part 17

24.3K 2.1K 38
                                    

Jati memarkirkan mobilnya di parkiran khusus untuk para petinggi di kantorku. Kemungkinan tak ada karyawan biasa yang akan berkeliaran di sini. Membuatku aman dari gosip antar jemput yang dilakukan oleh Jati. Benar, sudah hampir dua bulan Jati menjadi sopir pribadiku sejak dia mengantarku untuk pertama kalinya bekerja di kantor milik keluarganya.

"Cit,"

Aku baru saja ingin membuka pintu mobil ketika lirih suara Jati menyapu telingaku. Aku membalik tubuhku melihat Jati yang tengah menatapku lekat.

"Sampai kapan kita begini? Sebulan lagi acara ulang tahun pernikahan mama dan papa. Dan karyawan kantor pasti akan di undang di acara itu. Memang tidak semua. Tapi apa gak sebaiknya kita mulai memperlihatkan kedekatan kita dari sekarang. Pelan-pelan saja dimulai dari aku yang mengantar jemput kamu langsung, gak perlu sembunyi seperti pasangan selingkuh."

Kepalaku menunduk, aku terdiam mendengar segala ucapan Jati. Rasa bersalah menggelayuti benakku. Tapi jika aku memberitahukan statusku yang saat ini notabene sebagai adik ipar dari ceo kantor ini dan juga menantu dari pemilik saham terbesar kantor ini. Akankah keadaannya tetap sama. Bisakah aku tetap menjadi karyawan bagian kearsipan yang selalu mereka abaikan selama ini. Pasti tidak. Mereka akan mencari celah untuk mengenalku dan mencoba mendekatiku. Dan kenyamanan empat tahun yang selama ini aku rasakan akan menghilang. Dan jalan keluar yang terpikirkan di kepalaku hanya satu yaitu pindah kantor.

Aku mendesah sepelan mungkin, lalu mendongakkan kepalaku dan tersenyum ke arah Jati. Aku mengangguk, menyetujui permintaan Jati.

"Nanti kita bicarain lagi ya. Sekarang aku masuk dulu. Bekalnya dimakan, jangan sampai telat,"

Aku memajukan wajahku, mengecup bibirnya sekilas. Aku menatapnya, setelah yakin jika Jati akan membiarkan aku pergi kali ini. Barulah aku bergerak untuk membuka pintu dan mulai melangkah meninggalkan Jati yang langsung menyalakan mesin mobilnya dan langsung menjalankannya.

Marah. Aku sudah merasa pasti jika Jati sedang marah sekarang. Terbukti dari ponselku yang tidak berdering padahal jarum jam di tanganku sudah menunjuk pukul 1. Tapi telepon yang biasa aku terima dari Jati setiap jam dua belas siang tidak aku dapat sekarang.

Setelah menimbang beberapa saat, aku mendial no Jati. Nada panggil sudah berbunyi, tapi hingga nada putus terdengar Jati tak juga mengangkat telepon dariku. Aku mengetik pesan singkat, begitu terkirim aku memasukkan ponselku ke dalam tas.

Aku baru saja ingin mulai bekerja kembali saat tiba-tiba pak Redi, salah satu direktur muda yang masih lajang menghampiriku. Aku segera berdiri menunjukkan kesopananku.

"Cita, tolong carikan dokumen penjualan minggu kemarin. Bisa?" ucap pak Redi ramah.

"Bisa pak, saya cari sebentar," balasku datar.

Aku mengklik data mencari arsip yang di minta pak Redi. Dahiku mengernyit aneh, karna tak menemukan data itu di komputerku. Jika arsip minggu lalu seharusnya sudah tersimpan di komputerku. Aku berdiri dan mendekat ke arah tumpukan arsip yang belum aku kerjakan.

Beberapa saat kemudian aku menemukan dokumen itu. Pantas belum sempat ku data, dokumen ini baru datang kemarin sore. Dan aku sama sekali belum sempat menyentuh tumpukan arsip yang datang kemarin sore dan hari ini. Aku melangkah mendekati pak Redi yang tampak memperhatikanku.

"Ini pak," ucapku seraya menyerahkan dokumen.

Pak Redi tampak sedikit gelisah seolah ingin mengatakan sesuatu.

"Ada lagi pak?" tanyaku begitu pak Redi tak kunjung bersuara.

"Malam ini aku ulang tahun, dan aku mengadakan makan malam bersama dengan karyawan yang lain. Kamu bisa datang juga nanti malam," ucap pak Redi, kikuk.

Trouble In MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang