Irawati tidak pernah merasa sangat membenci seseorang sebelumnya.
Tentu dia pernah membenci kaum Londo, tapi dari kaumnya sendiri, padahal orang itu sama sekali bukan pengkhianat? Baru kali ini.
Mungkin membenci bukan kata yang tepat. Itu kata yang hanya ditujukan kepada musuh-musuhmu, tapi jengkel pun tidak cukup untuk menggambarkan apa yang ia rasakan saat ini.
Di perjalanan kembali ke markas, Irawati tidak berhenti mengetuk-ngetukkan jari ke atas paha dengan jengkel. Di dalam delman yang mereka sewa, suara ketukan jari Irawati menjadi suara kedua yang paling keras setelah suara tapak kuda di depan kusir. Jika tidak dihitung dengan semua suara kebisingan di sekitaran delman yang terbuka.
Tidak pernah seumur hidup Irawati bertemu perempuan semenjengkelkan Anjani. Memang sifat menjengkelkan wanita itu tidak melanggar batas-batas manusiawi mana pun, tapi berbicara bersamanya, menyaksikan setiap tingkah tidak masuk akalnya, sambil harus berada di satu ruangan yang sama dengannya ternyata membutuhkan kesabaran ekstra, sesuatu yang tidak diperingatkan oleh Simmo saat mereka bertransaksi kemarin.
Rasanya seperti berurusan dengan anggota keluarga paling menjengkelkan yang tidak ada seorang pun lagi di keluarga yang ingin merawatnya kecuali Irawati.
Rasanya kesabaran Irawati hanya tinggal satu teguk.
"Aku tidak butuh bantuan kalian," Irawati mengingat kata-kata Anjani sebelum mereka pergi dari Motel kelas tiga yang ditempati wanita itu. "Manusia seperti kalian hanya akan jadi beban. Jadi daripada merepotkanku, urusi saja perjuangan yang kalian bangga-banggakan tapi tidak pernah berhasil itu."
Irawati bahkan masih bisa mengingat aroma apak dari keringat dan entah aroma aneh apa lagi yang tersisa dari kejadian-kejadian yang pernah dialami kamar itu sementara pemiliknya mengusir dirinya dan Markandra dengan lagak sok terhormat.
Aroma, kebersihan, dan penampilan Anjani sama sekali tidak menujukkan sisi anggun seorang wanita sama sekali, Irawati menyadari. Setiap kali Irawati mengingat betapa berantakannya kamar wanita itu, terlepas dari betapa rapih celana panjang biru, kemeja putih, dan jas biru panjang yang menempel di tubuh Anjani.
Penampilan seperti lelaki dan kamar berantakan, Irawati berpikir. Apa mungkin Anjani mencoba menjadi laki-laki?
Wanita itu lalu menunduk melihat celana yang menempel di kakinya dan kemeja putih yang ia kenakan, ia sadar bahwa dari segi penampilan, dirinya tidak jauh berbeda dari Anjani.
Ah, tidak. Tidak benar. Irawati menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Aku dan dia berbeda. Aku memakai pakaian ini untuk melindungi diri, bukan dia yang memakainya karena tidak bisa mengurus diri sendiri!
Demi Gusti Pangeran, jika tidak ada Markandra yang berulang kali menenangkan, Irawati sudah akan menyambar Anjani dan menjambak rambut hitam wanita itu.
"Neng masih memikirkannya?" Di sebelah Irawati, Markandra menegur. Senyum menyinari wajah pemuda Sunda itu. Senyuman itu melelehkan sedikit bara yang menggerogoti Irawati.
"Tentu saja, Kang," Irawati menjawab dengan bahasa Sunda yang sama. "Apa Akang tidak merasa kesal? Dia jelas sekali sedang mempermainkan kita, Akang, dan dia sudah menang!"
Markandra mengeluarkan ekspresi bingung. "Akang akui, dia ... memang perempuan yang ... sulit." Pria itu mengakui, tapi jeda sejenak di kalimatnya membuat Irawati melirik curiga ke arahnya.
"Kenapa? Akang tertarik padanya?" Irawati menyipitkan mata. "Pada wanita seperti itu?"
Markandra hanya tersenyum kikuk. Mata lelaki itu berpindah ke arah kerumunan di jalanan Jayagiri, lari dari pandangan Irawati. "Dia jelas sekali berpengalaman."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandhikala [ARSIP]
Fantasy"Menikahlah denganku." Sekala, segala yang tampak. Niskala, segala yang tidak tampak. Di tengah Marcapada yang penuh sesak oleh mesin-mesin uap, mobil, dan kapal udara raksasa, dua dunia serta dua jalinan takdir bertemu. ...