Bab 1 (Firasat)

8.2K 148 1
                                    

(ini tulisanku waktu masih kelas 1 sma. maaf kalo jelek, berantakan, gaje, dan segala kekurangan lainnya. o iya, terimakasih buat temenku, Ratna, yg dulu rela mengetik cerita ini untukku walaupun banyak typo nya ehehe)

Besok aku genap berusia 17 tahun. Seharusnya aku bahagia, tapi entah mengapa aku merasa sedih. Aku merasa besok akan kehilangan sesuatu. Sesuatu yang sangat berharga. Entah apa itu. Aku tak tahu.

"Viona, kau melamun lagi?" suara merdu kekasihku mengagetkanku. "Tidak," dustaku. "Ayo turun." "Loh, kita sudah sampai?" "Iya shawty." Justin turun dari mobil, lalu seperti biasa ia membukakan pintu mobilnya untukku. Kami berjalan bergandengan menuju ruang kelas.

Aku sangat bahagia menjadi pacar Justin. Walaupun ada Beliebers yang membenciku dan aku tak bisa bebas karena seringkali paparazzi mengikutiku. Hampir satu tahun Justin dan aku menjadi sepasang kekasih. Suka duka kami alami bersama. Kadangkala saat Justin tour, dia mengajakku. Aku sangat bersyukur memiliki dan dimiliki seseorang yang nyaris sempurna seperti Justin Bieber. Aku sangat mengaguminya. Seringkali saat aku menatap wajah rupawannya aku merasa tak pantas bersanding dengannya karena aku hanyalah gadis biasa.

Satu bulan ini Justin cuti tour. Waktu satu bulan ini ia gunakan untuk kembali ke kampung halamannya, Stratford, Ontario, Canada, dan bersekolah disana. Setelah itu ia akan melanjutkan tournya kembali. Kebetulan sekali orang tuaku mendapatkan tugas di Stratford. Jadi aku dan keluargaku akan pindah ke sana. Ini kali keduanya keluargaku pindah. Pertama kali kami pindah dari Jakarta ke Atlanta yang membuatku bertemu dengan Justin dan akhirnya aku dan Justin... Kalian tau sendirilah. Hehe. Kedua, kami pindah dari Atlanta ke Stratford.

Aku senang pindah ke Stratford karena aku akan menemani Justin liburan disana. Di Stratford aku mendapatkan sahabat-sahabat yang sangat baik. Mereka adalah sahabat-sahabat Justin sewaktu di Stratford dulu, yaitu Caitlin, Christian, Chaz, dan Ryan. Sudah satu minggu aku dan Justin bersekolah di Stratford. Tapi tetap saja ada murid yang meminta tanda tangan dan foto bersama Justin. Tidak jarang juga Justin diminta untuk menyanyi. Untung saja Justin tidak keberatan dengan semua ini. Sepertinya dia menikmatinya. Kadang-kadang paparazzi juga meliput kegiatan kami. Memang tidak sesering seperti di Atlanta.

***

"Uh, tak ada acara yang bagus," ucapku sambil menggonta-ganti channel TV. Justin merebut remote TV dari tanganku. "Bagiku tak penting acara TV itu bagus atau jelek, karena aku tidak menonton TV tapi aku menonton kau". Aku mulai grogi karena Justin tiba-tiba memojokkan tubuhku di sudut sofa. Dia merengkuh wajahku dengan kedua tangannya dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Jarak wajah kami tinggal beberapa senti. Aku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku. Napasnya begitu wangi dan manis. Aku melingkarkan tanganku di lehernya. Saat bibir kami bertemu, aku memejamkan mata. Untuk kesekian kalinya aku merasakan bibirnya yang hangat, lembut, dan manis.

Justin kembali menciumku tapi kali ini dia tidak mencium bibirku melainkan mencium leherku. Aku meremas rambut blondenya yang halus sedangkan ia terus menciumiku. 5 menit kemudian aku mendengar suara mobil masuk ke halaman rumahku yang mungil. "Mom dan Dadku pulang.." bisikku ke telinga Justin. Justin langsung berhenti menciumiku. Lalu ia duduk tegak kembali dan sedikit menggeser posisi duduknya menjauhiku. Ia merapikan baju dan rambutnya yang tadi ku acak-acak.

"Selamat malam Om, Tante," sapa Justin. "Selamat malam Justin," jawab Mom dan Dadku. Justin bangkit dan berdiri. "Om, Tante, saya pamit pulang." "Loh, kok buru-buru? Kita ingin mengobrol denganmu dulu," ucap Momku. "Maaf Tante, mungkin lain kali. Ini sudah jam 10 malam. Saya harus segera pulang. Lagi pula saya sudah disini sejak jam 2 siang," jelas Justin panjang lebar. "Oh. Ya sudah. Hati-hati ya." "Iya. Permisi om, tante."

Aku mengantar Justin sampai ke depan rumahku. Sebelum masuk mobil dia mengecup keningku. "Hati-hati.." ucapku saat Justin menyalakan mesin mobilnya. "Pasti shawty.." ucapnya sambil tersenyum dan mulai menjalankan mobilnya. Aku terus memandangi mobilnya sampai mobilnya hilang ditelan kegelapan malam. Aku kembali masuk ke rumah lalu bergegas ke kamar untuk tidur.

Sampai jam setengah 12 malam aku masih terjaga. Aku tidak bisa tidur. Pikiranku kacau dan aku sangat gelisah. Aku merasa tadi adalah ciuman terakhir dari Justin dan aku merasa tadi adalah pertemuan terakhir kami. "Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa perasaanku tidak enak? Semoga besok tidak terjadi apa-apa dan aku masih bisa bertemu dengan Justin. Amin."

Aku berguling-guling di kasur mencari posisi yang nyaman. Aku benar-benar sangat gelisah memikirkan dia. Aku takut kehilangan dia. Aku takut esok aku tak dapat melihat senyum di wajahnya dan mendengar suara merdunya lagi. Di tengah-tengah kegelisahan itu tiba-tiba hpku bergetar. Ada telepon masuk. Aku mengambil hpku dan membaca nama yang tertera di layar. Aku tersenyum, Justin menelponku.

"Hallo", ucapku. Justin langsung menyanyikan lagu 'selamat ulang tahun' untukku dengan suara yang teramat merdu. Aku melirik jam dinding di kamarku. Sekarang tepat pukul 12 malam. Justin terus menyanyi untukku sampai jam 12 lebih 5 menit. "Terimakasih Justin. Kau orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku." "Sama-sama shawty." Aku senang saat Justin memanggilku 'shawty'. "Justin, apa aku boleh bertanya sesuatu?" "Tentu boleh." "Apa kau benar-benar mencintaiku? Apa kau akan selalu bersamaku dan takkan pernah meninggalkanku apapun yang terjadi?" tanyaku tanpa basa-basi. "Mengapa kau bertanya seperti itu? Seolah-olah aku akan mati esok saja. Hahaha," jawab Justin sambil tertawa. Mengapa dia tertawa? Aku sungguh sangat khawatir memikirkan dia tapi dia malah tak merasakan apa-apa. "Justin aku serius." Terdengar nada kesal dalam suaraku. "Oh shawty, kau sungguh lucu. Sebenarnya kau tak perlu bertanya seperti itu. Kau toh sudah tahu bahwa aku benar-benar mencintaimu. Aku berjanji aku akan selalu bersamamu dan takkan pernah meninggalkanmu. Apapun yang terjadi." "Sungguh?" tanyaku. "Sungguh. Mana mungkin aku berbohong padamu. Tidurlah shawty, sudah larut malam. Sampai bertemu besok di sekolah. Jangan lupa mimpikan aku. Hehe. Bye.." Setelah mendengar suaranya, aku merasa agak tenang. Ku rasa aku bisa tidur sekarang. Semoga aku mimpi indah tentang dia.

***

Pagi-pagi sekali Mom dan Dadku membangunkanku. Mereka membawa kue ulang tahun dan menyanyikan lagu 'selamat ulang tahun' untukku. Syukurlah, mereka masih mengingat hari ulang tahunku meskipun mereka sangat sibuk dengan urusan pekerjaan mereka.

Aku mondar-mandir di depan rumah. Ku lirik jam tanganku berkali-kali. 15 menit lagi bel sekolah berbunyi tapi mengapa Justin belum juga menjemputku? Sudah berkali-kali aku mencoba menelponnya tapi hpnya tidak aktif. Ku coba menelpon ke telepon rumahnya, pembantunya yang mengangkat telepon. Dia berkata bahwa Justin sudah berangkat pagi-pagi sekali.

Perasaanku mulai tak enak lagi. Apa yang terjadi dengan kekasihku? Dengan terpaksa aku berangkat naik taxi.

Aku tak bisa berkonsentrasi menyimak pelajaran. Berkali-kali aku ditegur dan dimarahi guru karena aku melamun.

Aku bertanya ke hampir setiap orang di sekolah, apakah mereka melihat Justin? Tapi jawabannya selalu tidak. Aku masih terus mencoba menghubungi ponselnya tapi tetap tidak aktif. Aku mulai frustasi. Sahabat-sahabatku menghiburku kecuali Christian. Dia tidak berangkat hari ini.

Because My Angel is a VampireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang