BAB 3 - Lari

13.5K 1.1K 68
                                    

Saat Gilang memutuskan untuk lari, itu artinya ia memang sedang butuh waktu untuk membiarkan lukanya mengering sendiri. Pertengkarannya dengan Maya malam itu sebenarnya bukan apa-apa. Ia sering dipersalahkan atas apa pun yang terjadi kepada Galang, ia sudah kenyang menerima setiap kalimat pedas Maya yang selalu ditujukan kepadanya. Gilang juga tak pernah melakukan pembelaan, ia lebih banyak diam dan membalas sewajarnya.

Namun, yang membuat Gilang sangat marah karena ia sadar bahwa Maya tak pernah menghargai sedikit pun usahanya. Di kantor Satpol PP malam itu, Gilang sudah mati-matian membela Galang baik di belakang maupun di depan Maya. Ia bahkan menawarkan untuk menggantikan posisi Galang dan menerima sangsi atas kejadian malam itu. Namun, Maya tetap saja melayangkan tatapan setajam belati kepadanya.

Gilang kadang berpikir mungkin hanya Galang putra Maya. Ia hanya anak adopsi yang kebetulan mirip dengan Galang. Namun, itu tentu saja hal yang mustahil mengingat dirinya dan Galang benar-benar saudara kembar identik. Akan tetapi sikap pilih kasih Maya tak pernah membuat Gilang paham, kesalahan apa yang sebenarnya telah ia lakukan hingga ibu kandungnya sendiri begitu membencinya?

Dulu, ia pikir itu semua karena Galang terlalu rapuh dan membutuhkan perhatian lebih karena terlahir dengan jantung yang bermasalah. Tapi bahkan setelah nyawa lelaki itu tak berada di ujung tanduk, sikap Maya tetap sama kepada Gilang. Tak ada yang berubah dari bagaimana wanita itu menatap dan memperlakukannya.

Gilang pernah mencari perhatian Maya dengan menjadi anak baik dan penurut yang penuh prestasi, tapi semua usahanya tak pernah berarti apa-apa. Gilang tetap menjadi anak nakal yang sering menelan pedasnya tangan Maya saat menyentuh kulitnya. Sedari dulu yang Gilang harapkan hanya belaian lembut dan senyum manis Maya kepadanya. Gilang tak ingin bermimpi mendapatkan kasih sayang seperti Galang, cukup satu pelukan hangat dan ucapan selamat malam dari wanita itu sebelum ia tidur. Namun, sampai detik ini tak pernah berhasil ia dapatkan.

Jadi, apakah salah jika Gilang perlahan berontak dan hidup sesukanya? Gilang mencari bahagianya di luar rumah bukan tanpa sebab, Maya-lah yang telah membuat lelaki itu tak pernah nyaman di rumahnya sendiri.

Olah sebab itu, jika sudah bertengkar dengan Maya, Gilang lebih memilih untuk lari. Lari sejauh mungkin agar rasa sakit yang diterimanya bisa tertinggal di belakang. Gilang hanya berusaha untuk mencari penawar atas sakit yang seperti melucuti tiap harap yang lelaki itu punya.

Persis setelah mobil Maya meninggalkan sekolah, Gilang langsung keluar dari persembunyiannya. Lelaki itu menghela napas pelan, membiarkan dadanya yang terasa sesak kembali terisi udara. Ia lantas membawa langkahnya untuk segera pergi dari sana, menghindari teman-temannya yang belum keluar dari gedung sekolah. Kali ini Gilang benar-benar ingin sendiri.

Lelaki itu berjalan menyusuri trotoar. Sesekali menendang kerikil yang kebetulan ia temui. Gilang tak mempunyai tujuan pasti ke mana langkahnya akan ia bawa. Rumah yang disebut-sebut sebagai tempat pulang, kini benar-benar yang paling ia hindari. Biasanya apartemen Radit akan menjadi tujuan satu-satunya, tapi kali ini ia tak ingin berakhir di sana. Mengunjungi anak-anak jalanan sempat terlintas dalam benaknya. Namun, suara klakson mobil lebih dulu menginterupsi niat lelaki itu.
Ia menoleh dan mendapati sebuah mobil hitam berhenti tepat di sampingnya. Gilang mengenali mobil itu, lebih-lebih saat kaca depan terbuka dan menampilkan wajah lelah Levin di sana.

“Masuk!” titah pria itu.

Gilang tak menolak dan mengikuti apa yang dikatakan papanya. Kini ia duduk anteng di dalam mobil, meninggalkan terik matahari yang tadi menyengat kulit.

MISTAKE [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang