Bab 5

36.4K 3.6K 97
                                    

DILARANG KERAS MENJIPLAK KARYA TILLY D; MENGUTIP SEBAGIAN, MENYALIN, MENGAMBIL INSPIRASI PENUH, MENGGANTI JUDUL; NAMA TOKOH, ALUR. BAIK DISENGAJA MAUPUN TIDAK DISENGAJA. CERITA INI MEMILIKI HAK CIPTA.

****

Aku memperbaiki tatanan rambutku. Membiarkan helaian cokelat itu tergerai sampai punggung, sebelum melangkah keluar dari mobil dan melewati lobi. Aku tak merasa heran ketika di jam istirahat seperti ini, semua mata karyawan pria tertuju padaku.

Aku tidak memiliki kepercayaan diri yang berlebihan, tapi aku tahu aku memang cantik. Semua orang berkata begitu. Tubuhku tinggi semampai, diberkati sebuah lekukan yang membuat siapapun ingin melingkarkan lengannya di sana. Bibirku penuh, tak berlebihan namun menggoda.

Sorot mataku biasa saja. Aku merasa bahwa mataku terlihat polos dengan warna hijau zamrud, tapi mereka mengatakan sebaliknya. Teman-temanku di Amerika bilang, aku memiliki ketertarikan tersendiri. Mata polos di luar dan sensual di ranjang.

Lucu. Aku tak suka mendengar kata itu.

Aku melewati beberapa pasang mata yang lagi-lagi menggodaku terang-terangan. Tak sedikit yang bersiul dan terlihat ingin mendekatiku.

"Ada yang bisa saya bantu?" Resepsionis di hadapanku semula tertegun. Menimang-nimang dari penampilanku.

Aku tak yakin dalam hati dia menertawaiku. Karena tak ada yang salah sama sekali, dengan mini dress berwarna hitam--ketat--yang membalut tubuhku. Kecuali, jika aku mengenakan kemeja dan rok span yang sama, dengan apa yang dia kenakan saat ini.

"Aku ingin bertemu dengan Alarico Bianchi," ujarku to-the-point. Aku tak ingin bertele-tele. Waktuku tidak banyak.

Resepsionis itu terkejut. Raut wajahnya yang semula ramah, kini berubah mencibir. Decakannya jelas terdengar di telingaku.

"Anda tidak diperkenankan menemui Tuan Alarico. Apa lagi, jika tidak ada hal yang mendesak."

Aku mengernyit. Bingung. Apa maksudnya ini? Aku menelepon tadi malam. Pukul tujuh dan telah membuat janji dengan sekretaris Alarico Bianchi. Mana mungkin setelah aku datang kemari, aku ditolak begitu saja.

"Apa kau tak melihat jadwalnya dengan baik?" aku mulai memasang wajah datarku. Membalas tatapan resepsionis itu dengan angkuh dan sedingin mungkin.

"Nona, Tuan Alarico tidak dapat diganggu saat ini--"

"Sabria, apakah ada tamu?" Tiba-tiba seorang wanita berwajah Asia mendekat. Wanita itu mengintrupsi percakapan kami. Membuat resepsionis yang dipanggil Sabria menunduk sedikit.

Wanita bermata sipit itu menatapku. Tersenyum. "Nona Florentina Costa?" tanyanya seperti memastikan.

Aku mengangguk singkat.

"Lexis Tan, saya sekretaris Tuan Alarico." Lexis mengulurkan tangannya padaku dan aku menyambutnya tanpa ragu. Resepsionis tadi, membulatkan kedua matanya.

"Di mana Tuanmu?" ujarku dengan tatapan terpaku pada Sabria. Andai aku pemilik perusahaan raksasa itu, aku pasti akan memecatnya. "Wanita itu bilang ... Alarico sedang sibuk," tambahku yang membuat wajah Sabria memucat.

Lexis meringis pelan. "Maafkan saya atas ketidaknyamanan Anda. Saya akan mengantarkan Anda sekarang."

Aku mencibir. Melewati Sabria yang menunduk dalam. Perusahaan sebesar ini pasti akan menendang resepsionis itu dengan mudah. Aku pernah mendengar desas-desus kecil bahwa perusahaan Bianchi rajin memecat karyawannya--sekalipun hanya kesalahan kecil. Dan perusahaan raksasa itu adalah impian banyak orang untuk bekerja di sana.

"Sebelah sini."

Aku menjaga sikapku. Agar tak terlalu kagum pada arsitektur perusahaan milik Alarico. Tapi jujur saja, perusahaan itu memang mewah dan pundi-pundi kekayaan Alarico pastilah menggunung.

"Silakan."

Kupikir, aku akan disuguhkan pemandangan sialan yang biasa terjadi di perusahaan milik dewa Yunani. Hubungan gelap petinggi dengan asistennya sendiri, namun ketika pintu terbuka; dugaanku salah.

Alarico tengah sibuk dengan berkasnya. Ayolah ... Ini jam makan siang, aku yakin dia akan bersenang-senang dibanding duduk manis di sana.

Pria dengan wajah tampan dan sikap mesumnya ... Alarico memang panas. Wajahnya yang serius dua kali lipat lebih menggoda. Aku mendengus dalam hati. Mengubur dalam-dalam pujian konyol yang terlintas tanpa kusadari.

"Duduklah, Florentina." Nada suaranya memerintah.

Aku tak ingin berdebat. Maka dengan tenang, aku duduk di hadapannya. Menatap lekat pria itu, yang kini juga menatapku.

"Aku tak terkejut ketika kau datang kemari," ujar Alarico setengah berbisik.

Aku berdeham pelan. Mengalihkan pandangan darinya dalam seperkian detik. Senyuman sinisku terlukis. "Apa yang kau inginkan dengan memfitnah kekasihku?" tanyaku, penuh penekanan di akhir kata.

Alarico mengernyit. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya terjadi."

Aku terkekeh pelan. Menertawai leluconnya. "Kau baru saja bergurau dan berpikir bisa memasuki permainan yang jelas bukan untukmu."

Aku bangkit. Meraih tasku dan nyaris melewatinya ketika Alarico menghadangku dengan cepat. Mengurungku hingga bokongku menyentuh meja kerjanya.

"Jadi, kau datang kemari hanya untuk mengatakan itu?"

Aku menelan ludah. Lagi-lagi merasa bahwa diriku di luar kendali. Lemah dan payah. Auranya yang kental, mendominasi, membuatku merasa sesak.

"Aku memperingatimu." Dewi batinku bersorak tatkala lidahku bergerak sesuai dengan kemampuannya. "Apa pun yang kaupikirkan untuk menghancurkan kehidupanku, aku tak akan membiarkannya."

"Ah, beritahu aku bagaimana aku harus memulai."

Aku mendengus kasar. "Maka berhenti dan menjauhlah."

Alarico menekanku lebih merapat di meja kerjanya. Sialan. Aku benar-benar tak mampu bergerak. "Kukira kau kemari untuk memohon padaku, Florentina." Jemarinya bergulir mengusap daguku. Lalu turun nyaris menyentuh belahan dadaku.

Aku mendorong dadanya. Membuatnya tersungkur. Sekuat tenaga, aku berlari dan mencoba meraih knop pintu. Tapi, dia kembali menahanku.

"Lepaskan aku berengsek!" aku meronta. Alarico tersenyum di balik tengkukku.

Rontaanku sia-sia. Tubuhku dengan mudah menghadapnya. Dalam sekali sentakan, Alarico menciumku. Kedua mataku membulat. Aku meronta dan memukul pundaknya sekuat tenaga.

Dia begitu kuat. Rontaanku tidak sebanding dengan gerakan tangannya yang terus bergerak ke sana kemari. Ke beberapa bagian tubuhku, yang sialan lebih lama malah membuatku lemas.

Bibirnya bergerak melumat bibirku dengan gerakan tergesa. Ya Tuhan, aku membuka mulutku terkejut merasakan sebelah tangannya meremas bokongku. Alarico membuatku hancur. Lidahnya bagaikan mendapat kesempatan. Menjelajah mulutku dan menggoda lidahku.

Aku menamparnya. Ini akan terjadi untuk kedua kalinya. Tapi, hal itu hanya dalam bayanganku. Alarico menangkap pergelangan tanganku.

Dengan napasnya yang masih terengah. Ia berbisik. "Aku menginginkanmu Florentina. Itulah mengapa, aku bergabung ke dalam permainan kalian."

TBC

A/N : Tolong tinggalkan cerita ini jika kalian tidak menyukainya. Cerita ini termasuk ke dalam kategori dewasa karena diksinya terangan-terangan/vulgar. Adegan dewasa juga tidak akan disensor.

Jangan sampai ada komentar negatif di sini. Cari lapak lain bagi kalian yang di bawah umur.

Fyi, saya update ketika tidak sibuk. Jadi jangan sampai berpikir dan berharap lebih saya update tiap hari.

Playing Her HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang