-Dharma-

791 42 0
                                    

Kulirik semua orang yang sedang berada di kantin kampus. Sejak tadi kedua bola mataku bergerak kesana-kemari. Akhir-akhir ini aku merasa seperti sedang diperhatikan oleh seseorang dari kejauhan. Dan sekarang aku sedang merasakannya lagi. Aku memang terlalu peka dengan yang beginian. Bahkan sedari tadi aku menggentak-hentakan kakiku di lantai seperti orang yang sedang bermain pedal drum. Salah satu kebiasaanku kalau sedang merasa tidak nyaman. Meskipun ekspresiku datar dan terlihat santai, tapi sesungguhnya aku merasa gerah dan risih dengan orang yang sedang memperhatikanku ini.

"Heh! Lo apaan sih? dari tadi nggak bisa diem." Protes Faza yang terganggu dengan tingkah lakuku. Ia menatapku dengan kesal. Aku hanya cengengesan tidak jelas padanya, lalu berubah serius lagi.

"Gue ngerasa ada yang lagi ngeliatin gue, Za." Kataku sembari mendekatkan tubuhku padanya. Sengaja aku sedikit berbisik. Siapa tahu orang yang sedang memperhatikanku berada dekat sekali denganku? Faza mengerutkan dahinya.

"Ah, lo aja kali yang lebay." Ejeknya kemudian. Ia pun kembali melanjutkan makan gado-gado favoritnya dan tidak memperdulikanku lagi. Ngh, sahabat macam apa dia? Untung saja aku sudah kebal dengan segala macam kata-kata yang keluar dari mulut pedasnya itu sejak aku mengenalnya pertama kali ketika duduk di bangku SMA.

Kusapukan pandanganku ke penjuru kantin. Tidak ada satupun sudut yang tidak aku lihat. Hingga aku menemukan seorang gadis yang sedang duduk di meja pojok kantin tanpa melepaskan pandangannya padaku. See? Memang benar ada orang yang memperhatikanku selama ini. Dan akhirnya sekarang aku menemukan siapa orang itu. Gadis ini masih saja memandangku tajam, padahal pandangan kami sempat bertemu tadi. Tanpa permisi aku segera meninggalkan Faza dan menghampiri gadis itu. Dia benar-benar sudah mengganggu kenyamananku hidup di dunia ini. Jadi dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

"Lho, eh Dhar, mau kemana lo?" Tanya Faza kebingungan melihatku sudah berjalan menjauhinya. Ku abaikan Faza dan tetap berjalan ke meja di pojokan kantin tersebut.

"Ada masalah apa lo sama gue?" Todongku langsung pada gadis yang sejak tadi menatapku. Sekarang aku sudah berdiri di hadapannya. Entah ini perasaanku saja atau memang sebenarnya dia tidak memandangku sama sekali? Justru dia kelihatan sedang memperhatikan sesuatu dibalik punggungku. Aku menengok ke belekang. Tapi tidak ada apa-apa dan siapa-siapa. Semua orang masih dengan aktifitasnya masing-masing. Ada yang bercanda dengan temannya, ada yang makan, ada yang sekedar duduk melamun tidak jelas, dan ada juga yang sedang mengerjakan tugas. Aku kembali menatap gadis aneh dihadapanku ini.

Tiba-tiba saja ia bangkit dari duduknya. Ia meraih buku-buku yang menumpuk di atas meja. "Nggak ada masalah apa-apa. Permisi." Dan dia pun berlalu begitu saja. Meninggalkanku sendiri yang masih melongo menatap kepergiannya tak percaya.

"Tuh cewek siapa, Dhar?" Suara Faza mengagetkanku. Sejak kapan ia berdiri di sampingku? Perasaan tadi masih asik makan deh.

"Mana gue tau." Jawabku sembari mengendikkan bahu.

"Gimana sih? Kan elo yang nyamperin dia?" Tanya Faza lagi dengan menahan rasa kesalnya atas jawabanku.

"Bukan berarti gue kenal juga kan?" Aku memutar bola mata kesal. "Lagian, dia yang dari tadi ngeliatin gue." Tambahku.

"Emang ya, pesonanya Marvin Dharmansyah selalu sukses bikin cewek nggak ngelepasin perhatiannya gitu aja." Sindir Faza. Aku mendengus padanya.

Bukan. Aku yakin gadis itu tadi bukan melihatku. Sekalipun aku merasa ia memperhatikanku. Tapi ketika berdiri tepat di hadapannya, aku yakin sekali kedua matanya tidak terarah padaku. Dan rasa penasaran pun mulai menghinggapiku.

Kulangkahkan kakiku memasuki sebuah ruangan yang sudah tidak asing lagi untukku. Ruangan itu putih bersih. Hanya ada seorang gadis yang sedang tertidur di atas ranjang satu-satunya di ruangan ini. Aku menatap gadis itu dengan nanar. Segera aku mendekat dan duduk di kursi sebelah ranjangnya. Berbagai macam selang dan kabel melekat di tubuhnya. Masker oksigen terpasang di sekitar hidung dan mulutnya membantu untuk bernapas. Infus juga menancap di punggung tangan kirinya, menjadi pengganti asupan makanannya. Sebuah monitor tak jauh dari ranjangnya, menunjukan kemajuan detak jantungnya yang semakin hari terlihat semakin normal. Tapi kenapa dia belum bangun juga sampai sekarang?

Kayla Gantari. Satu-satunya gadis yang sangat berarti untukku. Kapan dia akan bangun dari tidur panjangnya? Apa dia tidak tahu, aku merasakan rindu yang teramat sangat karena tidak ada dirinya di sisiku? Ku raih tangannya yang terbebas dari selang-selang yang menunjang hidupnya. Kucium lembut punggung tangannya. Dadaku terasa sesak melihatnya tersiksa seperti ini. Ingin sekali aku mengis. Tapi tidak ada air mata yang keluar. Air mataku sudah kering. Oh tidak, aku tidak menangisi Kayla. Meskipun aku sangat ingin sekali menangisinya, tetapi tidak ku lakukan. Karna aku tidak pernah menangis sejak umurku sembilan tahun.

"Kay, kamu kapan bangun? Sepi tau nggak ada kamu yang cerewet." Tidak ada respon. Kayla tetap saja bergeming. Tapi aku tahu, dia pasti mendengarkanku.

"Kamu tau? Semua orang yang sayang sama kamu udah kangen berat lho. Masa kamu tega sih ngeliat mereka menderita begitu?" Semakin ku eratkan genggamanku. Siapa tahu Kayla merasakan kehangatan tanganku dan akhirnya dia bangun dari tidurnya?

"Kay, aku mau cerita nih. Tadi di kampus ada cewek aneh. Dia ngeliatin aku terus, Kay. Waktu aku samperin dia, eh dianya malah pergi dan bilang nggak ada apa-apa. Si Faza juga gitu, dengan entengnya dia ngomong kalo tuh cewek naksir sama aku. Tapi aku kan udah punya kamu, Kay. Dan aku punyamu seutuhnya. Jadi, nggak ada yang bisa ganti posisimu." Aku menceritakan tentang gadis aneh yang ku temui saat di kantin tadi siang.

"Kamu cemburu kan, Kay? Biasanya kalo kamu udah cemburu, kamu pasti marah-marah nggak jelas. Terus ngambek dan nggak mau ngomong sama aku. Aku kangen sama kamu yang cemburu, Kay. Ayo dong, Kayla sayang, bangun. Aku butuh kamu." 

Tetap saja tidak ada respon yang berarti. Kayla masih tertidur. Hanya terdengar suara alat pendeteksi detak jantung. Tidak tahu harus sampai kapan aku seperti ini? Menunggu Kayla terbangun dari tidurnya. Kadang aku berpikir, apa aku sanggup bertahan lebih lama lagi? Atau mungkin, justru Kayla yang menyerah pada hidup dan pergi meninggalkanku. Ah, seharusnya aku tidak berpikiran negatif seperti ini. Aku harus yakin kalau suatu saat Kayla akan bangun dan kembali dalam pelukanku. Dan aku harus lebih bersabar menunggunya kembali.

Tapi tidak ada satu pun orang yang tahu apa yang akan terjadi di hari esok. Ya kan?

Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang