Bab 5 (Mimpi dan Halusinasi)

2.3K 104 0
                                    

Setiap hari luka di hatiku semakin dalam. Luka yang dibuat oleh Justin karena telah meninggalkanku.

  Satu bulan sudah Justin pergi meninggalkan orang-orang yang mencintainya.

  Sekarang aku hidup dalam kepalsuan. Senyum palsu. Tawa palsu. Karena dibalik senyum dan tawaku, sebenarnya hatiku menjerit.

  “JUSTIIIIIIIIIIINN” teriakku. Aku bangun dari tidurku. Ahh mimpi itu lagi. Mengapa mimpi itu tak pernah absen dari tidurku?

  Aku merasakan angin dingin bertiup semilir di kamarku. Ku lihat jendela kamarku terbuka. Pantas saja ada angin yang masuk. Tapi bukannya jendelanya sudah ku kunci? Mengapa bisa terbuka? Aneh.

  Ku amati jendela itu lagi. Astaga, apa aku tak salah lihat? Aku melihat Justin berdiri disana. Tepat di depan jendela kamarku. Dia sedang menatapku. Wajahnya sangat pucat dan kesedihan terpancar dari wajahnya sama seperti di mimpiku selama ini. Dia memakai pakaian yang serba hitam.

  Aku mengucek-ngucek mataku untuk memastikan penglihatanku benar. Namun saat aku membuka mata, aku tak melihat Justin disana lagi.

  Aku yakin tadi itu Justin. Aku tak mungkin salah lihat. Mataku masih normal.

  Aku menghampiri jendela kamarku. Ku julurkan kepalaku keluar. Siapa tahu Justin masih ada di sekitar sini tapi yang ku lihat hanyalah kegelapan malam. Tak ada Justin di luar sana.

  Aku mulai menangis. Justin kembali kesini tapi dia meninggalkanku lagi. Aku berteriak keluar jendela memanggil Justin. “JUSTIIIIIIIIINNN…. AKU TAHU ITU TADI BENAR-BENAR KAU. KU MOHON KEMBALILAH. APA KAU TAK TAHU BETAPA RAPUHNYA AKU SEKARANG. AKU MEMBUTUHKANMU. SANGAT MEMBUTUHKANMU. KU MOHON KEMBALILAH. KEMBALILAH. JUSTIIIIIINNN KAU DENGAR AKU?”

  Suaraku mulai serak karena berteriak. Aku diam sejenak berharap akan mendengar suara merdunya tapi aku tak mendengar apa-apa, hanya ada kesunyian malam. Tiba-tiba aku merasa angin tak wajar itu lagi, berhembus di leherku.

  “Ada apa sayang?” Aku menoleh. Lampu kamar menyala. Ku lihat Mom dan Dadku berdiri disana dengan wajah yang cemas. Mom berjalan menghampiriku yang masih ada di depan jendela. “Kau menangis?” tanya Momku. Aku tak menjawabnya. Aku langsung memeluk Momku dan menangis di pelukannya. Dad menghampiri kami dan menutup jendela. “Tenang sayang. Kami disini. Jangan menangis..”

“Mom, Dad, tadi Justin kesini.” ucapku di sela-sela isak tangisku. “Mom rasa kau perlu istirahat. Kau terlalu banyak berhalusinasi.” “Tidak Mom. Itu bukan halusinasi. Itu kenyataan. Aku tidak bohong Mom. Apa Dad percaya?” “Ya. Dad percaya padamu.” Ku rasa ucapan Dad itu tidak tulus.

  Malam ini aku tak tidur sendiri. Mom dan Dadku menemaniku. Aku tidur di pelukan Momku. Aku belum tidur sepenuhnya. Aku masih bisa mendengar percakapan kedua orang tuaku. “Bagaimana ini? Kondisi kejiwaan Viona semakin memburuk. Apa kita perlu membawanya ke psikolog? Aku tak mau anak kita menjadi stres atau bahkan gila.” ucap Momku. “Ku rasa itu belum perlu. Viona masih normal. Dia hanya masih belum bisa menerima kenyataan. Mungkin 1 tahun lagi dia akan kembali seperti semula.” ucap Dadku. Lalu aku tak mendengar apa-apa. Aku benar-benar tertidur.

Because My Angel is a VampireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang