Tentang Pandangan dan Pondok Ramadhan

52 2 0
                                    

Sore itu, beberapa saat kemudian Fika muncul dengan cecinya. Itu nama motor Fika, dan Imah yang memberikan nama itu.

"Maaf, lama nunggu ya?" kata Fika, nyengir. Ia sadar kalau dia telah membuat sahabatnya itu lama menunggu.

"Nggak kok. Nggak sama sekali," Fatimah berakting seolah ia kesal. Lebih tepatnya seperti seorang perempuan yang ngambek sama pacarnya karena terlalu lama menunggu.

"Ya maaf bu Imah. Macet tadi di jalan."

"Jalan mana di kampus ini yang macet? Orang kamu cuma antar Aty ke kandang."

"Ke kandangnya sih nggak macet. Tapi si Aty aku antar ke kosnya dan jalanan ke workshop itu yang macet," jelas Fika.

"Iya iya! Aku maafin."

"Nah, gitu dong. Supaya enteng jodoh."

"Ih, apa hubungannya?"

Imah naik ke motor dan obrolan mereka berlanjut di atas motor.

"Ya ada hubungannyalah. Kan kalau kamu maafin, aku senang. Dan kalau aku senang aku jadi doain kamu cepet ketemu jodoh dan nikah. Sama satu lagi, kalau kamu nggak ngambek, kamu nggak cepet tua."

Fatimah tertawa mendengar penjelasan Fika yang baginya adalah penjelasan paling maksa semuka bumi.

"Eh, tadi aku ketemu Ali," kata Imah.

"Siapa?" tanya Fika ingin memastikan.

"Ali!" kata Imah lagi setengah berteriak. Suara lalu lalang kendaraan membuat Fika kesulitan mendengar perkataannya.

"Ngapain dia? Ali mantan pacarnya Mira, kan?"

"Sama-sama nunggu. Aku nunggu kamu. Dia nunggu Hasan. Iya, Ali mantannya Mira!"

Siapa yang tidak mengenal dua sejoli itu. Ali dan Mira adalah pasangan seangkatan yang terkenal romantis. Tapi kemudian putus belum lama ini setelah Ali bergabung dengan salah satu organisasi mahasiswa islam di kampus. Lebih tepatnya bisa dikatakan, Ali putus dengan Mira karena ia mantap berhijrah. Imah dan teman-temannya yang lain, termasuk Fika juga mengetahui cerita ini dari pembicaraan orang-orang yang tidak sengaja didengarnya.

"Kalian ngobrol?"

"Iyalah. Masak kita saling kenal malah nggak ngobrol."

"Kirain dia anti cewek."

"Bukan anti cewek. Tapi menjaga jarak sama cewek!"

"Soalnya aku denger dia nggak mau banget bonceng cewek."

"Dia berusaha belajar kaffah! Memangnya kita-kita ini yang punya banyak temen cowok dan susah jaga jarak sama mereka. Masih biasa-biasa saja kalau dianterin pulang, dibonceng pake motor."

Fika tertawa mengingat bahwa di geng beke-beke ada beberapa sahabatnya cowok dan dia sudah menganggap mereka semua saudara. Dia suka menjaili Yaser, Salim, Tahir dan yang lainnya. Dia juga suka menimpuk mereka dengan buku dan tas. Dan dalam keadaan-keadaan tertentu dia masih membolehkan dirinya dibonceng oleh mereka, meskipun sudah tidak sesering dulu dan saat ini sedang diminimalisir.

"Itu pemahamannya dia, Fik! Dan juga jadi prinsip buat dia. Ilmunya sudah sampai ke tahap itu dan keyakinannya pun sudah mendukung itu. Wallahhualam. Tapi yang jelas, aku yakin, Ali nggak mau bonceng cewek karena menghargai cewek itu. Dan mungkin juga dia meyakininya sebagai sebuah dosa."

"Berarti kita udah banyak nabung dosa karena  sering dibonceng Yaser, Egi dan yang lainnya?"

"Wallahualam. Ilmuku belum sampai ke situ. Tapi kalau menurutku pribadi yang belum sampai ke sana, untuk saat ini aku masih sulit untuk menolak dibonceng sama mereka kalau keadaannya lagi terpaksa. Kalau ada opsi lain sih, aku akan pilih nggak dibonceng mereka. Tapi kembali lagi, ada keadaan-keadaan tertentu yang aku nggak ada pilihan dan harus menerima pertolongan mereka untuk dibonceng."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ya Akhi Ya UkhtiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang