(21) | PSH 🌈

12.7K 531 43
                                    

happy reading:)

🌈🌈

Davin berlari di sepanjang koridor. Tidak peduli dengan protes orang-orang karena beberapa kali dia sempat menabraknya. Keringat di dahi mengalir deras. Dibelakang nampak Ica dan Ara juga berlari dengan wajah sama cemasnya.

"Dimana Athala?!" tanya Davin.

Cowok itu segera mendekat ke arah ruangan yang ditunjuk Zero. Dia menghembuskan nafas kasar lalu menjambak rambutnya sendiri. Dia... merasa gagal. Gagal menjaga gadisnya. Bagaimana keadaan gadisnya saat ini membuat dirinya gusar. Apalagi dengan tubuhnya yang mengidap phobia seperti itu.

Tiba-tiba dia mengingat sesuatu.

"Lo udah tau siapa dalang dari kejadian ini?"

Zero malah menunduk, membuat kening Davin bergelombang. Lantas dia menoleh pada Ica dan Ara yang saat ini tengah memperhatikan mereka.

"Kalian tau?"

Kedua gadis itu gelagapan. Mereka saling senggol-menyenggol agar mengangkat suara untuk menjelaskan kejadian yang sesungguhnya kepada Davin.

Ara melirik Davin sekilas lalu mengambil sebuah benda persegi panjang dari dalam saku seragamnya.

"Mending lo baca sendiri aja, biar tahu kejadian yang sebenarnya!"

Davin mulai membaca screenshoot chat dari handphone Ara. Dia mendesis tajam sekaligus rahangnya mengeras.

"Jadi bener si Andrew dalang dari semua ini?!"

"Bukan!" sanggah Ara.

Ara mulai menceritakan awal kejadian itu yang dia dapat informasi itu dari mulut Andrew sendiri.

"Selebihnya gue nggak tau kejadian itu gimana lagi. Tapi yang pasti dia benar-benar nekat ngunciin Athala di gedung belakang. Gue yakin ini semua ada hubungannya sama lo, Dav."

Seketika benak Davin teringat pada satu nama.

"Kurang ajar!"

Davin baru saja hendak mengunjungi rumah si tersangka tetapi pintu ruangan Athala terbuka menampilkan sosok dokter yang telah memeriksa gadis itu.

"Apakah di sini ada pihak keluarganya?" tanya dokter itu.

"Saya kakaknya, Dok!" ucap Zero.

"Mari ikut saya!"

Dokter itu menghela nafas berat. "Pasien mengalami syok berat. Terkunci semalaman di ruangan gelap tanpa makan dan minum membuatnya mengalami dehidrasi ringan."

Zero menghela napas panjang, "Jadi bagaimana sekarang?"

"Setelah pasien sadar, pasien mungkin akan merasa kebingungan dengan hal yang terjadi sebelumnya dan juga rasa ketakutannya terhadap lingkungan gelap menjadi bertambah. Jadi, saya sarankan anda untuk lebih berhati-hati lagi untuk menjaganya!"

Davin mengangguk paham, "Tapi apakah kondisi Athala sekarang membaik, Dok?"

"Alhamdulilah, kondisinya stabil. Pasien juga diharuskan meminum obat-obatan yang saya berikan untuk mengurangi phobianya," Dokter itu menyodorkan kertas yang berisi tentang obat-obatan yang harus ditebus Zero.

"Baik, Dok. Saya permisi."

Davin memasuki ruangan Athala dengan langkah yang lemas. Tatapannya terarah menatap seorang gadis yang terbaring dengan wajah pucat. Tangannya bergerak meraih tangan Athala lalu menggenggamnya, mengelusnya lembut. Dalam hati, dia berjanji akan selalu menjaga Athala dan tak akan membiarkan siapapun menyakiti gadisnya. Setelah beberapa menit hanya memandangi wajah Athala, dia bangkit keluar dari ruangan tanpa berbicara sepatah kata pun.

Pelangi Setelah HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang