Aku melangkah pelan setelah keluar dari mobil. Malam ini aku harus diantar supir karena masih sangat lelah. Baru tiga jam yang lalu sampai dan sekarang harus menghadiri acara ulang tahun Om Setya ini. Semuanya sudah diurus Mbak Widi jadi aku tidak perlu lagi mengkhawatirkan pesta milik suami Tante Ratih ini.
Kalau tidak mengingat ini pesta penting Tante Ratih aku mungkin akan lebih memilih tidur setelah penerbanganku pulang dari peresmian spa milik Romi yang delay hampir dua jam. Aku yang belum ada tidur masih sedikit puyeng karena setelah sampai aku harus memeriksa berkas penting di kantor.
Tapi setidaknya aku bersyukur dan ikut senang karena acara Romi berjalan lancar dan sukses. Sayang saja Tris tidak bisa datang karena suami posesif-nya tidak mengizinkan untuk naik pesawat atau bepergian jauh karena memang sekarang sudah memasuki minggu-minggu terakhir dari taksiran persalinan Tris. Aku hanya bisa berdoa sahabatku itu bisa melahirkan dengan lancar dan anak mereka nantinya juga sehat.
Aku masuk ke dalam kerumunan tamu pesta yang terlihat luar biasa dengan semua yang mereka pakai agar terlihat menarik di mata orang lain. Beginilah dunia, pesta tetaplah jadi ajang pamer yang tanpa sadar membuat orang-orang berlomba untuk jadi pusat perhatian.
Aku bernapas lega saat melihat pemilik pesta sedang berbincang dengan Mbak Widi, sepertinya acaranya akan segera dimulai.
Aku mendekat ke arah mereka dan hanya bisa tersenyum karena Tante Ratih yang tiba-tiba dengan hebohnya memelukku hingga sulit bernapas dan jadi pusat perhatian tamu undangan yang lain.
Setelah memberi ucapan pada Om Setya aku baru menyadari kalau aku tidak membawa kado karena memang tidak sempat membelinya, bisa datang saja aku sudah bersyukur.
Acara ulang tahun ini terasa berbeda, memang acara ini terlihat seperti pesta ulang tahun kebanyakan dengan dress code gaun dan jas tapi ternyata tidak ada prosesi tiup lilin yang lazim ada di setiap pesta ulang tahun.
Cara berdoa yang keluaga ini pilih juga bukan cara berdoa yang biasa, Om Setya membaca doa dalam bahasa Arab, pantas saja Tante Ratih memakai hijab malam ini ternyata acara ulang tahunnya seperti ini. Aku benar-benar terkesan dengan cara mereka menghargai dan memaknai pertambahan umur.
Acara utama sudah usai, aku sedang mendengarkan laporan kerja Mbak Widi untuk acara ini saat Tante Ratih menggamitku.
Aku mengikuti langkahnya yang membawaku pada beberapa kumpulan teman-teman arisan dan relasi bisnisnya. Aku hanya bisa tersenyum saja mendengar Tante Ratih memperkenalkanku dengan nada yang terdengar bangga seperti sedang memperkenalkan putrinya, hal yang biasa aku dengar karena Mommy juga sering melakukannya saat memperkenalkanku pada teman-temannya.
"Nah, sekarang Tante kenalin kamu sama seseorang yang spesial malam ini." Aku berusaha mengikuti langkah Tante Ratih yang membawaku menuju kumpulan para tamu pria, sekarang apa lagi yang akan Tante Ratih lakukan. Apa ia juga akan mempromosikan aku di depan para tamu pria yang tiba-tiba terdiam dan menatapku.
"Kenalin, ini putra pertama Tante, Gendra." Aku mengangguk sopan pada cowok di depanku yang terlihat menarik dengan kaca mata yang dipakainya.
"Oh hai, aku Gendra." Aku kagum dengan sikap ramah cowok ini, sangat berbeda dengan putra Tante Ratih yang songong itu yang saat aku mengajak berkenalan tidak mau menerima uluran tanganku, sangat tidak sopan.
"Aku Alana." Aku menerima uluran tangan yang menggenggam tanganku hangat sehangat senyumnya.
Senyum Mas Gendra ini kalem namun juga bisa membuat hati beku sekaligus dada bergemuruh. Pasti akan sangat mudah bagiku menyukai sosok sehangat ini–tenang saja, aku tidak berniat menjadikannya teman kencanku. Aku harus memikirkan nasib Tante Ratih kalau aku permainkan hati putranya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chapter of Love
Romance️Ini tentang Alana dan ketakutannya pada komitmen. Jika ada yang menawarkan ikatan dengan cara tidak biasa, mungkinkah ia akan terus menolak? Slow update.