Pagi ini aku merasa lebih sehat, pening di kepalaku sudah jauh berkurang. Aku melihat kearah sofa, mencari keberadaan Jati. Tak melihatnya aku bangun dan turun dari tempat tidurku kemudian berjalan menuju kamar mandi seraya membawa tiang infus.
Aku keluar dari kamar mandi, bersamaan dengan Jati yang menutup pintu di belakangnya. Jati terlihat rapi."Darimana?" Tanyaku begitu Jati sudah berada di dekatku membantuku kembali ke tempat tidur.
"Dari apartemen." Jawabnya.
"Kamu gimana? Udah enakan." Tanya Jati kemudian."Sudah."
"Kamu mau sarapan apa? Mau bubur lagi atau makan makanan yang sudah disiapkan dari rumah sakit?" Tanya Jati sambil mengambil posisi duduk di kursi di sebelah kabinku.
"Nasi dari rumah sakit aja, lagian sekarang aku juga belum lapar. Nanti tanyain boleh pulang apa gak ya, aku istirahat di rumah aja." Pintaku sambil menatap lurus ke arah Jati.
Jati mengerinyitkan dahi tanda tak setuju.
"Gak ada pulang hari ini. Lagian aku hari ini mau ke kantor dulu, ada rapat yang gak bisa aku tinggal. Walaupun sama-sama tidur. Setidaknya aku bisa tenang tinggalin kamu di sini. Ada perawat yang bisa pantau kamu, atau kalau kamu butuh sesuatu." Jelas JatiAku terdiam sejenak sebelum menganggukkan kepalaku, memyetujui keinginan Jati. Aku paham kesibukannya sebagai pemilik showroom mobil, dan arsitek. Apalagi beberapa hari ini dia tak beranjak dari sisi ku. Akan sangat egois jika aku memaksakan diri untuk pulang padahal tahu jika badanku belum cukup kuat untuk beraktifitas normal. Walau aku juga tak nyaman terus menerus berada di ranjang rumah sakit seperti ini.
Jati tersenyum lebar, lalu mengecup tanganku lembut.
"Ish.. bahagianya punya istri penurut dan pengertian." Pujinya.
Aku terkekeh pelan menanggapi ucapan Jati.Aku baru saja akan menjawab ucapan Jati saat ada suara ketukan di pintu.
"Tok.. tok.. Selamat pagi." Sapa perawat rumah sakit ini ramah, lalu mendekatiku mengambil sisi berbeda dari tempat Jati duduk
"Kita tensi dulu ya mbak!"
Ucap sang perawat sambil mengambil tanganku yang bebas dari jarum infus. Lalu memasukkan alat pengukur tekanan darah itu di lenganku."Tensi nya masih belum normal ya." Ucap si perawat sambil melepas alat tensi dari lenganku. Setelah itu ia mengambil alat pengukur suhu tubuh yang telah ia siapkan sebelumnya.
"Untuk suhu badannya sudah normal, sudah gak demam lagi. Masih pusing atau ada keluhan yang lain mbak." Tanya mbak perawat seraya tersenyum sopan.
"Gak ada mbak." Jawabku.
"Ya udah, ini obat yang harus di minum pagi ini ya mbak. Kalau begitu saya permisi ya mbak, mas." Ucap sang perawat sambil mengangguk sopan ke arahku dan Jati.Tak lama setelah perawat itu keluar dari ruanganku. Kembali suara ketukan terdengar dari luar. Kali ini petugas konsumsi rumah sakit yang datang. Setelah petugas itu keluar dari kamar inapku. Akupun bertanya kepada Jati.
"Jam berapa berapa mau ke kantor?"
"Siangan kok, aku suapin kamu dulu." Sahut Jati sambil melirik pergelangan tangannya.
Mengerti kegelisahan Jati yang terlihat berulang kali mengecek Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Gak usah,aku sudah bisa sendiri." Tolakku.
"Mendingan kamu berangkat sekarang. Sudah berapa kali kamu cek jam di tangan kamu. Lagian seperti yang kamu bilang. Di sini banyak perawat, aku bisa minta bantuan mereka kalau aku memang butuh." Sambungku lagi."Tapi..."
Sekali lagi Jati melihat Penunjuk waktu di tangan kirinya. Mendesah pelan kemudian Jati berujar. "Sepertinya aku memng harus pergi sekarang. Maaf ya sayang." Ucap Jati penuh sesal."Its okay." Jawabku sambil tersenyum tipis.
"Cup."
Jati mengecup keningku singkat, lalu mengelus rambutku sekilas."Aku usahakan gak lama. Oke. Aku pergi." Ujar Jati yang bergegas berjalan menuju pintu setelah mengecup bibirku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trouble In Marriage
Literatura FemininaMenjadi pengantin pengganti bukan impian seorang wanita.Tapi bagaimana jika keadaan menuntutku menjadi seorang cadangan. Haruskah aku berlari seperti yang dilakukan kakakku. Ataukah harus menerima ini dan menganggap ini adalah takdirku. jawaban apa...