Aku mengerjapkan mata, berbalik setelah mendengar langkah kaki menuruni tangga utama rumah itu. Reno membawa map berisi setumpuk dokumen yang dikeluarkannya tepat setelah aku kembali duduk ke sofa.
"Jadi begini, kemarin aku sudah mendapat panggilan dari seniorku yang mengatasi permasalahan ini, semua sudah diurus, Rina tinggal menandatangani surat ini dan aku akan menyiapkan dokumen seperlunya jika ada tuntutan hukum dari orang itu." Reno menunjukkan sebuah materai yang tertempel sedikit miring di atas selembar kertas, di sampingnya aku bisa melihat akta dengan keterangan "surat hibah" di atasnya.
Airen melirikku, memberiku tatapan sedikit memohon. Aku menghela nafas. Baiklah, aku ingin cepat pulang. Aku meraih pulpen, membubuhkan tanda tangan yang mengenai bagian materai dan beranjak pergi. Reno menatapku lalu beralih kepada Airen.
"Hey, mau ke mana?"
"Pulang lah Ren, udah sore."
Aku berlari-lari kecil menuju pintu rumah, sementara Airen masih berbincang dengan Reno. Aku melangkah ke luar gerbang, tepat setelahnya angin berhembus membuat ilalang-ilalang merunduk dan rambut sebahuku berantakan. Seseorang berjalan dari keramaian ilalang. Tangan putihnya menghalau tiap ilalang yang mengganggu pengelihatannya. Seorang gadis belia, mungkin umurnya hanya beberapa tahun di atasku. Ia memegang sebuah buku bersampul putih.
Gadis itu membuka bukunya, tertunduk membaca kata demi kata sambil berjalan di depanku.
"Kisah ini sendu, aromanya menyeruakkan kepedihan. Lukisan kakek itu pun memudar, luluh karena takdir. Semua akan terjadi. Dan..."
Gadis itu berhenti berjalan ketika ia sudah sampai di seberang jalan. Ia menghela nafas, sementara tidak ada satupun kendaraan yang berlalu lalang.
"Sebuah masa depan, telah dilihat oleh tokoh utamanya." Ia menutup buku, menatapku sebentar lalu berbalik, berjalan ke arah yang berlawanan dengan sebelumnya. Punggungnya semakin menjauh, aku hendak menyapanya tetapi bunyi mesin mobil Airen membuatku mengurungkan niatku.
Aku termenung, melihat awan gemawang yang menggelayut malas di antara laskar burung-burung gereja. Sudah waktunya pulang, bahkan burung pun tahu itu. Aneh. Rasanya aneh. Seperti ada yang salah namun benar. Salah... Namun terasa benar? Sesuatu yang... kontradiksi?
***
"Yakin, di sini saja?" Airen menatapku. Aku mengangguk, lagipula rumahku tidak jauh dari persimpangan ini. Aku menyusuri trotoar setelah Airen pergi. Entah kenapa, langkah kakiku membawaku berhenti ke taman bermain, mengingat hari kemarin dan tersenyum tipis. Jujur, terbersit harapanku untuk bertemu dengannya, lagi.
Tidak semua harapan yang kita buat terjadi. Harapan ya harapan. Ia hanya sebuah ketidakpastian yang kerap kali kita paksakan untuk menjadi realita. Kadang ada satu dua harapan yang ada memang ditakdirkan tidak untuk terjadi. Begitulah hari ini caraku menghibur diri dengan meyakinkan diri dengan kata-kata itu setelah aku menunggu tiga puluh menit hingga sore benar-benar memuncak dan aku tak menemukan gadis kecil itu, apalagi lelaki itu.
Baiklah, tidak apa. Aku membuka pintu, bunyi engsel yang sudah lama tidak dilumasi menyambutku. Aku bergegas ke atas dan bersiap mandi. Sore merupakan saat tersingkat dalam satu hari. Baru saja aku pulang dan sekarang langit sudah gelap.
Aku menarik bangku, duduk dan termenung sejenak. Aku melirik secarik kertas, menariknya dan mengambil pulpen.
Tentang Kehilangan
Jika aku seorang peramal,
Dapatkah aku menemukan bagian bahagia di masa depan?
Jika aku seorang penjelajah waktu,
Bolehkah aku pergi ke suatu waktu di mana aku tak pernah merasa kehilangan?
Jika iya, berilah aku harapan itu.
Aku seperti menemukan suatu kesalahan, ketika mataku berkedip...
Ssstt.... Aku seperti menemukan suatu kebenaran, tadi sore.
Jadi, ini semua apa?
Apapun itu, tolong jangan tuliskan suatu kehilangan...
Kepada siapapun yang mengetahui tulisan ini.
Aku melepas pulpen, membacanya berulang kali hingga puas. Bertanya-tanya pada diri sendiri. Ah, lupakan. Aku beranjak dan kembali dengan setumpuk buku, menenggelamkan malamku ke dalam buku-buku pelajaran dan terlelap setelah jam menunjukkan tepat pukul sembilan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Hujan?
Teen FictionBerbicara cinta, ia tidak melulu datang saat dicari. Seringkali ia datang, justru ketika kita lupa akan dirinya. Berbicara hujan, aku tidak pernah menemukan kebahagiaan di dalamnya, tidak pula cinta. Aku hanya menemukan tetes bodoh yang terus mener...