2. Bukan Permintaan

80.9K 4.9K 51
                                    


"Suruh dia ke sini sekarang!" perintah Andi Anggara.

"Baik, Tuan."

Pengawal itu menunduk dan pergi menemui Pras.

Tak lama berselang, Pras datang bersama pengawal yang menjemputnya.

"Ada apa, Pa?"

"Duduklah, Nak," ujar Andi lemah lembut pada sang anak. Sementara Devika hanya tersenyum pada anak semata wayangnya itu.

Pras sedikit tak mengerti kenapa, sepertinya ada hal yang mencurigakan baginya. Ia menurut dan duduk saja di sofa yang berhadapan dengan keduanya.

"Kayaknya Papa sama Mama lagi seneng?"

Andi dan Devika saling menoleh dan tersenyum.

"Papa sama mama udah dapet calon istri buat kamu, Nak," ujar Devika.

Pras berdiri. "Apa-apaan Papa sama Mama? Aku 'kan belum setuju buat nikah?!" pekik Pras.

Andi menghela nafas panjang. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Devika mengusap punggungnya. Kalau seperti itu, biasanya sang suami sedang menahan amarah.

"Ini keputusan papa sama mama dan bukan permintaan," tukas Andi mencoba tenang.

"Pa, aku nggak kenal dia."

"Kalo kamu tetep nggak nurut terpaksa seluruh harta papa, akan papa sumbangkan ke panti asuhan daripada papa serahkan pada anak yang nggak nurut," ujar Andi pelan.

"Tapi, Pa ...." belum selesai Pras berbicara, Andi mengajak Devika ke kamar.

Pras yang sendirian mengepalkan tangannya. Ia duduk mencoba untuk menenangkan degup jantungnya yang berdetak cepat karena emosi.

Beberapa kali Pras menyisir rambutnya dengan jari. Walaupun begitu, otaknya mulai berpikir.

Bagaimanapun juga, Pras menikmati profesinya sebagai wakil Presdir dan ia tidak mau kehilangan itu semua. Terlebih semua kekayaan itu harus jatuh ke tangannya.

Dari balik kamar, sang papa dan mama mengintip.

"Kayaknya jebakan Papa masuk deh, Pa," ujar Devika.

Mama dan papa Pras cekikikan berdua di kamar. Mereka berdiri di dekat pintu dalam kamar.

Tanpa mereka sadari, Pras sudah berdiri di depan pintu kamar.

"Pa! Ma!" panggil Pras dari luar pintu kamar.

Andi dan Devika memasang muka serius kembali.

"Masuk!"

Pras membuka pintu. Andi memasang wajah datar pada putra semata wayangnya itu.

"Sudah kamu putuskan?"

Pras mengangguk. "Aku mau menikah dengan pilihan Papa dan Mama."

"Bagus!"

"Besok, aku pengen ketemu dia, Pa," pinta Pras.

Andi memandang Devika dengan mimik wajah risau. Devika mengangguk.

"Biar Mamamu yang menjelaskan," ujar Andi.

"Ekmm ... dia seorang gadis suci, Nak. Dia memakai cadar dan hebatnya lagi dia seorang hafidzah. Itu apa namanya, penghafal Qur'an. Kalian hanya bisa bertemu setelah akad nikah, setelah ijab qabul," ujar sang mama agak bingung juga menjelaskan.

Pras menoleh pada mamanya. "Mama serius?! Nggak bisa, Pa, Ma. Ini gila namanya!" teriak Pras.

"Apanya yang nggak bisa, Pras? Apanya yang gila?" sela Andi dengan pertanyaan.

"Papa sama Mama mau nikahin aku dengan orang yang sama sekali aku nggak tau. Gilanya lagi dia bercadar. Apa kata temen-temen aku, Pa. Aku punya istri bercadar?"

"Omongan orang itu nggak penting, Pras, yang penting kebahagiaanmu!" tunjuk tegas sang papa.

"Iya! Lebih, lebih dan lebih gila lagi aku nggak bisa nemuin atau ngeliat dia, gila nggak?" ucap Pras dengan penuh penekanan.

"Ini permintaan gadis itu, Nak. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Mama jamin, dia gadis cantik, Pras," ujar Devika lembut.

"Hahh, apa Ma? Cantik? Dia aja bercadar, gimana kalo dia cacat?"

Andi memejamkan mata mencoba menenangkan dirinya lagi.

"Sekarang pilihan kamu cuma dua, Pras. Menikah atau kehilangan warisan?" tanya Andi dengan nada tegas.

Pras mengusap rahang dengan tangannya. Kali ini ia benar-benar frustasi. Ia merasa tersudut dengan pilihan yang diberikan sang papa.

"Oke, oke, aku mau menikah!" pekiknya sambil berdiri dan berlalu dari kedua orangtuanya.

Selepas Pras menghilang, Devika menghampiri Andi.

"Papa yakin Pras bahagia sama dia?"

"Yakin-lah, Ma," jawab Andi.

"Bukannya pernikahan tanpa cinta itu nekad namanya? Gimana kalo gadis itu malah nerima susah dari Pras?" tanya Devika gusar.

"Papa yakin seiring berjalannya waktu, dia bisa nerima gadis itu."

Bersambung.

Situbondo, 4 Maret 2017

Harapan di Atas SajadahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang