Sempitnya dunia ini.
Setelah tiga hari SMA Nusantara melaksanakan kegiatan MOS, kegiatan belajar mengajar akan dilaksanakan hari ini. Dan hari ini pula pembagian kelas dilaksanakan.
Banyak anak yang berbondong-bondong menuju ke mading untuk mengetahui kelas yang akan mereka dapatkan. Semuanya saling dorong dan tak satupun dari mereka yang mengalah.
Vani memilih duduk di kursi yang disediakan oleh sekolah yang letaknya tak jauh dengan mading. Karena percumah saja bila dia ikut dorong-dorongan hanya akan membuang waktu dan jika sampai dia salah membaca nama sampai akhirnya dia salah masuk kelas itu akan sangat memalukan sekali.
Sekitar sepuluh menit menunggu keadaan di mading yang mulai lenggang, Vani bangkit dari bangku itu. Dilihatnya hanya beberapa anak saja yang masih berada di mading. Tidak masalah baginya, ini lebih baik dari keadaan sepuluh menit yang lalu.
Sampai di mading, Vani mencari namanya yang ditempelkan dikertas mading. Hampir lina menit dia mencari namanya, tapi tak kunjung ditemuinya.
"Nama gue di kelas apa sih.'' Vani mengacak rambutnya frustasi.
"Nama lo siapa? Boleh gue bantuin cari?." ujar seorang cewek yang sedari tadi berada di samping Vani dan tak disadarinya. Mungkin karena terlalu fokus mencari keberadaan namanya di mading.
"Eh boleh, Nama gue Vani Arliesta Putri."
Tak butuh waktu lama, cewek tadi berhasil menemukan nama Vani.
"Lo kelas XC, dan kita sekelas." ujarnya ramah.
"serius nih? Ya ampun tadi tu gue udah bolak balik baca tapi gak ketemu juga. Apa mata gue udah rabun ya." Vani menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Bye the way makasih ya udah mau bantu cari. Kalo gaada lo gatau deh gue bakal di sini sampe kapan." Vani cengengesan tidak jelas. Absurd.
"iya sama-sama, sebagai makhluk sosial kan harus saling tolong menolong." Jawab nya ramah.
"Eh kita belom kenalan ya? Kenalin nama gue Vani." Vani menjulurkan tangan kanan nya.
"Iya, nama gue Elsa Nabila Aulia, panggil aja Elsa." Cewek bernama Elsa itu menjulurkan tangan kanan nya dan bersalaman dengan Vani.
"Kalo gak salah denger, tadi lo bilang kita sekelas?." Elsa mengangguk.
"Yaudah kita bareng aja ke kelasnya."
Vani dan Elsa melewatu beberapa kelas untuk sampai ke kelas XC, yang benar saja bahwa kelas XC merupakan kelas yang terpencil alias paling pojok dan letaknya sangat tidak sangat strategis. Nikmat sekali.
"Elsa, lo mau gak sebangku sama gue? Gue belum dapet temen baru kecuali Lo, mau ya?." Vani menatap Elsa dengan tatapan melas nya sambil nenyusuri beberapa ruangan untuk sampai ke kelas.
"Iya santai aja, gue juga cuma kenal sama lo doang itu pun tadi." Elsa tersenyum lembut.
Ih baik banget si jadi orang, gemes deh-batin Vani
Akhirnya perjalanan yang melelah kan itu telah berakhir, Vani dan Elsa sudah sampai di kelas. Dan sialnya lagi Vani harus bertemu dengan cowok yang kalau tidak salah namanya Vano? Ah Vani tidak perduli dengan cowok berisik itu.
Di kelas masih ada dua meja yang kosong yaitu bangku didepan Vano dan bangku yang berada di pojok kelas. Di satu sisi Vani tidak mungkin duduk di depan Vano yang berisik nya minta ampun. Tapi kalau dia duduk di pojok kelas dia tidak bisa melihat tulisan di papan tulis dengan jelas karena matanya mulai rabun.
"Kita duduk di sini aja yuk Van." ajak Elsa sambil menunjuk bangku di depan Vano.
Tidak ada pilihan lain selain menurut apa yang dikatakan Elsa, masa iya dia tega menolak Elsa?sedangkan dia sudah sangat baik kepadanya. Toh mungkin Elsa juga mempunyai kendala yang sama jika duduk di bangku terpojok. Ya, rabun jauh.
Vanu dan Elsa segera duduk, dan sial bagi Vani dia harus duduk tepat didepan Vano. Dia harus mempersiapkan agar telinganya tidak budek karena kebawelan Vano.
"Eh Vani, ketemu lagi nih sama aa' Vano yang ganteng. Jangan jangan kita-
"Jangan jangan apa?!" sela Vani sambil melotot sebelum Vano menyelesaikan ucapannya.
"jangan jangan kita temen, emang lo mau yang lebih?." Vano mengedipkan sebelah matanya genit. Memang si ganteng tapi bikin ilfeel.
"Gak lucu." balas Vani ketus walaupun dia sangat malu dengan apa yang Vano katakan. Walau nada bicaranya ketus tapi Vani tidak bisa membohongi dirinya sendiri, pipinya Blusing.
Vani segera memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia tidak siap mendapatkan godaan Vano, yang ada nanti Vano mikir yang macam macam.
"Udah deh Vano, gausah godain Vani terus." ujar elsa tiba-tiba sambil menghadap ke arah Vano. Mungkin saja elsa merasa terganggu dengan kebisingan yang berada di belakangnya.
"Vani juga, gausah diladeni lagi si siapa namanya?"
"Vano." jelas Vano.
"Eh iya Vano, Vani hadap ke depan aja. Itu gurunya udah mau sampai ke kelas." jelas Elsa lagi.
Elsa memang sang penyelamat, bisa bisa harga dirinya turun jika Vano melihat wajah Vani memerah karena gombalan receh nya itu. Vano pasti akan mengejeknya terus. Terimakasih Elsa.
"Makasih ya kakaknya Anna, udah nyelametin gue dari cowok tengil macam Vano." Vani memeluk punggung Elsa secara dramatis. Dan bisa disebut, alay.
"Udah gausah lebay Vani sayang. Anggep aja kita udah berteman lama, walaupun baru kenal tadi." Elsa tersenyum manis kepada Vani.
"Eh tadi kok lo bilang adik gue namanya Anna? Kok lo bisa tau sih Van?." Elsa bertanya heran.
"Jadi adik lo namanya Anna? Padahal gue cuma nebak doang. Apa emak lo korban film Frozen?." tanya Vani sambil tertawa terbahak bahak.
"Kayaknya sih iya, Ibu gue tergila gila waktu nonton film frozen. Dan beberapa hari film itu rilis, ibu gue lahiran dan dia kasih nama Anna. Gue sampe heran, cerita fiksi kok sampe kebawa ke dunia nyata." Elsa menjelaskan dengan tertawa.
Ibu Elsa memang sedang mengadung sembilan bulan saat film frozen rilis. Dan beberapa hari kemudian Ibunya melahirkan. Sangat aneh memang tapi ini nyata.
"udah ketiwi nya? Noh guru nya udah mau masuk." ujar Vano dari belakang.
Tawa Vani dan Elsa terhenti saat guru sudah tiba di kelas.
----
(a/n) typo? komen.
Salam, Arini

KAMU SEDANG MEMBACA
TRISTE
TienerfictieIni bukan hanya cerita tentang masalah hati. Melainkan ini cerita tentang persahabatan,penghianatan, dan keluarga. ©copyright 2017 by arini widyati Publish 3April 2017