Fatimah tersenyum menghampiri seseorang yang duduk di taman depan gedung pascasarjana. Suasana sore, tepat tiga puluh menit adzan sholat ashar berlalu dan suasana di tempat itu sudah cukup ramai dengan kelompok-kelompok mahasiswa dengan berbagai aktivitas. Bahkan ada yang sedang menggelar karpet kemudian membentuk lingkaran, mungkin mereka sedang kajian atau rapat organisasi.
Perempuan yang menunggu Fatimah itu lebih dulu melemparkan salam setelah Fatimah sudah dekat darinya. Fatimah menjawabnya dengan senyum yang ramah.
"Maaf sudah bikin kamu nunggu sendirian. Aku sholat ashar dulu, tadi," Fatimah mengatakan itu sambil menjabat tangan temannya itu sambil cipika cipiki. Mereka duduk di bagian paling belakang taman itu, jauh dari keramaian dan jalanan.
"Nggak apa-apa kok. Aku ngerti. Anak agro punya banyak laporan yang harus diurus, kan?" dia mencoba menggoda Fatimah.
"Iya, Nit. Alhamdulillah, untuk hari ini laporan yang harus diasistensikan sudah kelar semua. ALLAH kasih aku kemudahan untuk ketemu kamu hari ini."
Perempuan yang bernama Nita itu tersenyum. Lesung pipinya saat tersenyum membuat wajahnya yang putih bersih tanpa riasan make up terlihat sangat cantik dan bersinar. Dia kemudian mengeluarkan dua botol air minum dingin dari kantong kresek hitam yang ditaruhnya di sampinya, tadi.
"Ini supaya kamu nggak haus. Supaya ngobrolnya enak."
"Trimakasih," Fatimah kembali tersenyum.
"Maaf ya, Mah. Aku ganggu kamu."
"Apaan sih. Nggak sama sekali. Aku senang kok. Kita kan udah lama nggak ketemu."
Mereka kembali tersenyum bersama.
"Ada apa?" Fatimah langsung ke pointnya. Dia tahu betul kalau Nita yang juga sibuknya minta ampun ini pasti ada keperluan penting dengan dirinya.
"Aku nggak tau harus cerita sama siapa? Yang aku tau, kamu satu-satunya temanku yang bisa diajak ngobrol tentang masalah seperti ini." Nita memulai ceritanya dengan wajah serius.
Fatimah mengerutkan kening. Penasaran sekaligus sedih, karena dia langsung merasakan aura kesedihan dari teman SMAnya itu.
"Ini masalah tentang Juan, ya?" Fatimah mencoba menebak.
Nita menunduk sedih. Melihat reaksinya itu, Fatimah menjadi sangat yakin kalau yang menjadi masalah Nita saat ini adalah Juan, pacarnya.
"Ada apa sama dia? Dia nyakitin kamu?" Nilam berusaha sehati-hati mungkin mengeluarkan kata-kata. Jangan sampai menyinggung apalagi menyakiti perasaan Nita.
Nita menggeleng. Air matanya tiba-tiba menetes disaat wajahnya masih bersembunyi dibalik menunduknya.
"Trus, kenapa kamu sesedih ini? Dia sakit?" Fatimah kembali menebak-nebak. Mencoba menjawab sendiri rasa penasarannya.
"Kami putus!"
Setelah mengumpulkan kekuatannya kembali, sambil menghapus air matanya, Nita membangunkan wajahnya dan mengucapkan dua kata itu 'kami putus' dengan wajah yang berusaha tegar.
Fatimah berpikir, bagaimana harus menghadapi kesedihan Nita, bagaimana menghiburnya, sedangkan dari lubuk hatinya yang terdalam dia meyakini dan selalu meyakini, keputusan putus dari hubungan yang tidak halal adalah keputusan yang bagus, keputusan yang baik.
"Aku mengerti perasaan kamu, Nit. Kalau kamu mau nangis, nangis aja! Nggak usah ditahan-tahan apalagi malu-malu. Aku siap denger semua kesedihan kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ya Akhi Ya Ukhti
SpiritualCerita ini hanya fiktif belaka. Menceritakan tentang kehidupan dari sekelompok mahasiswa dan mahasiswi dari salah satu kampus ternama di kota Makassar. Mereka adalah orang-orang yang dijuluki akhi-akhi dan ukhti-ukhti oleh teman-teman di kampusnya k...