Bab 1

53.2K 3.9K 72
                                    


DILARANG KERAS MENJIPLAK KARYA TILLY D; MENGUTIP SEBAGIAN, MENYALIN, MENGAMBIL INSPIRASI PENUH, MENGGANTI JUDUL; NAMA TOKOH, ALUR. BAIK DISENGAJA MAUPUN TIDAK DISENGAJA. CERITA INI MEMILIKI HAK CIPTA.

***

Aku tidak pernah berharap untuk menginjakan kaki kemari. Ke tempat di mana mimpi burukku selalu berkeliaran. Tapi, ketika sepuluh pria berpakaian hitam, dengan sialan bertebaran di bandara. Membuat beberapa pasang mata melirik tertarik ke arahku, aku tak mampu menolak.

Persetan.

Mimpi buruk itu benar-benar menerkamku sekarang. Tadinya, aku berniat menyembunyikan kepulanganku dari siapapun. Aku telah menyusun rencana dengan baik.

Sayangnya, Enrico Costa, Ayahku, tidak sebodoh itu. Uangnya mampu membuat koneksi di mana-mana. Seakan tak pernah habis, mengurungku bertahun-tahun. Sekarang ia seperti paparazzi yang mengintai hidupku nyaris tujuh tahun ini.

"Tuan Enrico dan Nyonya Serena menunggu di ruang tamu."

Aku mengabaikan ucapan wanita itu. Kedua kakiku melangkah dengan cepat memasuki mansion. Memasang wajah sedatar mungkin agar semua orang tak tertarik untuk menatapku.

Mereka terkejut. Mungkin. Entahlah. Apa yang salah denganku hari ini. Tujuh tahun di Amerika tak membuatku banyak berubah. Aku masih seorang Florentina Costa. Si manis yang alim dan bukan pemberontak.

"Flo, akhirnya kau kembali."

Aku menoleh. Mendapati Serena James mendekat. Ia merentangkan kedua tangannya dan memelukku tanpa peduli aku menatapnya dengan tatapan membunuh.

Harum parfumnya memenuhi hidungku. Membuatku mendorongnya cepat tanpa peduli tubuhnya nyaris tersungkur. Serena menatapku, terkejut. Di waktu yang bersamaan, Ayahku muncul dengan senyuman lebar di bibir.

"Florentina..." Ayahku mendekat. "Ayah sangat merindukanmu," bisiknya parau.

Rambutnya sedikit memutih. Aku memerhatikan penampilannya yang sedikit ringkih. Usianya tak lagi muda. Kenyataan itu nyaris menamparku saat itu juga. Menepis pelan-pelan rasa benci yang membuncah akibat Serena.

Aku membenci Ayahku. Atas sikap egoisnya yang tak berpikir dua kali untuk menikahi Serena. Namun, aku tak bisa menyalahkannya atas semua ini. Aku telah memikirkan semuanya matang-matang; Ayahku bukan mimpi burukku, tapi Serena mimpi burukku.

Itulah kenapa. Aku menyusun rencana untuk mendatangi Edgard, menikah secara sembunyi--seperti yang kami rencanakan--dua bulan lalu. Dan kembali menghadapi Ayahku dengan kenyataan yang berbeda.

"Kau berubah." Ayahku mengusap puncak kepalaku. Aku terpaku tanpa menunjukan ekspresi apa pun. "Semakin cantik dan dewasa."

Ayahku melepaskan pelukannya. Serena masih mematung seraya menatapku. Dengan senyuman. Tentu saja. Ah, apa dia lupa aku pernah menjambaknya hanya karena pertengkaran kecil?

Senyuman di bibirku tertarik sedikit. Culas. Aku mendatanginya dua minggu sebelum pernikahannya dengan Ayahku dilakukan. Serena berada di agensi saat itu. Berlenggak-lenggok dan tertawa ceria di atas penderitaan orang lain.

Aku menariknya, menjambak dan mencakarnya. Semua orang mengerubungi. Ketika wartawan meliput, rubah betina itu tidak melawan sama sekali. Serena membiarkan cakaran kukuku mendarat di pipi mulusnya.

Betapa pandai dia berakting.

"Apa kau lelah Flo?" Serena mengusap pundakku. Di satu sisi, aku merasakan tekanan yang kuat wanita itu untuk menerkamku. "Sebaiknya kau beristirahat."

"Ya, benar sekali." Ayahku menimpali. "Pergilah ke kamar dan kita akan berkumpul untuk makan malam nanti."

"Terima kasih, Ayah."

Aku memaksakan seulas senyuman. Itu untuk Ayahku bukan Serena. Wanita itu tidak pantas mendapatkan apa pun dariku.

Aku Florentina Costa, tidak semanis seperti apa yang didengar ketika kau mengucapkan nama itu. Wajahku mungkin dapat menipu. Semua orang memujiku cantik. Si darah latin dengan tubuh berlekuk bak gitar Spanyol. Kadang lucu, ketika aku berusia remaja, aku begitu polos dan lugu di hadapan banyak orang.

Aku menatap bayangan diriku di cermin. Menarik sebuah benda besi yang tersembunyi di balik sana. Sebuah pistol yang telah kuisi peluru sebelumnya.

Ayahku, dia terlalu banyak pencitraan di mana-mana. Berprilaku seperti bangsawan yang dermawan. Mengikuti acara amal dan tersenyum palsu ke kamera. Aku terkekeh sinis. Di balik semua itu nyawanya terancam.

Begitu juga denganku.

Itulah kenapa, aku dikurung di dalam mansion dan dikelilingi para bodyguard jika pergi ke manapun. Menjadi anak tunggal dari seorang mafia tidak aman. Tampak di luar mungkin menyenangkan. Barang-barang dengan harga tak masuk akal dapat kubeli.

Apakah hal itu sebanding dengan apa yang akan terjadi selanjutnya?
Ibuku, Aleina Costa, meninggal bukan karena sakit. Tapi karena rival Ayahku menembaknya.

Tidak ada yang manis di dalam duniaku.

Aku menatap langit-langit kamarku dan menghela napas kecil. Kuraih ponselku ke dalam genggaman. Senyuman di bibirku terlukis perlahan.

Dan memudar seketika.

Dua minggu yang lalu, aku masih mendengar suara Edgard. Kami sempat berbincang-bincang. Kemudian dia kembali menghilang.

"Nona."

Ketukan di pintu mengalihkan perhatianku. Aku beranjak dari atas ranjang dengan malas. Kutatap sinis pengawal kepercayaanku yang tampak melirik sekitarnya.

"Saya mendapatkan informasi untuk Anda."

Aku menunggunya melanjutkan.

"Ini tentang Tuan Edgard."

Kedua mataku menatapnya sepenuhnya. Tertarik. "Ada apa?" tanyaku cemas.

Derion tak mengatakan apa pun. Dia hanya menyerahkan sebuah koran ke arahku. Selembaran yang nyaris usang karena dilipat. Di sana, terpampang jelas wajah Edgard dan rentetan kata-kata yang membuatku terkejut.

Edgard tidak mungkin melakukannya.

A/N : Saya mau yang baru. Jadi rombak satu, rombak semua. Jangan tanya kenapa babnya pada ilang. Jelas saya perbaiki.

Playing Her HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang