-Dharma-

652 41 0
                                    

Pernahkah kamu merasa kalau kamu hidup tetapi tidak tahu untuk apa kamu hidup? Itulah yang sedang aku rasakan sekarang ini. Tanpa Kayla, aku tidak tahu apa tujuanku masih berada di dunia ini. Kayla sudah menjadi bagian hidupku sejak kami masih kecil. Aku dan Kayla tumbuh bersama. Kami melewati banyak hal bersama. Susah dan senang kami sudah merasakannya. Banyak masalah yang kami hadapi dengan berani.

Saat umurku menginjak usia sembilan tahun, aku ditinggal oleh ibuku. Ia pergi dan tak akan pernah kembali untuk selamanya. Dan Kayla, selalu ada di sampingku. Menghiburku yang sedang terpuruk karna harus kehilangan kasih sayang seorang ibu. Itulah saat terakhir aku menangis. Aku berjanji pada Kayla, kalau aku akan menjadi lelaki tangguh dan tidak cengeng seperti saat aku kehilangan ibuku. Tanpa Kayla, mungkin aku tidak akan menjadi seorang Dharma yang sekarang.

Sudah setahun berlalu sejak insiden Kayla yang tertabrak mobil dan tidak pernah sadarkan diri. Kalau saja ada cara agar aku bisa mengembalikan Kayla ke pelukanku, pasti akan aku lakukan. Sekalipun aku harus mengorbankan nyawaku sendiri. Aku berhutang banyak padanya. Aku mencintainya lebih dari aku mencintai diriku sendiri. Aku membutuhkannya seperti aku membutuhkan oksigen untuk berlangsung hidup. Aku tanpa Kayla layaknya butian debu.

"Woy, Dharma! Kesambet baru tau rasa deh lo!" Tegur Faza tepat di telingaku. Sehingga mau tak mau aku tersentak kaget karenanya. Untung saja aku tidak jatuh dari tempat dudukku.

Aku mengusap-usap telingaku yang berdenging karena teriakan Faza barusan, "Nggak udah teriak bisa kali, Za. Lo bikin gue budeg aja." Protesku kesal.

"Abisnya, lo sih pake bengong segala. Gue lagi curhat nih." Sahut Faza tidak mau kalah. Aku mendengus kesal padanya.

Aku baru sadar kalau tujuanku duduk manis di kantin saat ini karena ingin mendengarkan curhatan dari Faza. Katanya ia baru saja putus dengan pacarnya yang ketahuan selingkuh. Dan aku sama sekali tidak begitu memperhatikan bagaimana kronologi putusnya Faza. Aku terlalu pusing dengan masalahku sendiri. Memikirkan Kayla yang belum bangun juga terkadang sukses membuatku setres dan sedikit frustasi.

"Tuh kan, bengong lagi." Lagi-lagi Faza menegurku. Sekarang aku benar-benar kembali ke daratan.

"Sori deh." Ujarku menyesal. Faza tidak melepaskan pandangannya padaku. Ia membuatku mengerutkan kening karena bingung.

"Lo lagi kepikiran Kayla kan?" Tebakan yang bagus. Tepat sasaran. Faza memang terlalu mengerti bagaimana aku. Ia sudah mengikuti kisahku bersama Kayla sejak aku sadar kalau sebenarnya aku memiliki perasaan lebih dari sekedar sahabat pada Kayla, tepatnya saat kami duduk di bangku kelas sepuluh. Dan berkat Faza juga, aku berani mengungkapkan perasaan terpendamku itu.

Karena tebakan Faza yang begitu tepat, aku jadi tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku sudah cukup banyak berkeluh kesah tentang Kayla pada Faza. Dan aku yakin kalau sebenarnya Faza sudah mulai bosan mendengarnya.

"Mau sampe kapan lo begini terus, Dhar?" Tanya Faza bersimpatik.

"Gue juga nggak tau." Jawabku mengendikan bahu. Sungguh, aku benar-benar tidak tahu.

"Asal lo tau aja ya, Kayla pasti nggak bakal seneng negliat lo yang begini. Lo harus jadi Dharma yang kayak dulu. Semangat, heboh, ceria, yah meskipun sedikit ngeselin. Tapi seenggaknya, lo bisa jadi diri lo sendiri." Faza memberikan nasihat padaku.

"Gue nggak bisa jadi diri gue tanpa Kayla, Faza. Gue tau lo paham banget bagian itu."

"Tapi lo nggak mungkin gini terus-terusan. Gimana kalau seandainya Kayla nyerah untuk bertahan dan lebih milih buat ninggalin elo? Apa lo akan tetep begini?" Seperti ditampar oleh kata-kata Faza, aku langsung menatap tajam sahabatku yang satu ini.

Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang