(04) | PSH 🌈

20.1K 895 20
                                    

happy reading:)

🌈🌈

beribu saat dalam kenangan
surut perlahan
kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
sewaktu detik pun jatuh

kita dengar bumi yang tua dalam setia
kasih tanpa suara
sewaktu bayang-bayang kita memanjang
mengabur batas ruang

kita pun bisu tersekat dalam pesona
sewaktu ia pun memanggil-manggil
sewaktu kata membuat kita begitu terpencil
di luar cuaca.

(Sajak Putih, Sapardi Djoko Damono)

Begitulah kira-kira puisi Pak Sapardi yang ia baca di buku antologi karya beliau. Cipta sastra yang sederhana dan penuh makna menjadi salah satu alasan mengapa Athala begitu mengagumi setiap rangkaian kata yang ditulisnya.

Athala menutup buku tersebut kemudian mengembalikannya ke tempat semula. Kini, kakinya melangkah menuju rak novel fiksi. Di sana, banyak berbagai novel remaja yang disukai anak SMA jaman sekarang, termasuk Athala tentunya. Gadis itu duduk kembali setelah mengambil sebuah novel bersampul biru yang berjudul Pelangi Setelah Hujan karya panda Ooreo.

Pelangi setelah hujan cukup menjadi bukti bahwa sebesar apapun, seberat apapun kesedihan yang kita rasakan, akan menjum--

"DOR!"

Athala tersentak, dia mengelus dada saking terkejutnya. Gadis itu menatap tajam si pelaku yang kini tengah memamerkan gigi putihnya dengan tangan yang membentuk tanda damai.

"Bisa nggak sih lo nggak gangguin gue sehari aja?!" suara Athala yang meninggi membuat penghuni perpustakaan menoleh padanya seraya memperingatkan untuk tidak membuat bising.

Gadis itu meminta maaf dengan senyuman kikuk. Dia melirik Davin kesal lalu kembali larut dalam kegiatannya, berusaha mengabaikan keberadaannya.

Davin menarik kursi lalu duduk di hadapan Athala. "Tapi gue seneng gangguin lo, gimana dong?"

Tak ada tanggapan dari Athala.

"Lo masih marah soal kemarin, ya?" tanyanya tepat sasaran. "gue minta maaf deh, soalnya gue takut lo kenapa-napa."

Athala masih menutup mulutnya rapat-rapat.

"Berasa ngomong sama patung gue," keluhnya. "eh, tapi mana ada patung secantik bidadari kayak gini?"

"Berisik!"

Senyum Davin melebar, "Akhirnya lo ngomong juga!"

"Lo nggak laper gitu? Maksud gue, istirahat itu waktunya mengisi perut lho bukan buat baca buku," sambung Davin.

Lagi dan lagi, Athala membisu.

"Yah, abang dikacangin!"

Davin menangkup dagunya menggunakan kedua tangan dengan bola mata yang terus memperhatikan Athala. Dia mengamati Athala yang tengah serius membaca novel. Baginya hal itu tidak membosankan selama objek pandangnya adalah Athala.

Tetapi lama kelamaan dia menjadi jenuh sendiri. Akhirnya cowok itu mengambil ponsel dari saku seragamnya kemudian membuka aplikasi kamera. Diam-diam dia memotret Athala tanpa gadis itu ketahui.

"Yes, dapet!" ucapnya girang karena berhasil mendapat satu gambar Athala.

Gadis tersebut menatap Davin penuh selidik.

"I-iya dapet, ini gue lagi mainin game Doraemon. Lo mau coba, Tha?" ucapnya dengan terbata-bata.

"Lo fotoin gue, ya?" tudingnya.

"Dih, enggak! Ngapain juga gue motoin lo?" Davin berkilah.

"Hapus nggak fotonya!"

"Hapus apa sih? Orang gue gak foto lo kok!"

"Bohong! Daritadi kamera lo ngarah ke gue terus, lo pikir gue nggak tau?"

"Yah, ketahuan deh!" Davin cekikikan seraya memainkan ponselnya kembali.

"Dav, plis deh! Hapus fotonya!"

"Iya, nanti gue hapus kalau udah gue post  ke Instagram, ya, ahaha."

BUK!

Davin langsung tak sadarkan diri setelah kepalanya ia timpuk dengan kamus bahasa inggris yang tergeletak di samping mejanya. Tahu 'kan kamus bahasa inggris tebelnya seperti apa?

___

"Seriusan dia pingsan?"

Athala mengangguk, membenarkan perkataan Ara.

"Astaga, Athala! Kok lo tega banget sih sama dia?" sambungnya.

"Dia-nya aja yang lebay, masa ditimpuk pake kamus aja langsung pingsan!"

Ara dan Ica membelalakan mata begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut Athala dengan lancar tanpa mendengar nada merasa bersalah sedikit pun.

"Lo belum pernah ditimpuk ya, Tha? Sini gue kasih tahu rasanya kek gimana!" ucap Ara seraya mengangkat heels ke arah Athala.

"Eh, eh! Turunin nggak heels-nya?" kata Athala seraya bersembunyi di balik tubuh Ica.

"Lagian sih lo kenapa gitu amat?" kata Ara seraya menurunkan benda tersebut.

Athala memutar bola matanya jengah, "Dia udah sadar sekarang, nggak ada yang perlu dikhawatirin lagi!"

"DEMI APA?!"

Athala dan Ara saling berpandangan heran ke arah Ica yang mendadak berteriak bahagia seperti itu.

"Kenapa lo?" tanya Ara heran.

"Barusan gue baca komentar di Instagramnya Andrew, kalo dia mau pindah ke sekolah kita, KYAAAA!" Ica menyembunyikan teriakannya di bantal dalam pangkuannya.

"Andrew mana, dah?" tanya Athala keheranan.

"Itu lho anak SMA Garuda yang kemaren tanding basket sama sekolah kita,"

"Oh, dia," Athala mengangguk paham. "terus apa hubungannya sama Ica?"

"Ica suka sama dia,"

"Parah banget pada nggak ngasih tau gue bucinnya Ica?" Athala berucap dengan kesal.

"Aduh, chat nggak ya?"

Pandangan mereka beralih kembali pada Ica yang terlihat bimbang antara harus dia yang memulai percakapan ataukah tidak.

"Chat aja kali!" saran Athala yang segera diangguki oleh Ara. "betul tuh! Kalo gak gercep sekarang nanti doi diembat sama cewek lain. Emang lo mau?"

Ica menggeleng sedih.

"Ah lama lo!" Athala merampas ponsel Ica lalu mencari kontak Andrew.

"Jangan deh, nan---"

"Halo? Ini siapa ya?"

Refleks, Ica menoleh pada ponselnya yang kini layarnya menunjukan wajah Andrew. Gadis itu membelalakan mata kemudian mematikan sambungan teleponnya.

Matanya mencari keberadaan Athala dan Ara yang kini sudah menghilang entah kemana.

"ATHALA! ARA! KENAPA KALIAN NGEVIDCALL DIA? GUE MALU B*NGS*T?!"

Pelangi Setelah HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang