Part 9

4.4K 327 18
                                    

Makasih buat 35 Reads, 9 vote dan 9 komentar...

********

Adhela ikut terluka ketika melihat Devo menangis pilu di pundaknya, rasanya baru kemarin Adhela merasakan ketulusan kasih sayang Anggita tetapi ternyata Tuhan mengambilnya begitu cepat. Mereka baru saja pulang dari pemakan Anggita, semua sanak saudara berkumpul di rumah Devo mereka semua ikut berbelasungkawa.

Bukan hanya Devo yang terpuruk tidak terima Tuhan mengambil wanita yang amat ia cintai dan sayang itu, Pandu terlihat lebih terpukul dengan kehilangan sang Mama. Bahkan Adhela baru mengetahui bahwa kakak Devo itu memiliki anak  yang amat lucu, Adhela baru melihatnya ketika acara pernikahannya Pandu tidak membawanya anaknya itu.

Ternyata Adhela bukan meninggal begitu saja, tapi Anggita lebih memilih menyerah dari semua penderitaan yang ia rasakan selama ini, dia menghentikan pencucian darahnya tanpa diketahui oleh Devo ataupun Pandu. Hanya Dean dan Davina yang tau, Anggita benar-benar tela yakin dengan keputusan dan risikonya. Anggita tidak mau lagi merepotkan Pandu ataupun Devo, Anggita juga cukup tenang meninggalkan keduanya dengan Pandu yang memiliki Arthur Abigail anaknya dan Devo yang memilki Adhela.

"Udah ya Kak, jangan nangis terus," Adhela mengusap rambut Devo lembut, melakukan seperti apa yang dilakukan Davina jika Genta -Kakak pertama Adhela- menangis.

Devo mengurung diri di dalam kamar seharian, kepergian Ibunya benar-benar  berat untuk Devo terima. Air matanya terus saja mengalir membasahi pipinya, tidak perduli jika Adhela memandangnya lemah atau seperti perempuan. Yang Devo punya hanyalah Anggita seorang, yang Devo percayai wanita yang selalu tulus menyayanginya tanpa memandang apapun. Wanita yang ia amat sangat percaya.

"Kak Dev, jangan nangis lagi ya. Mama Anggita pasti nggak akan seneng liat Kakak terpuruk kayak gini. Semua yang kita miliki itu hanya titipan Tuhan, kita nggak akan bisa sepenuhnya memiliki itu," ucap Adhela masih berusaha menghibur, tangannya tidak berhenti mengusap rambut Devo dengan lembut berharap Devo nyaman dengan semua yang ia lakukan lalu tertidur melupakan semuanya dan mulai menerima kenyataan.

Yang Devo punya sekarang hanyalah Pandu dan mungkin Adhela, Pandu sibuk dengan pekerjaannya. Kedua orang tua Devo pergi, Adhela tidak menyangka suaminya ini lebih hmalang dari nasibnya. Adhela masih memilki kedua orang tua yang lengkap dan kakak-kakaknya yang menyayanginya dengan tulus, berbeda dengan Devo yang hanya tinggal bersama ibunya. Yang sekarang Tuhan mengambil wanita satu-satunya itu.

Adhela tersenyum ketika mendengar dengkuran halus dari Devo, rupanya Devo terlelap mungkin dia lelah menangis seharian. Penampilannya kacau tidurnyapun seperti terlihat tidak nyaman, Adhela membenarkan posisi tidurnya mengusap sisa-sisa air mata yang membasahi pipi Devo kemudian bangkit keluar untuk menemui Davina.

"Hai ganteng." Adhela berjongkok menyamai tinggi Arthur -anak Pandu-, Arthur menyembunyikan wajahnya dibalik lipatan kakinya memeluk lututnya seperti ketakutan.

"Ah Adhela syukurlah kamu datang," kata Davina mengusap dadanya.

"Kenapa Ma?"tanya Adhela bingung, matanya beralih menatap Davina yang terlihat cemas.

"Kamu bisa bujuk Arthur? Dia sangat sulit untuk di bujuk, kayaknya dia ketakutan. Papahnya tadi sempat tidak terkendali," kata Davina, Adhela menatap sendu bocah kecil yang saat ini berada di hadapannya itu.

Kasian sekali dia hingga harus tersisihkan seperti ini, Pandu memang laki-laki yang cukup tempramental. Devo bilang Pandu tidak bisa menahan emosinya selain kepada Anggita, kedua anak Anggita ini benar-benar menghargai dirinya. Devo yang hanya percaya kepada Anggitaa dan Pandu yang hanya bisa menahan emosinya kepada Anggita.

Adhela tersenyum membayangkan bagaimana jika dirinya yang berada di posisi Anggita? Dicintai dengan sangat tulus oleh anak-anaknya. Adhela tersadar daro lunannya ketika mendengar Arthur yang semakin terisak.

"Arthur ikut sama Tante Yuk," bujuk Adhela. Arthur masih bergeming tubuhnya gemetar seperti ketakutan, Pandu memang tidak bisa mengendalikan emosinya. Kasian Arthur.

Adhela mencoba untuk berfikir bagaimana bisa membuat bocah kecil ini mendengarkannya? Setidaknya tidak lagi merasa ketakutan karena ulah papannya sendiri.

"Arthur sayang Papah Arthur nggak?" Adhela tersenyum ketika Arthur menganggukan kepalanya di balik lipatan lututnya.

"Kalo sayang Arthur nggak boleh kayak gini, nanti kalo Papah Pandu liat Arthur kayak gini kalian dong? Makin sedih nanti." Arthur mendongakan kepalanya menatap Adhela dengan tatapan sendu, tubuhnya masih bergetar akibat menahan tangis. Adhela tersenyum kemudian mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata Arthur yang membasahi pipinya.

"Arthur mau sama Om Devo aja," kata Arthur dengan suara yang masih bergetar, Adhela mengangguk mengerti.

"Yuk ikut Tante," ajak Adhela, bocah yang masih berumur tiga tahun itu menurut dan mengikuti langkah Adhela untuk menemui Devo.

"Sttt, jangan berisik ya. Om Devonya lagi bobo." Adhela meletakan telunjukanya di atas bibir, dengan lucunya Arthur mengikutinya kemudian mengangguk menyetujuinya.

"Arthur mau bobo sama Om Devo," katanya seraya berlari menghampiri Devo, Adhela cekikikan melihat tingkah lucu Arthur sudah sejak lama Adhela menginginkan seorang adik laki-laki.

"Naik Ate," kata Arthur menujuk tempat tidur king size milik Devo, Adhela memangku Arthur kemudian menidurkannya di samping Devo membiarkan Arthur memeluknya dengan erat, tangannya sibuk menepuk-nepuk pipi Devo.

"Omnya nggak boleh diganggu sayang, sini sama Tante. Tante peluk." Adhela menepuk-nepuk tempat yang berada si sampingnya. Dengan lucunya Arthur mengangguk kemudian tidur memeluk Adhela tangannya ia sembunyikan diketiak Adhela.

Adhela tersenyum ketika terdengar napas yang teratur dari Arthur, Adhela memandang gemas balita terasebut. Alisnya sama seperti Devo dan Pandu tebal, bulu matanya yang tebal dan lentik mengundang orang-orang yang melihatnya untuk mencoba menyentuhnya seperti yang Adhela lakukan.

"Ahhhh," pekik Arthur kesakitan, Adhela tersentak kaget. Tangan Devo dengan keras terjatuh tepat di atas perut Arthur hingga balita tersebut sedikit berteriak, Adhela menyingkirkan tangan Devo lalu kembali menepuk-nepuk dada Arthur agar tertidur kembali.

Belum berhenti dengan menjatuhkan tangannya begitu saja dengan keras, Devo bergerak-getak tampak gelisah.

"Kak Devo, Kak," panggil Adhela, Adhela menepuk-nepuk pipi Devo itu dengan lembut. Devo mimpi buruk dan Adhela tau itu, keringat dingin membasahi dahi dan leher Devo.

Tubuhnya masih bergerak-gerak gelisah, Adhela cemas Adhela takut. Takut jika Devo hilang kendali lalu mengenai Arthur yang baru aja tertidur, Adhela bangkit mengelilingi tempat tidurnya berdiri di samping Devo.

"Kakak, Kak Devo." Adhela masih belum menyerah dia terus menepuk-nepuk Devo.

"Astaga." Devo bangkit dari tempat duduknya mengusap wajahnya dengan kasar, Adhela menyerahkan gelas yang berada di nakas kepada Devo.

"Minum dulu kak." Devo menerimanya, meneguknya hingga habis tak tersisa kemudian menyerahkannya kembali kepada Adhela.

Devo memberikan seulas senyum ke araha Adhela, Devo pikir Adhela tidak akan menemaninya hingga ia terbangun. Devo pikir Adhela akan bertingkah masa bodoh terhadapnya. Nyatanya semua pemikirannya itu harus Devo buang jauh-jauh, Adhela peduli buktinya dia tidak kemana-mana selama Devo tertidur Adhela menjaga Devo juga Arthur.

"Kakak nggak apa-apa kan?" Adhela kembali bertanya, Adhela benar-benar cemas dengan keadaan Devo. Ini adalah hal tersulit yang Devo lewati, kehilangan sesosok wanita yang benar-benar berarti dalam hidupnya.

Devo menggeleng kemudian tersenyum. "Makasih ya Dhel."

ForelsketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang