Wanita itu menekuri kertas di tangannya untuk terakhir kali. Ekspresinya muram. Awan gelap memayungi matanya tatkala kata demi kata dari laporan yang diterimanya masuk dicerna oleh otaknya yang kini dipenuhi emosi yang meraung minta dilepaskan membabi buta. Tapi wanita itu tahu lebih baik untuk tidak melepaskan emosinya ke sembarang tempat, jika tidak ingin ada ekor konsekuensi yang tidak enak mengikuti.
Untuk kali terakhir, ia mengamati foto yang dilampirkan di dalam berkas itu.
Sebuah teror. Sebuah berita besar yang menghantui malam-malam di seputar Jayakarta, bahkan di Jayagiri karena gaung yang keras terbawa angin.
DAYUH GIRAH DIE BATAVIA! BUITENZORG SELANDJOETNJA?!
Sebuah pekerjaan yang harus diselesaikan. Uang yang harus diambil tanpa ada pilihan.
Wanita itu menghela napas. Ia lantas menyodok masuk semua kertas itu ke dalam saku celananya dan duduk santai. Barang sejenak, ia hendak melupakan semua masalah yang ada dan mencoba bertaruh pada firasat. Sebuah peraduan nasib.
Tangannya lantas mengambil koin sebagai ganti semua berkas itu, lalu memutar koin sembari duduk di atap Motel tempatnya menginap. Mata birunya tak henti mengawasi perputaran uang koin di udara: kereta atau bunga melati.
"Uang, uang, sisi mana yang menang...." Wanita itu bernyanyi pelan ke langit lepas, ke arah koin yang berputar. "Berikan aku keberuntungan, karena aku fakir kekurangan."
Koin itu pun jatuh. Ia menangkapnya dan menaruh di punggung tangan.
Perlahan, ia membuka tangan yang menutupi koin. Wajahnya menatap penuh kecewa ke arah hasil yang dia dapatkan.
"Melati," Ia mendengkus kesal. "Ini tidak akan berakhir menyenangkan."
Tangannya yang ditutupi sarung tangan segera menjejalkan koin perak pecahan satu sen itu kembali ke saku celana, berjubel bersama dengan banyak kertas yang ia jejalkan pula ke sana.
Tiba-tiba angin berembus sangat kencang. Rambut hitam kelamnya tertiup tinggi. Helai-helai anakan yang lebih ramping bahkan terbang hingga menutupi wajah.
Wanita itu menoleh ke arah teluk Jayagiri yang membentang luas di balik lusinan baris rumah. Kapal-kapal Pinisi yang berlabuh di teluk Jayagiri terparkir rapih di pelabuhan. Layar-layar kapal tradisional yang kolot mempertahankan tradisi ketika udara dipenuhi Mekara itu bergoyang-goyang diterjang ombak yang meninggi secara tiba-tiba. Layar mereka berputar ke arah sebaliknya.
"Angin...." Wanita itu bergumam sambil mengernyitkan mata ke kejauhan. "Angin berubah arah tiba-tiba."
Wanita itu lalu berdiri, membiarkan angin yang berembus kencang menerpa dirinya. Anting di telinganya berdenting seiring deru angin. Laut Jawa bergolak tidak tenang. Awan gelap perlahan datang dari ufuk barat. Ia lalu menciumi udara. Tidak ada aroma hujan.
Ia menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas, tapi gagal.
Kaokan kencang terdengar di langit di atasnya. Wanita itu mendongak, melihat dua ekor Bhuta dari klan Garuda terbang dan menukik ke arah kota. Ia mendengar beberapa orang memperingatkan di bawah sana bahwa ada Bhuta menukik. Derap-derap langkah terdengar dan ia tidak perlu menunduk untuk tahu orang-orang di bawah sana menjauh dari tengah jalan raya.
"Dasar makhluk tak berotak."
Tentu saja, paruh tajam makhluk-makhluk itu membentur Pelindung Kota. Kilatan cahaya berwarna merah muncul saat paruh-paruh raksasa itu berbenturan dengan energi Rakta, tapi tidak ada yang berhasil menggores Pelindung. Bhuta-Bhuta itu memekik kaget saat sambaran listrik menghajar mereka dan langsung pergi. Kemudian para Bhuta itu melihat satu kapal Mekara terbang melintasi langit, menembus Pelindung Kota.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandhikala [ARSIP]
Fantasy"Menikahlah denganku." Sekala, segala yang tampak. Niskala, segala yang tidak tampak. Di tengah Marcapada yang penuh sesak oleh mesin-mesin uap, mobil, dan kapal udara raksasa, dua dunia serta dua jalinan takdir bertemu. ...