Bab 2

43.2K 3.9K 112
                                    


DILARANG KERAS MENJIPLAK KARYA TILLY D; MENGUTIP SEBAGIAN, MENYALIN, MENGAMBIL INSPIRASI PENUH, MENGGANTI JUDUL; NAMA TOKOH, ALUR. BAIK DISENGAJA MAUPUN TIDAK DISENGAJA. CERITA INI MEMILIKI HAK CIPTA.

***

Berita itu pasti bohong. Aku yakin Edgard tak mungkin melakukannya. Pembunuhan sadis beserta perampokan yang menewaskan dua orang, seseorang pasti menjebaknya. Edgard tidak seperti itu. Dia pria baik-baik.

Maka, ketika kertas itu terhempas dengan kasar ke lantai, aku bergegas menuruni anak tangga. Menghampiri Ayahku yang duduk manis di taman. Menghadap kolam renang dan menikmati senja.

Pria tua itu masih egois. Tidakkah cukup membuatku menderita selama ini?

Kutatap Ayahku dengan berapi-api. Dia menoleh dan menampakan senyuman yang manis.

"Floren, ada apa?"

Ayahku lagi-lagi berlagak polos. Seakan-akan tidak ada yang terjadi. Raut wajahnya membuatku muak.

"Apa kau tak lelah mempermainkan hidupku terus menerus?" tanyaku sinis, menularkan kerutan dalam di dahinya. Dan aku tak peduli. Terakhir kali Ayahku memperingati hubunganku dengan Edgard, Edgard terkapar di rumah sakit selama satu minggu.

Ulah siapa? Ayahku.

"Aku tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan." Ayahku menggeleng. "Apa yang--"

"Edgard ... Kau melakukan apa padanya?"

Nada suaraku meninggi. Ayahku terkejut. Kukira dia akan tertawa meledek lagi. Seperti dulu. Nyatanya, raut wajahnya justeru tampak tersinggung. Membuatku ragu bahwa dia memang penyebab masalah besar ini.

Masalahnya, Ayahku pembohong ulung.

"Aku tak ingin mendengar apa pun tentang anak brandalan itu, Florentina." Ayahku bangkit dari duduknya. Suara batuknya terdengar tercekat. Ia berdeham pelan. "Bisakah kita mengganti topik lain?"

Aku terkekeh pelan. Mengusap kening dan menatapnya dengan senyuman di bibir. Mengejek. Dalam seperkian detik raut wajahku berubah dingin. Tatapanku menusuk.

"Ayah tak bisa mengaturku lebih jauh lagi," bisikku pelan. "Aku mencintai Edgard, biarkan kami bahagia."

"Kau pikir ... Bagaimana cara dia akan menghidupimu?" Ayahku mendesis. Mulai tertarik topik untuk beradu mulut. Aku yakin sekarang bahwa dia memang pelakunya.

Kadang raut wajahnya yang memelas memang menyakinkan. Membuat lawannya lumpuh dan plin-plan di waktu yang bersamaan. Tapi ini aku, Florentina Costa, yang telah hidup bersamanya nyaris dua puluh empat tahun lamanya. Meskipun tujuh tahun kami tak berjumpa, aku tahu bagaimana Ayahku dan sifat egoisnya yang memuakkan.

"Edgard memiliki pekerjaan." Aku mendengus pelan. Aku meraih jaket kulitku. Menyampirkannya di pundak. Kunci mobilku berdenting dalam genggaman.

"Ke mana kau akan pergi?"

"Jika Edgard mati, maka aku mati."

Aku berlari mengabaikan panggilannya. Melewati beberapa pengawal yang tertarik untuk menatapku. Mobil range rover hitam menjadi sasaran utamaku. Air mataku terjatuh tatkala mobil yang kukendarai melaju.

Kulirik Ayahku yang mematung di depan mansion melalui kaca spion. Aku menyayanginya, lebih dari apa pun, tapi Edgard adalah hidupku. Dia cahaya yang selama ini kucari. Bagaimana mungkin aku akan diam sementara dia mendekam di penjara?

Aku menghapus air mataku dengan kasar. Menginjak pedal gas dengan tekanan yang cukup dalam hingga mobilku melaju tak terkendali.

Aku akan pergi menemui Edgard sekarang. Penjelasan dari bibirnya lebih baik dibandingkan koran sialan itu. Tidak ada yang bisa kupercayai. Termasuk Ayahku, dia menentang hubunganku dengan Edgard--selalu--dengan alasan yang sama.

Padahal, tidak ada yang salah dengannya. Edgard memiliki pekerjaan yang cukup layak sekarang. Dia bisa menghidupiku. Kami akan berjuang bersama. Jika keadaan finansial yang ayahku pikirkan. Dia salah.

Aku menghela napas. Mencoba menghubungi Ayah Edgard. Kuharap, dia akan mengangkat teleponku sebelum aku menemui Edgard.

Teleponku tidak tersambung. Mungkinkah Ayahnya mengganti nomor ponsel? Aku berusaha kembali fokus menatap jalanan. Dengan pandangan yang memburam karena air mata. Tiba-tiba mobil yang melaju di depanku, berhenti mendadak, membuat mobilku menabrak mobilnya dengan kecepatan kilat.

Sialan. Apa lagi?

Demi Tuhan. Aku akan membunuh siapapun di dalam mobil itu. Menembaknya dengan pistolku.

"Berengsek, apa kau pikir jalanan ini milikmu?" Aku melangkah ke luar dari mobilku. Memaki dan tak peduli penampilanku tampak mengerikan saat ini.

Sang empu pengendara mobil melangkah ke luar. Terlihat menyesal. "Maafkan saya, Nona."

Aku menghela napas kasar. Menatapnya tajam diiringi membunuh. Pria muda itu tampaknya tidak berpengalaman dalam berkendara.

"Kau harus kembali duduk di bangku sekolah, anak muda. Apa yang kaulakukan dengan mobil ini?" sindirku sarkastik.

"Kau pikir ... Bosmu akan membayarku dan memperbaiki semuanya?"

Dia terdiam. Hanya meringis sesekali dengan ketakutan. Auraku memang selalu mengerikan ketika berhadapan dengan musuh. Namun, ketika seorang pria muncul dari pintu penumpang. Aku tak sanggup untuk kembali berujar.

"Masuklah, Zienco," perintahnya dengan suara yang dalam. Supir itu masuk ke dalam seraya menunduk.

Lalu tatapan pria itu teralih padaku. Ia menelusuriku dengan pandangan menggoda yang terang-terangan. Aku yakin, semua ini hanyalah kebetulan. Ini pasti hanya imajinasiku. Atau aku terlalu lelah memikirkan masalah hidupku.

Langkah kakinya mendekat. Tanpa bisa dicegah, bayangan itu muncul. Tujuh tahun yang lalu, aku menampar seorang pria dengan mata cokelat yang gelap. Kemudian dia membuka topengnya dan kedua mata kami bertemu.

Ini bukan pria itu. Aku berusaha menenangkan diri. Tapi, lidahku kelu. Aku tak memiliki tenaga untuk berujar. Gerakan halusnya menyentuh sejumput rambutku dan harum parfumnya yang sama, membuatku membatu.

"Bagian mana yang harus kuperbaiki Nona Florentina?"

Dia tahu namaku. Alarico Bianchi, pria di hadapanku jelas adalah si brengsek yang mencuri ciuman pertamaku.

"Bagian ketika aku merusak mobilmu..." Alarico menunduk. "Atau karena aku pernah menciummu?"

TBC

A/N : Jika kalian tidak menyukai cerita ini, pintu terbuka lebar :) cerita ini hanya dibuat khusus bagi readers yang memang berniat membaca tanpa menebar hujatan.

Fyi, tokoh cowoknya bukan tipe Romero. Saya berusaha membuat tokoh pria yang menyebalkan, dan berengsek.

Playing Her HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang