batangnya melilit-lilit, menciptakan guratan-guratan bak pembuluh darah yang menyembul dari balik kulit cokelat.

                 Rumput-rumput halus menuntun kami ke arah pintu rumah. Seseorang yang kuduga sebagai pemilik rumah ini membuka pintu, berdiri dan menyambut kedatangan kami. Bibirnya merekahkan sebuah senyum ketika kami tiba di depan pintu. Ia melihat jam tangannya.

"Terlambat lima menit dari janjimu semalam."

"Aku harus menjemputnya dulu."

Setelah Airen berkata demikian, pemuda itu mengalihkan pandangannya padaku. Mata hitamnya menatapku, ia mengernyit.

"Masih SMA?"

"Iya, dia kelas tiga, sebentar lagi lulus."

Aku balas menatapnya. Mencermati tiap jengkal rahangnya yang tegas. Kulit putihnya terlihat serasi dengan sepasang matanya. Perpaduan yang pas. Oh, jadi ini Reno? Laki-laki itu mempersilahkan kami masuk.

Kami duduk di sofa panjang dengan beludru yang melapisinya. Aku memanyunkan bibir melihat Airen yang berbincang akrab dengan Reno. Beberapa saat kemudian, tanpa aku sadari, selagi aku sibuk menebak-nebak berapa harga gantungan, hiasan, hingga lukisan bergaya Eropa abad ke-19 yang menggantung di tembok belakang kami. Sementara Reno pergi dan Airen diam seribu bahasa, aku beranjak membuat tatapan Airen beralih memandangku. Aku menuju ke salah satu lukisan.

Seorang lelaki dan perempuan, tampak seperti sepasang kekasih. Warna keabuan ditambahkan sebagai latarnya, menggambarkan mendung yang semakin menjadi-jadi sehingga sebuah payung berada di genggaman lelaki itu. Mereka berdiri di bayangan sebuah pohon, yang buahnya telah ranum.

                Lukisan yang cantik. Tapi, kenapa? Kenapa dua orang itu hanya digambarkan sebagai siluet? Padahal, pemandangan di sekelilingnya tergambar jelas. Syal wanita itu melambai, seperti rambut panjang miliknya. Si wanita mendongak, menatap sang laki-laki. Apa yang perempuan itu lakukan? Apakah ia tersenyum bahagia? Apa ia tertawa? Atau apa ia meneteskan air mata?

Diam-diam, aku menyimpan harapan agar jawabannya bukan tebakkanku yang terakhir. Bagaimanapun, aku harap kisah mereka indah. Tidak ada kehilangan, tidak ada perpisahan. Aku menatap lukisan itu dan berusaha memahami maknanya lebih dalam lagi. Mengamati tiap warna lalu menyimpan kenangan sepasang kekasih di lukisan itu.

Dentang jam menunjukkan pukul empat sore membuatku sedikit terkejut, bangkit dari lamunanku yang hampir bermetamorfosa menjadi imajinasi terhadap lukisan itu.

Kenapa Hujan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang