Mengusir Rasa

32 1 0
                                    

   Salman duduk sendirian di koridor fakultasnya. Masih sangat pagi. Koridor fakultasnya masih sepi, hanya ada cleaning service yang lalu lalang di hadapannya karena sedang membersihkan lantai. Sesekali ia mengecek jam di tangannya, memastikan kalau yang ditunggunya itu sudah ngaret.

Untuk mengusir kebosanannya menunggu, ia memberi senyum kemudian mengajak mengobrol ibu-ibu cleaning service itu.

   "Kenapa datang sepagi ini, dek?" tanyanya tiba-tiba.

   "Lagi menunggu senior, bu. Ada janji."

   "Senior atau pacar?" ia malah mendapat godaan. 

   Salman tersenyum.

   "Yang saya tunggu memang perempuan, bu. Tapi bukan pacar. Senior! Dia akan memeriksa laporan praktikum saya. Kemarin, saya tidak sempat datang untuk asistensi sama dia."

   "Waduh... adek ini enak, bisa kuliah. Saya biasanya takut loh dek ngajak mahasiswa ngobrol. Takut tidak nyambung. Kata-kata anak kuliahan beda sama kata-katanya orang bodoh macam saya."

   Salman tersenyum mendengar si ibu pasukan orange itu merendahkan diri. Sangat merendahkan diri.

   "Sama saja, bu. Tidak usah terlalu merendah begitu. Justru, mahasiswa itu teman mengobrol yang pas untuk kaum menengah, kaum tak berdaya seperti kita."

   "Maksudnya?"

   "Maksudnya.... kalau ibu mau berkeluh kesah dengan ketidak adilan yang ibu rasakan di negara sendiri, mahasiswa tempat curhat terbaik buat ibu."

   Ia tertawa sebentar mendengar penjelasan Salman. Salman tersenyum sambil mengerutkan kening. Tidak mengerti, mengapa si ibu malah menganggap lucu penjelasannya. Padahal, ia merasa tidak sedang mengeluarkan lelucon.

   "Maaf saya tertawa. Kamu ini lucu. Kalau orang-orang seperti saya curhat sama mahasiswa, demo akan sering terjadi. Macet semakin merajalela. Saya orang yang paling benci dengan macet gara-gara demo mahasiswa. Menyebalkan. Mending saya diam saja dan berkeluh kesah di rumah daripada curhatan saya malah semakin membuat susah masyarakat."

   Salman tidak menyangka, pikiran si ibu pasukan orange cerdas juga. Bahkan sampai berpikir sejauh itu. Lebih baik tak melakukan sesuatu yang membuat panjang persoalan dan justru semakin membuat susah masyarakat lainnya. Itu ideologinya.

   "Ya... kenyataannya memang seperti itu. Susah sekali merubah sistem yang sudah mengakar di kehidupan mahasiswa. Sedikit-sedikit demo, bikin macet dan ujung-ujungnya bentrok sama aparat kepolisisan. Tapi, bu, tidak semua mahasiswa memandang suatu masalah dan demolah jalan keluarnya. Setidaknya, curahatan hati ibu ke mereka membuat mereka bersyukur, membuat mereka belajar, kalau-kalau seandainya, suatu hari nanti mereka duduk di bangku pemerintahan atau menjadi pemimpin, mereka lebih memikirkan kesejahteraan masyarakat dari kalangan menengah ke bawah seperti ibu dan seperti keluarga saya juga di kampung."

   "Iya juga sih, dek. Rata-rata yang jadi anggota DPR, bupati, lurah, camat, bahkan presiden, ya... dulunya mahasiswa juga, seperti kalian."

   Salman tersenyum. Sepertinya, si ibu sudah paham maksudnya.

   Satu persatu mahasiswa sudah berdatangan. Si ibu permisi untuk melanjutkan pekerjaannya kembali. Dari kejauhan, Salman melihat senior perempuan yang ditunggunya sedang berjalan bersama seseorang yang amat dikenalnya. Ia perempuan juga. Teman angkatannya. Mereka semakin mendekat ke arahnya yang sedang duduk dan membuat Salman terlihat gugup.

   "Assalamualaikum, kak," ia menyapa senior yang adalah asistennya itu lebih dulu. Namanya Wina.

   "Assalamualaikum, Eva.." dia kemudian menyapa teman angkatannya yang tadi berjalan bersama si kakak asisten.

   "Waalaikum salam..." mereka hampir bersamaan mejawab salam Salman.

   "Sudah lama nunggu?" tanya Wina.

   "Lumayan, kak."

   "Maaf, ya. Tadi pintu kamarku rusak jadi aku harus perbaiki dulu sebelum pergi ke kampus."

   "Oh, iya. Tidak apa-apa, kak."

   "Kamu mau asistensi juga, Man?" tanya Eva.

   Salman terlihat berusaha mengendalikan diri untuk tidak terlihat gugup, apalagi setelah mendengar suara Eva barusan.

   "Iya. Kamu juga?"

   "Iya."

   Salman sudah berusaha menghindar untuk tidak bertemu Eva beberapa hari ini. Tapi apa boleh buat, hari ini tidak berhasil.

   Apa yang membuatnya begitu gugup setelah melihat Eva? Dan apa yang membuatnya sangat ingin menghindari Eva dan tidak ingin bertemu dulu? Jawabannya mungkin sudah bisa ditebak. Ya... karena cinta, karena dia jatuh cinta kepada perempuan cantik itu. Perasaannyanya kepada Eva membuatnya sulit mengendalikan diri dan sulit melakukan sesuatu dengan fokus. Dia mengira, dia bisa normal seperti biasanya, seperti sebelum bertemu Eva, jika dia tidak bertemu Eva ataupun melihat Eva dalam waktu yang lama. Tapi apa yang bisa dilakukannya saat ALLAH mengujinya hari ini dengan pertemunnya kembali dengan si perempuan yang mendapat tempat khusus di hatinya saat ini.

   Saat Wina, asisten mereka memeriksa laporan mereka lembar demi lembar, Eva kembali mengajaknya mengobrol.

   "Kok kamu tidak pernah keliatan, Man? Kamu kemana beberapa hari ini?"

   "Aku sibuk. Kalau kuliah sudah kelar dan praktikumnya belum dimulai, aku biasanya tidak di kampus."

   "Oh, ya? Kamu sibuk apa?"

   "Sibuk membantu tanteku di tokonya."

   "Oh... jadi kamu punya tante di sini?"

   "Iya."

   "Tapi kok malah ngontrak rumah sama Hisam, Farid dan Ali?"

   "Aku tidak mau merepotkannya. Lagian, aku butuh belajar untuk mandiri. Aku juga butuh untuk tinggal bersama Hisam, Farid dan Ali."

   Eva tertawa.

   Salman menatap wajah Eva yang sedang tertawa sambil tersenyum. Entah kenapa dia malah jatuh cinta kepada perempuan modern dan modis sepertinya. Yang bahkan penampilannya selalu menarik semua kaum adam untuk memperhatikannya.

   Astagfirullahal adzim. Salman mengucapkan istigfar dalam hati berklai-kali setelah menyadari kalau dia tidak seharusnya menatap seorang gadis dengan tatapan sepenuh hati seperti itu. Untung saja tidak ada yang melihatnya. Kalau ada, mereka pasti sudah berkesimpulan bahwa ia telah jatuh cinta kepada Eva, meskipun itu kebenarannya.

   "Aku tau apa maksudmu 'butuh untuk tinggal dengan mereka'. Pasti alasannya karna tugas kuliah dan laporan, kan? Kalian butuh sama-sama, butuh serumah, supaya bisa kerja sama dan saling nyontek."

   Salman tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. Bisa-bisanya Eva berpikiran seburuk itu.

   "Tidak, Eva. Aku butuh tinggal dengan mereka karena mereka teman-temen yang sholeh. Dengan kami serumah, kami bisa sama-sama belajar tentang banyak hal, terutama saling mengingatkan untuk taat sama ALLAH. Itu maksudku."

   "Oh hihihihi sorry. Pikiranku buruk sekali."

   Salman hanya tersenyum.



Ya Akhi Ya UkhtiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang