"Menikahlah denganku!"
Pria itu termangu. Mulutnya menganga, matanya membelalak lebar. Benaknya yang semula berkabut dan sempit penuh keputus asaan, mendadak saja jernih. Bukan dalam artian bagus.
Pria itu merasa pikirannya sekarang kosong melompong.
Sementara ia terperangah, wanita di hadapannya justru tersenyum cerah ceria dengan mata berbinar. Perempuan itu tidak mungkin lebih tua dari dirinya, tapi ia bersinar lebih terang dari siapa pun di mimbar kematian ini, tempat mata makhluk-makhluk abadi mengawasinya dalam kemurkaan.
Tempatnya bukan di sini, suara dalam benak pria itu berkata. Ia sendiri tidak tahu kenapa. Dia tidak seharusnya ada di sini.
Pria itu lantas kebingungan. Dari mana benaknya bisa memutuskan demikian?
Lalu seolah menjawab pertanyaannya, sulur-sulur merah muncul di udara, mengalir dari tubuh sang gadis. Sulur itu menyala demikian terang, mengalahkan semua warna biru yang tampak pucat dibandingkan dirinya. Sebuah pikiran menyala di benak pria itu.
Gadis ini Sekala.
Benar, Sekala dan Niskala. Gadis ini Sekala. Sementara dirinya berada di Madyapada, tempat para Niskala. Tidak seharusnya gadis Sekala ada di Madyapada.
Sayangnya, gadis di hadapannya seolah tidak peduli. Sekalipun orang-orang di sekitar mereka hanya tinggal selangkah lagi membunuh sang gadis, ia tetap menggenggam tangan sang pria dengan erat, tersenyum berseri-seri, dengan penawaran yang masih menggantung di udara.
"Oh, ya, benar juga! Astaga, di mana sopan santunku?!" Gadis itu berseru sendiri. Dengan antusias, ia melepaskan tangan sang pria dan dalam hatinya, sang pria itu mengembuskan napas lega.
Itu sungguh tidak biasa. Normalnya ia akan senang ada seorang gadis menggenggam tangannya, tapi untuk gadis ini, sang pria lebih memilih menjauh secepatnya. Ia melirik ke para pria yang masih terdiam di tempat mereka. Mengamati, tapi tidak berdiam diri.
Salah satu dari mereka sudah mengangkat palu. Ia berubah panik.
Tepat saat itu juga, gadis di hadapannya berlutut kembali. Ia tidak melihat apa yang dikeluarkan gadis itu. Ia terlalu sibuk ketakutan.
"Ini cincinmu, Suami—
"Ya!"
Kata itu keluar tanpa bisa ia cegah. Semua saksi mata tercengang. Bahkan pemilik ekspresi paling beku sekalipun tidak bisa menghentikan dirinya dari terperangah bukan main. Dia merasakan keterkejutan dari berbagai arah bahkan dirinya sendiri. Namun ada satu orang yang tidak terkejut di sana.
Dan ia benar-benar takut sekarang.
Menoleh pelan-pelan, pria itu merasakan lehernya kaku luar biasa. Ia merasa siap untuk menghadapi segala risiko, tapi ketika ia melihat sepasang mata biru yang berbinar di hadapannya, tahulah ia bahwa dirinya tidak pernah siap untuk yang terburuk. Gadis itu, tanpa malu, lantas menggenggam—ralat, menyambar—tangannya, mencampakkan kotak yang entah sejak kapan dan untuk alasan apa ada di tangannya.
Kotak itu jatuh menggelinding di lantai, tapi bahkan tidak ada yang memerhatikan.
"Oh, Cintaku!" Ia berseru dengam mata berkaca-kaca penuh kebahagiaan. "Kau bahkan menjawabnya sebelum aku sempat menyerahkan cincin! Aku benar-benar terharu, Suamiku!"
Gadis itu berseru riang. Kemudian tanpa ragu, ia mendekat, memeluk, dan menutup jarak mereka hingga ke batas yang sangat tidak wajar untuk dilakukan seorang wanita. Bibir mereka hampir bersentuhan.
"Jadi," Gadis itu melepas pelukan, menatap sang pria dengan penuh kasih. "Kapan kita akan melangsungkan pernikahan kita, Suamiku Tersayang?"
***
-
Maaf saya posting kisah baru lagi. Yang ini sekadar catharsis karena saya nggak tenang banget kalau yang ini belum saya tulis dan publish.
Warning:
- Rawan unpublishing
- Update minimal mingguan, maksimal hanya Tuhan yang tahu.
- Tema tidak biasa. Mencampurkan unsur steampunk, unsur-unsur lokal, dan kolonialisasi
- Karakter perempuan agresif
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandhikala [ARSIP]
Fantasy"Menikahlah denganku." Sekala, segala yang tampak. Niskala, segala yang tidak tampak. Di tengah Marcapada yang penuh sesak oleh mesin-mesin uap, mobil, dan kapal udara raksasa, dua dunia serta dua jalinan takdir bertemu. ...