-Dharma-

638 46 0
                                    

Akhirnya setelah sekian lama aku menunggu, kelas membosankan ini selesai juga. Sekarang aku akan melepaskan rasa laparku ke kantin. Sayang sekali, aku harus ke kantin sendirian. Faza sedang ada kelas. Dan masih satu jam lagi sebelum kelas bubar.

Setelah dosen keluar kelas, aku langsung saja ngacir ke kantin lebih dulu. Setibanya di kantin, lagi-lagi aku menemukan peristiwa aneh. Entahlah, aku sudah melihat peristiwa ini sejak hampir seminggu yang lalu.

Masih ingat dengan gadis yang selalu memperhatikanku tempo hari kan? Sekarang aku melihatny sedang--entahlah, seperti bermonolog. Berbicara sendiri. Atau mungkin berbicara dengan angin? Yang benar saja, mana ada orang berbicara dengan angin? Lalu, kenapa pula sejak kejadian aku menghampirinya yang tengah menatapku, aku jadi aemakin sering melihat wajahnya di sekitarku. Entah di kantin, di koridor, di lobby kampus, di lapangan parkir, atau bahkan di toilet sekalipun. Oh jelas, yang terakhir aku hanya mengada-ada.

Semakin ku perhatikan, aku jadi semakin takut sendiri. Apa munhkin ia memiliki gangguan kejiwaan? Tapi tidak mungkin juga gadia itu hisa lolos seleksi untuk masuk perguruan tinggi ini kalau memang benar dia kurang waras. Dan sepertinya, gadis ini sudah tidak pernah memperhatikanku lagi. Karena aku tidak merasakan tatapannya yang menusuk itu.

Aku juga tidak tahu bagaimana cerita selanjutnya, tapi tahu-tahu saja aku sudah berdiri di samping mejanya. Jangankan gadis itu, aku sendiri saja terkejut dengan apa yang baru saja aku lakukan di luar kesadaranku.

Karena aku merasa sedikit awkward, aku pun berdehem kecil. Sebenarnya untuk menghilangkan rasa gugup yang tiba-tiba saja menyerangku.

"Boleh duduk di sini?" Tanyaku sambil menunjuk kursi kosong di sebelah kanannya.

"Eh jangan!" Pekiknya saat aku akan duduk di kursi kosong tersebut. "Jangan di situ, di sini aja." Tambahnya cepat sembari menunjuk kursi di sebelah kirinya.

Aku bingung dengan reaksinya yang aneh bin ajaib itu. Tapi aku tetap mengikuti apa yang ia sarankan. Duduk di kursi kosong sebelah kirinya. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling kantin yang sedang sepi ini. Ternyata nyaman juga duduk di pojokan. Aku jadi bisa melihat semua yang ada di kantin dengan jelas. Pantas saja gadis ini senang sekali duduk di tempat yang sangat terpojok ini.

"Lo ada perlu sama gue?" Setelah sekian lama dalam keadaab hening, akhirnya gadis itu duluan yang mulai membuka suara.

Aku jadi berpikir karena pertanyaannya. Iya juga, untuk apa aku di sini? "Nggak ada sih. Cuma ada yang pengen gue tanyain aja." Jawabku kemudian.

Tidak mungkin kan aku menjawab 'Lah, gue sendiri aja nggak tau mau ngapain.' Sumpah ya, kedengaran idiot sekali kalau aku sampai menjawab seperti itu.

"Tanya apaan?" Tak tahunya gadis ini terpancing juga.

"Waktu itu lo ngapain ngeliatin gue mulu sih?" Bukan maksudku untuk mengungkit masalah yang sudah lalu, aku hanya penasaran.

"Gue nggak pernah ngeliatin elo tuh." Jawabnya tak acuh lalu mengendikan bahu.

"Yah, kalo lo emang naksir gue ngomong aja lagi. Nggak usah pake malu-malu segala." Ujarku pongah. Maaf saja, aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyombongkan diri. Tapi memang banyak gadis yang menyukaiku. Mulai dari yang diam-diam sampai yang terang-terangan. Semua ada.

"Dih, pede bener lo?! Ogah gue naksir cowok narsis macem lo gini." Bantahnya.

"Masa sih? Awas aja ya kalo entar naksir gue." Sahutku mengingatkan. Gadis itu mencibir. Tanpa sadar aku tertawa melihatnya.

"Nggak usah ketawa deh lo!" Bentak gadis berambut panjang sepunggung ini. Aku baru sadar kalau rambutnya sedikit kemerahan. Sudah jelas bukan karena sengaja diwarnai, tapi karena panas matahari. Sepertinya,.dia tipe cewek yang suka berpanas-panasan.

Bukannya menghentikan tawaku, justru aku semakin tertawa lebar. Kalau sedang marah begini wajahnya lucu juga. Jadi membuatku semakin ingin tertawa saja.

Mungkin karena jengkel dengan tingkahku, ia memilih untuk segera pergi. Tapi sebelum ia sempat melangkahkan kakinya, aku langsung menarik menarik sikunya. Sehingga tubuhnya berbalik ke arahku. Gadis itu sempat meronta untuk dilepaskan. Tapi tentu saja aku tidak akan melepaskannya begitu saja.

Aku mengulurkan tangan kananku yang disambut dengan tatapan aneh darinya.

"Gue Dharma." Ujarku memperkenalkan diri. "Lo?"

Gadis itu masih memandang wajah dan tanganku bergantian. Ia terlihat berpikir.

"Omega."

Setelah ia menjawab dengan singkat, ia langsung melenggang pergi tanpa meraih tanganku sama sekali. Baru kali ini ada orang yang tidak mau bersalaman denganku. Tapi setidaknya aku tahu namannya. Jadi, aku tidak perlu menyebutnya dengan sebutan 'gadis itu' lagi. Dia, yang bernama Omega. Nama yang tak lazim. Tapi justru nama yang seperti itu yang akan selalu diingat, karena tidak biasa. Omega.

Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang