"Maaf."
Lirih suara Jati memecah kebisuan diantara kami."Untuk?"
Ucapku tak kalah lirih.
"Gak tahu."
Aku melirik tajam Jati yang sedang menatapku polos.
"Gak ngerasa bersalah, buat apa minta maaf," sindirku.
"Kamunya nangis."
"Gak tulus,"
"Tulus. Tulus dari hati aku buat ngucapin kata maaf untuk kamu. Tulus dengan niat nenangin kamu. Tapi ya cuma itu, bukan karena aku merasa bersalah."
"Pinter ya kamu, sudah berapa banyak wanita kena sihir sama mulut manismu itu?" sinisku.
"Gak banyak kok, cuma kamu," goda Jati.
"Gombal," desisku. Namun tak mampu menyembunyikan nada riangku di sana.
"Jujur, emang cuma kamu. Ikut sesak rasanya denger kamu nangis," ucap Jati yang tengah menatapku dalam.
"Kamu sendiri kenapa nangis?" tanyanya lagi saat aku mengalihkan tatapanku darinya karena merasa jengah.
"Kesel, marah, tapi gak tau gimana caranya ngeluapin itu semua selain nangis. Kamu juga, kan sudah ku bilang nanti kita bicarain lagi. Tapi kamu.. malah, ck..entahlah.." ucapku pasrah.
Jati terdiam, tak menanggapi ucapanku.
"Redi, kamu kenal?" Ucap Jati.
"Hm," gumamku seraya menganggukkan kepala.
"Dekat," tanyanya lagi.
Dahiku mengernyit merasa aneh dengan pertanyaannya.
"Nggak. Memangnya aku kelihatan akrab tadi, perasaan aku gak ngelakuin sesuatu yang mengindikasikanku ke arah itu deh," jawabku.
Jati mengendikkan bahunya.
"Cara dia ngeliat kamu beda."
Aku mengingat sikap pak Redi terhadapku tadi.
"Biasa aja."
"Kamunya. Dia, ngerasa biasa gak," ucap Jati.
Aku tersentak mendengar nada suaranya yang seolah menahan geram.
"Ya biasa juga lah. Maksud kamu apa sih, kok tiba-tiba ngebahas pak Redi? Dia atasanku, dan beberapa kali pernah ke ruanganku buat antar dan cari dokumen. Jadi wajar kalau kami saling kenal. Dan aku gak paham kenapa harus bilang ini," jawabku dingin.
Jati melihat lurus ke bola mataku, menatapku dalam. Membuatku jengah dengan tatapannya. Aneh, Jati tak pernah melihatku dengan cara seperti itu. Ada hal yang mengganjal dan seolah ingin ia sampaikan melalui bola matanya.
Jati berdiri dari tempat duduknya dan melangkah keluar dapur. Jati berhenti beberapa langkah kemudian. Melihat ke arahku lagi, lalu mendesah seraya menggaruk kepalanya.
"Buatkan aku kopi," ucapnya sebelum berbalik pergi.
Melihatnya aku hanya mengendikkan bahu tak mengerti lalu mulai membereskan meja makan serta piringku yang masih terisi setengahnya.
Aku membuat satu gelas kopi untuk Jati dan secangkir teh panas untukku. Aku menghampirinya di sofa merah di depan TV menyerahkan kopinya lalu ikut duduk di sebelahnya.
"Jadi apa yang ingin kamu bicarain," tanya Jati.
Aku mendengus keras. Basi.
"Buat apa? Gak ada lagi yang harus diomongin. Besok tinggal pasang kuping tebal dan berharap gak ada yang datang ke ruanganku cuma tanya trik dan tips buat gaet cowok tampan nan tajir," ucapku kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trouble In Marriage
ChickLitMenjadi pengantin pengganti bukan impian seorang wanita.Tapi bagaimana jika keadaan menuntutku menjadi seorang cadangan. Haruskah aku berlari seperti yang dilakukan kakakku. Ataukah harus menerima ini dan menganggap ini adalah takdirku. jawaban apa...