Part 8

5K 301 12
                                    

"Adhela...," panggilan Devo makin melemah, ini adalah panggilan yang kesepuluh kalinya dan Adhela masih saja bergeming tidak mau berbicara sedikitpun kepada Devo.

"Adhe-"

"Apasih? Aku capek mau bobo. Nggak usah minta maaf juga udah aku maafin, nggak usah pasang wajah melas gitu. Jelek!" kata Adhela kesal, Devo masih saja keras kepala.

Devo ikut berbaring di samping Adhela, bibirnya masih belum lelah memanggil Adhela. Seharian ini Adhela mengabaikan Devo bahkan di depan Anggita sekalipun, jika Nabila tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya mungkin Devo akan terus menyalahkan Adhela dan membela Syafira. Ternyata dirinya salah, Syafira berbohong. Soal teror itu juga bohong, itu semua hanya jalan cerita yang Syafira buat. 

Adhela bergerak tidak nyaman, Devo hanya tersenyum kemenangan ketika Adhela masih juga belum tertidur. Bukan hal aneh jika Adhela tidak bisa tidur, ritualnya belum dilakukan. Devo pura-pura tidak menyadari gelagat Adhela yang berusaha untuk mengusap punggungnya sendiri, Adhela saja tidak mau memaafkannya lalu untuk apa Devo mau mengusap punggungnya? Jual mahal dong.

"Mama...." Adhela terisak, usahanya untuk mengusap punggungnya masih belum bisa ia capai padahal matanya benar-benar lelah.

"Devo...." Adhela menepuk-nepuk pipi Devo lembut berharap Devo mengerti dan mau mengusap punggungnya, tapi sepertinya perjuangannya sia-sia Devo pura-pura mendengkur halus.

Alhasil Adhela menangis semakin menjadi-jadi matanya benar-benar lelah tapi masih belum juga mau tertutup untuk tidur, baru kali ini Adhela merutuk kesal kebiasaanya ini.

Adhela duduk memeluk kedua lututnya kemudian menangis sesegukan, Devo yang belum tidur sebenarnya tidak tega juga namun rasa kesalnya lebih mendominasi dari rasa ibanya itu. Beberapa kali pula Adhela hampir terjatuh akibat mengantuk namun karena perasaan was-wasnya ia kembali terbangun dengan rasa takut.

Tanpa usapan dipunggungnya itu Adhela selalu merasa terancam, itu akibat dari ulah Kakak pertamanya dulu. Yang selalu merasuki otaknya dengan cerita-cerita horor hingga setiap malam Adhela selalu memimpikannya, terpaksa Davina harus menemaninya dan mengusap punggung anaknya itu untuk menenangkannya. Rupanya yang dilakukan Davina itu berhasil membuat Adhela melupakan semua kisah-kisah yang selalu ia dengar dari kakaknya, juga tidak lagi mengalami mimpi buruk.

Adhela bergegas mengambil ponselnya, menghubungi seseorang yang mungkin bisa membantunya, tidak perduli jika Devo memakinya karena cengeng, tidak peduli juga jika Devo menyesal telah menikahinya. Adhela hanya ingin pulang ke rumahnya, tidur dengan nyenyak dipelukan sang mama.

"Ma," Adhela berusaha keras menahan tangisnya itu, tapi bukannya berhenti malah semakin menjadi. Adhela semakin merindukan Mamanya, wanita yang selalu memeluknya ketika Adhela merasa takut.

"Adhela baik-baik aja kan? Kenapa sayang?" Adhela semakin menangis terisak ketika mendengar nada khawatir Davina. Adhela menggit bibir bawahnya berusaha agar tangisannya tidak semakin terdengar pilu, dia tidak mau membuat Davina khawatir.

"Adhela kangen rumah, Adhela kangen Mama," kata Adhela lirih, Davina menghembusan napas dari sebrang sana, rupanya ketakutannya terjadi.

Terdengar suara langkah kaki diikuti dengan bunyi pintu yang terbuka, Davina menghampiri suaminya memberikan ponselnya kepada suaminya. Dean yang tidak mengerti hanya menengadahkan kepalanya kepada Davina.

"Adhela mau bicara," kata Davina berbisik, Dean mengangguk mengerti.

"Adhela." Dean mulai angkat bicara.

"Iya?"

"Kenapa masih juga terjaga? Ini sudah hampir tengah malam, tidur lah dan mintai suamimu itu untuk melakukan ritual tidurmu itu," kata Dean.

"Kak Devo tidur lebih dulu, aku tidak tega membangunkannya." Adhela melirik kembali Devo yang saat ini berbaring di samping, dengkurannya membuat Adhela sedikit tertawa geli.

Ganteng-ganteng ngorok.

"Jadi siapa yang akan membuatmu tidur di sana?" tanyanya lagi, Adhela menggeleng tidak tau.

"Aku tidak tau," sahut Adhela.

"Matikan lah terlfonnya, dan cobalah untuk mandiri. Tidur, semuanya akan baik-baik saja Adhela kau hanya perlu meletakan guling di sampingmu." Adhela menghembuskan napasnya, ternyata menelfon kedua orang tuanya tidak membantu.

"Baiklah, selamat malam. Aku sayang kalian," pamit Adhela kemudian mematikan sambungannya setelah kedua orangtuanya membalas ucapannya itu.

Akhirnya dengan terpaksa Adhela mengikuti saran dari Dean meletakan guling di sampingnya, tapi itu tetap tidak membantu rasa was-wasnya masih saja selalu ada. Adhela lagi-lagi hanya bisa membuang napasnya kasar, kebiasaanya ini sangat sulit untuk dihilangkan.

Hingga akhirnya Devo menarik tubuhnya kedalam pelukannya mengusap punggung Adhela, ternyata Devo tidak bisa membiarkan istrinya itu terus dihantui perasaan gelisah.

"Jangan nangis lagi, gue nggak akan biarin lo kayak tadi lagi. Sorry ya," bisik Devo dengan mata yang masih tertutup, Adhela yang benar-benar mengantuk hanya mengangguk tak lama kemudian terdengar suara dengkuran halus.

Devo tersenyum menatap gadis yang sekarang menjadi istrinya itu sendu, keras kepala dan tidak mau mengalah. Baru kali ini Devo mau mengalah kepada seseorang, hanya kepada Adhela. Devo mencium kening Adhela sebelum dirinya ikut trrtidur seraya memeluk Adhela.

                      ******


Adhela mengeliat matanya mulai terbuka secara perlahan, hari minggu membuatnya malas untuk memulai aktifitas di pagi hari. Jangan lupakan bahwa ini hari pertama Adhela menjalani aktifitas di hari minggu bersama Devo, jadi akan ada kebiasaan baru untuknya. Menyiapkan segala keperluan Devo, Adhela akan belajar menjadi istri yang baik seperti Mamanya di rumah, ia akan melakukan apa yang biasanya Diva lakukan untuk Dean.

Hari ini mereka harus pergi ke rumah sakit menemui Anggita, kemarin Anggita terpaksa masuk ke rumah sakit. Dan Devo baru mendapatkan kabarnya kemarin.

"Pagi." Devo tersenyum sangat manis ke arah Adhela yang dibalas dengan senyuman lebar Adhela.

"Pagi Kak," balas Adhela. Devo masih saja terus memandangi istrinya itu, Devo akui Adhela itu gadis yang cantik, bahkan tanpa polesan make up pun Adhela tetak terlihat cantik bahkan mungkin Syafira pun kalah.

Cup...

Devo mencium kening Adhela, semburat merah muncul di kedua pipi chuby Adhela.

Devo yang menyadari kegugupan Adhela hanya terkekeh lalu berkata, "kita harus terbiasa, aku akan melakukannya setiap sebelum tidur dan bangun tidur." 

Devo bangkit meninggalkan Adhela yang masih bergeming pipinya benar-benar merah seperti kepiting rebus, Adhela menggeleng menyingkirkan hal-hal aneh yang baru saja terbayang olehnya.

Adhela bergegas mengambil pakaian untuk Devo pakai, ada secuil rasa senang bagi Adhela dapat menyiapakan pakaian Devo. Seketika wajah Syafira muncul di benaknya, Adhela menyunggingkan senyum kemenangan.

Gue menang Syafira, bahkan tanpa harus neror pun gue dapet lebih-lebih dari lo, pekik Adhela kegirang dalam hati, Adhela semakin yakin bahwa ia akan lebih unggul dari Syafira.

Adhela sangat mengharapkan Syafira cepat-cepat mengakhiri hubungannya itu, pokoknya Devo hanya boleh bersamanya. Salah sendiri pake menikahinya segala, ini adalah konsekuen Devo. Adhela hanya ingin menjadi yang nomor satu.

Ini bukan karena perasaan ingin memiliki kan?

ForelsketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang