8. Petir & Perang

208 27 2
                                    

Mobil Septian berhenti di sebuah bar di dekat perbatasan Batavia. Titik terakhir peradaban. Bahkan dari titik tempat mereka terparkir, kehampaan dari Batavia terlihat lima langkah di depan mereka.

Karena itulah, isi di dalam bar lekat akan keputus asaan walau penuh dengan hingar bingar. Wajah-wajah orang yang masuk ke sana diliputi kesedihan sementara suasana di dalam sana bukan riuh oleh canda tawa melainkan baku hantam. Suara meja terbanting dan hantaman tinju terdengar mengalahkan suara gelas-gelas bir dan tuak yang disajikan.

Anjani melihat beberapa wajah yang ia kenal dari Serikat Pemburu Hadiah masuk ke dalam bar dan keluar. Mereka mengarah kembali ke arah jayagiri.

"Tidak mau masuk?" Septian menawari.

Anjani menjulurkan lidah dengan mimic jijik. "Aku tidak mau bertemu laki-laki bau bir malam ini. Apalagi sesama Pemburu Hadiah."

"Aku paham."

"Daripada mengkhawatirkanku," Anjani bersedekap. "Bukankah sebaiknya kita lebih mengkhawatirkan dirimu?"

Ketika mata biru Anjani menatap Septian, pemuda itu tampak tenang.

"Kamu tahu kita berurusan dengan Divisi Lima," ujar Anjani. "Dan mereka bukan orang yang akan melepaskan Pusaka hidup mereka begitu saja."

Septian mendengkus. "Sekalipun aku adalah kegagalan?"

"Bukankah kalau mau membersihkan barang bukti, semuanya harus dimusnahkan?" Anjani membalas. "Bahkan sampah paling kecil dan tidak berguna sekalipun?'

Septian duduk menyamping, menghadap Anjani sepenuhnya "Mulutmu keji sekali."

Anjani menaruh telunjuknya di bibir. "Jika mulut kami tidak lihai, kami tidak akan bisa bertahan hidup, Tuan."

Sebelah alis Septian terangkat. Senyum simpul terbit di wajahnya. "Kamu sedang merayuku?"

Tiba-tiba tawa Anjani meledak. Wanita itu kembali duduk menghadap ke depan. "Aku tidak mau dituduh punya kelainan seksual karena tertarik dengan bocah," ujarnya. "Aku lebih tertarik para buruan malam ini." Dari sudut mata, Anjani memberi lirikan penuh arti kepada Septian. "Jadi aku berharap perburuan malam ini tidak akan diganggu. Apalagi gagal."

Septian segera membuka pintu. "Jangan khawatir,"

Pemuda itu memberi satu lirikan terakhir kepada Anjani. "Akan aku pastikan misi kita selesai malam ini." Ia tersenyum. "Bersamaan dengan menghilangnya rumor soal Dayuh dari Girah."

***

Anjani menyeringai di hadapan selusinan orang asing. Mereka bertopeng dan misterius. Mereka juga tidak memancarkan nafsu membunuh yang membuat bulu kuduk berdiri. Tapi Anjani bisa memastikan, keingninan mereka untuk membunuh saat ini jauh lebih besar dari yang bisa ia bayangkan.

"Apa ada yang lucu?"

Sambil menyeringai semakin lebar, Anjani menatap wanita di hadapannya dengan keangkuhan yang sengaja dipertontonkan. "Kamu mengira aku meau menjawab pertanyaan konyol itu, Meisje?"

Gadis itu tidak menunjukkan perubahan ekspresi. Anjani sedikit kesal karena gadis itu sudah terlatih menyembunyikan ekspresi, tapi memutuskan untuk ikut ke dalam permainan.

"Kalau begitu aku asumsikan dia bukan rekanmu." Gadis itu menatap Septian di bawah kakinya. Tiba-tiba dari tuit tapak sepatunya keluar sebilah pisau. "Kalau begitu tidak masalah jika aku memotong batang lehernya kan?"

"Ah, itu akan jadi masalah untukmu."

"Menggertak tidak akan membuat keadaan lebih baik, Nona." Gadis itu berhenti. "Sekarang, satu-satunya yang akan bermasalah di sini adalah kalian berdua."

Sandhikala [ARSIP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang