Bab 4

39.4K 3.5K 91
                                    

DILARANG KERAS MENJIPLAK KARYA TILLY D; MENGUTIP SEBAGIAN, MENYALIN, MENGAMBIL INSPIRASI PENUH, MENGGANTI JUDUL; NAMA TOKOH, ALUR. BAIK DISENGAJA MAUPUN TIDAK DISENGAJA. CERITA INI MEMILIKI HAK CIPTA.

***


Edgard tersenyum. Mengulurkan tangannya, mengusap air mata yang bergulir membasahi kedua pipiku. Di saat air mataku tak berhenti mengalir, dia masih sanggup memberikan senyuman terbaiknya.

Dia selalu seperti itu.

Aku tak kuasa untuk menahan diri lebih lama. Ketika dia benar-benar menutup jarak di antara kami, lenganku terlingkar erat di pinggangnya. Tangisku pecah tanpa suara. Tubuhku bergetar hebat.

Pertemuan pertama kami, setelah tujuh tahun berlalu, harus diawali dengan keadaan yang tidak menyenangkan. Aku tak bisa mendengar candaan Edgard dari bibirnya. Aku tak bisa membuka bibirku dan mengatakan aku merindukannya, ketika bahkan kami bisa saja terpisah selamanya.

"Berhenti menangis." Edgard mengecup puncak kepalaku. "Aku di sini, Flo."

Aku menggeleng pelan. Menengadah untuk menatapnya. Air mata masih berjatuhan membasahi pipiku. Dia tak mengerti seberapa sakit hatiku melihat keadaannya. Tubuhnya kurus. Lingkaran hitam menghiasi kedua matanya.

Sorotnya yang teduh menyakitiku berkali-kali. Seandainya dulu, aku menolak permintaannya agar pergi ke Amerika, mungkin kami telah bahagia.

Bukan seperti ini...

"Aku merindukanmu." Edgard mengusap pipiku lagi. Senyumannya berubah kekehan pelan. "Apa kau tak merindukanku?"

Bibirku masih terkatup. Lidahku kelu untuk bergerak. Jemariku bergerak mengusap rahangnya yang dipenuhi cambang halus. Edgard menatapku. Aku membalas tatapannya.

Untuk seperkian detik, hanya seperti ini. Hingga pada akhirnya, aku tak bisa menahan diriku lebih lama.

"Aku merindukanmu," lirihku. Yang dibalas senyuman manis dari bibir Edgard.

Awalnya dia terlihat ragu. Namun, ketika aku menggerakkan tanganku melingkar di lehernya, Edgard meraih tengkukku. Mencium bibir dengan lembut dan penuh perasaan.

Rasanya berbeda.

Aku tak mengerti. Apakah ciuman memang sebaik ini? Bibir Edgard penuh kesabaran mencecap bibirku. Tidak ada getaran halus di area perutku. Selain perasaan menghangat yang biasa terjadi.

Ini datar.

"Terima kasih." Edgard tersenyum lagi. Dia sangat manis dengan sikapnya yang sederhana. "Terima kasih telah menjaga dirimu untukku."

Aku tertegun. Terdiam dengan rasa menyesal yang tiba-tiba meliputiku. Aku tak bisa membalas senyuman bahagianya. Karena pada kenyataannya, dia bukan pria pertama yang mendapatkan ciuman itu.

"Kau baik-baik saja?"

Tidak.

"Ya, aku baik-baik saja." Aku memaksakan sebuah senyuman. "Apa kau akan diam di sini untuk sementara waktu?"

Edgard menghela napas pelan. Ia mengangguk singkat. "Aku harus menjelaskannya lagi sampai sore. Sidang akan dimulai lusa dan vonisku..."

Edgard tak melanjutkan ucapannya. Ia menatapku lekat dan seakan tak sanggup untuk menjelaskan lebih banyak lagi. Bibirnya terkatup rapat. Edgard menyelipkan anak rambut ke belakang telingaku.

"Aku masih akan di sampingmu, Florentina. Jangan khawatir."

Aku membalas pelukannya. Kudengarkan detak jantungnya yang beraturan dan tersenyum.

"Berjanjilah untuk menungguku sekali lagi." Edgard mengecup keningku. "Kita pasti bisa melewatinya bersama."

Aku ingin memeluknya lebih lama lagi. Bahkan bila perlu, Edgard lebih baik memutuskan untuk tinggal bersamaku. Di Italia, memutuskan tinggal bersama sebelum menikah bukan hal yang tabu. Tapi, dia adalah Edgard. Pria yang mencintaiku. Bukan pria yang melecehankanku.

Jadi, ketika pelukan kami terlepas. Kami berpisah. Edgard kembali pada ruangan di mana pertama kali kami bersitatap. Senyumannya masih berputar di benakku. Dan itu membuatku menepi di pinggir jalan. Untuk menikmati segelas kopi dingin.

Apa yang kupikirkan sebenarnya?

Jemariku bergerak tanpa sadar. Menyentuh bibirku yang sedikit memerah karena ciuman Edgard. Kemudian, bayangan sosok Alarico kembali menyergap benakku.

Ciumannya yang tergesa-gesa. Tak sabaran. Membuatku menggelengkan kepala beberapa kali. Kopi di tanganku sudah habis tanpa kusadari. Pulang ke rumah dan memikirkan apa yang harus kulakukan lebih baik.

"Florentina, Ayah dan Ibu menunggumu untuk makan malam." Serena menyambutku yang baru sampai di mansion. Ia menuntun bocah laki-kali berusia 5 tahun an.

"Ah, Sayang. Sapa kakakmu..." ujarnya pada bocah itu.

Dia manis. Jujur saja. Aku tak bisa untuk tak meleleh ketika bersitatap dengan anak kecil. Sepasang mata cokelatnya yang terang begitu kontras dengan rambutnya. Dia mirip Ayahku.

Untuk menepis sosok Serena di hadapanku. Aku menunduk, mengusap pipi tembam bocah laki-laki, yang Serena sebut sebagai adikku.

"Siapa namamu?" tanyaku dengan nada lembut.

Permen di mulutnya terlepas. Ia tersenyum. "Orion," bisiknya.

Mendengar namanya sudah cukup untukku. Aku tak ingin berlama-lama di hadapan Serena. "Kau bisa meminta Ayahku untuk makan lebih awal."

Setelah mengatakan itu dengan nada dingin, aku melangkah meninggalkannya dan masuk ke kamar. Kuhempaskan tubuhku ke atas ranjang. Kepalaku pening. Aku harus berpikir jernih untuk memecahkan masalah. Tapi aku tak bisa melakukannya.

Ideku buntu. Pengacaraku menolak untuk membantu karena masalah ini bukan masalah ringan. Aku melempar ponselku ke samping. Mengabaikan pesan lainnya--yang berupa penjelasan yang dikirim pengacara keluarga Costa.

Kertas yang sempat kuremas terselip di antara jemariku. Kutatap lekat nama yang tertera di sana.

Alarico Bianchi, rupanya dia ingin bermain denganku.

TBC

Playing Her HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang