P R O L O G

54.3K 3.8K 128
                                    

Ayahku terlihat bahagia. Tapi tidak denganku. Di hari pernikahannya yang kedua, aku duduk sendirian di taman. Menyembunyikan diri dari banyak orang. Tak ingin dikenal. Tak ingin tersorot bahwa Enrico Costa memiliki anak gadis yang baru saja menginjak remaja.

Di luar sana, banyak wartawan yang meliput. Tentu saja. Berita pernikahan Ayahku dengan seorang model bernama Serena James, menyebar ke seluruh Italia. Bahkan mungkin ke pelosok dunia.

Perbedaan usia yang terpaut cukup jauh, membuat mereka terlihat seperti Ayah dan anak. Serena baru saja menginjak dua puluh lima, dan aku tujuh belas tahun. Apa kami lebih cocok dipanggil Kakak-Adik? Benar sekali.

Aku membenci Serena. Dia penggoda ulung yang tidak tahu malu. Aku tidak tahu apa yang dikatakannya--hingga membuat Ayahku terlena--tepat setelah dua bulan Ibuku meninggal. Ayah bahkan tak mendengar ucapanku untuk tak menikahinya.

Menyebalkan.

"Hei, kau tampak murung."

Aku menoleh ketika merasakan tepukan ringan di pundak. Edgard Vivaldi, sahabat sekaligus kekasihku tersenyum ke arahku. Ia duduk di sampingku. Bergabung dan menyodorkan segelas sampanye yang tampak berkilauan.

"Aku tidak mau meminum apa pun," dengusku kesal. Edgard mengetahui segalanya. Dia tahu aku tak senang dengan acara malam ini. Dan aku pernah memintanya agar membawaku menjauh dari sini.

Namun, Edgard tak ingin mengambil resiko. Besok, aku akan meninggalkan Italia. Dia menyemangatiku. Mengatakan bahwa pergi ke Amerika dan melanjutkan sekolahku di sana lebih baik dibandingkan diam di Italia.

Percayalah ... Aku suka dengan pemikirannya. Meskipun usia kami hanya terpaut satu tahun, dia begitu dewasa. Tapi, bukan itu yang mengganjal di pikiranku.

Jika aku pergi, maka semakin sulit bagi kami untuk bersama-sama.

"Ini malam terakhir kita, Flo." Edgard mengacak rambutku dengan sayang. Senyuman di bibirnya tertarik. Sekilas aku dapat melihat kesedihan di manik matanya.

Hubungan kami tidak direstui. Keadaan ekonomi Edgard yang biasa saja membuat Ayahku menentang keras hubungan kami. Ayah Edgard hanya bekerja sebagai barista di kelab malam. Ibunya pergi ketika Edgard berusia sembilan tahun.

Aku tak pernah mempertanyakan kenapa Ibunya pergi. Itu akan menyakiti perasaannya.

Aku menghela napas sedih. Menatap Edgard yang masih tersenyum. Aku mengulurkan tanganku. Mengusap pipinya dengan lembut.

"Aku mencintaimu, Edgard," lirihku pedih. Air mataku nyaris terjatuh. Tapi dengan sekuat tenaga aku menahannya. "Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkanmu...."

Edgard menggelengkan kepalanya. "Kembalilah padaku setelah semuanya selesai." Ia memaksaku agar kembali menatapnya.

Aku lemah. Aku terlalu mencintainya. Dia telah memberikan semangat dan membuatku merasa hidup. Dulu, aku selalu kesepian. Hidupku hanya dikelilingi oleh para pengasuh, yang bahkan sama sekali tak peduli bagaimana aku melangkah.

Hingga Edgard datang dengan mata hijau cerahnya. Dia seperti pelangi yang perlahan memberikan warna. Hidupku tak lagi membosankan. Tidak ada lagi peraturan yang harus kulalui. Tidak ada lagi duduk di taman, menunggu Ibuku pulang di sore hari.

Air mataku terjatuh. Aku tak sanggup menahannya lebih lama. Edgard memelukku. Membisikan kata-kata cintanya yang membuat dadaku terasa diremas.

"Aku berjanji untuk membahagiakanmu, Floren." Edgard menenggelamkan kepalaku di dadanya. "Pulanglah ketika aku siap dan kita menikah."

Edgard mengecup keningku cukup lama. Selama ini, Edgard menghargaiku. Dia bilang, dia takkan pernah menyentuhku lebih dari tangan dan kening sampai aku benar-benar siap.

"Sekarang, pakai topengmu. Acara sudah dimulai."

Tarikan Edgard di lengan memaksaku untuk bangkit. Menerima topeng di tangannya dan bergabung ke lantai dansa. Aku yakin, Ayahku tak menyadari bahwa Edgard berada di sini sekarang. Kenyataan itu membuatku merasa lega.

Aku menatap punggung Edgard yang memasuki kerumunan para pasangan. Ayahku dan Serena berada di ujung ruangan. Berdansa dengan mesra seakan-akan dunia hanyalah milik mereka berdua. Keadaan itu membuatku muak. Apa lagi, senyuman ramah Serena yang dibuat-buat membuatku ingin sekali mencabik wajahnya.

Remasan Edgard di jemariku, membuatku mengalihkan pandangan. Kami telah berhadapan. Memposisikan diri sebaik mungkin untuk berdansa. Lantunan musik yang romantis mengiringi gerakan kami. Pencahayaan meredup perlahan.

"Aku sangat mencintaimu," bisik Edgard pelan.

Aku hanya tersenyum. Lantunan musik berganti. Gerakan kami berubah menjadi lebih ceria. Entah bagaimana, aku dan Edgard terlalu asyik menari. Hingga aku kehilangan jemarinya.

Kedua mataku bergerak ke sana kemari, mencari sosok Edgard yang menghilang dari pandanganku. Musik kembali berganti. Lebih lembut. Dan cahaya lampu kian meredup. Para tamu yang menggunakan topeng mengelilingiku. Berdansa dengan pasangan mereka masing-masing.

Hal itu membuatku kian sulit mencari Edgard.

"Ed--" Suaraku tertelan. Tubuhku menabrak seseorang. Seketika, aku nyaris terjatuh andai dia tak memeluk pinggangku.

Dia menatapku. Di balik topeng yang dikenakannya.

"Maaf, aku--"

Gerakanku tertahan ketika dengan mudah ia menarikku ke posisi semula. Harum parfumnya yang maskulin memenuhi hidungku.

"Kau ingin berdansa?" tawarnya terdengar serak dan dalam.

Aku melirik ke sekelilingku. Semua orang berdansa dan tak ada celah bagiku untuk keluar dari sini. Aku mengalihkan pandangan pada pria di hadapanku. Aku hanya mengangguk tanpa memberikan jawaban.

Dan sepertinya, itu cukup membuatnya mengerti. Karena selanjutnya, aku merasakan lengannya membungkus pinggangku.

Dia tidak seperti Edgard.

Aku menelan ludah. Berusaha menatap ke segala arah agar tak tertarik untuk memandanginya. Tapi, kedua mata cokelatnya yang begitu tajam--menatapku dengan intens di balik topeng yang ia kenakan.

Aku merasa tubuh kami kian dekat. Terlalu dekat hingga aku dapat merasakan hembusan napasnya di wajahku.

"Florentina Costa," bisiknya, sebelum dengan kurang ajar mendaratkan bibirnya di atas bibirku.

Tbc

A/N : Saya merasa lebih tertarik melanjutkan BI dibandingkan SE. Jadi SE saya pending. Semisal draftnya nggak meyakinkan, mungkin saya unpublish. BI pun saya perbaiki biar sinkron sama draft baru.

Oh iya, BI adalah cerita mature ya. Tepatnya Erotika. Jadi tolong sekali, bijaklah dalam memilih bacaan.

Apa pun yang ditulis author, kalau kalian berminat silakan ikuti tanpa banyak memprotes.

Playing Her HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang