Tidak seperti biasa, pagi itu Gilang bangun sangat awal dan sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Setelah selesai mengikat tali sepatu, ia kemudian mengambil kartu kredit yang diberikan Levin sesaat sebelum turun dari mobil tadi malam.
“Cuma Papa yang tahu kartu ini, jadi nggak ada yang bisa blokir kartu Gilang lagi.” Waktu itu hanya tatapan tulus yang ditemukan Gilang dalam manik Levin. Menghantarkan hangat yang sudah lama terasa hilang dari dada lelaki itu. Untuk pertama kali, Gilang kehilangan kata-kata oleh tindakan sang ayah.
Setelah mengantongi kartu barunya, Gilang kemudian mengambil kunci motor yang ia simpan di bawah bantal. Lelaki itu langsung keluar tanpa repot-repot ke dapur untuk sarapan atau sekadar berpamitan. Walaupun amarahnya sudah mulai mereda, tapi untuk bertemu Maya di saat-saat ini memang tidak baik untuknya. Yang perlu Gilang lakukan cukup lari seperti sebelumnya sampai nanti lukanya benar-benar terobati.
Akan tetapi sepertinya semesta tak henti-henti menguji kesabaran lelaki itu. Saat membuka bagasi, Gilang tidak dapat menemukan motor sport hitamnya di sana. Hanya terdapat satu mobil dan satu motor milik Levin saja yang terparkir. Gilang lantas keluar dan langsung menghampiri post satpam.
“Pak Ben lihat motor saya?” tanya Gilang tanpa basa-basi, ia sudah mulai panik, takut-takut jika motor kesayangannya digotong maling.
Pria paruh baya yang kala itu sedang membersihkan pos-nya langsung gelagapan. Ia bahkan mengusap tengkuknya sembari menjawab tak jelas. “Anu ... itu, Den. Motornya ....”
Reaksi Pak Beni membuat Gilang semakin ketar-ketir. “Motor saya di mana?”
“Itu ... kemarin ada yang ngambil—“
“Maling?” sergah Gilang dengan mata yang membulat sempurna.
“Bukan ....” Pak Beni kian gelisah, memberitahu Gilang kebenarannya sama saja memanggil badai di rumah itu.
“Terus siapa yang ngambil? Pak, jangan bikin saya takut begini.”
Pak Beni meneguk ludahnya, berusaha untuk mengumpulkan keberanian karena ia tahu betul tabiat putra majikannya yang satu ini. “Motornya ... dijual nyonya.” Tapi tidak ada pilihan lain selain berkata jujur sebelum ia yang menjadi korban kemarahan remaja itu.
Gilang langsung membeku. Sabar yang coba ia pertahankan terasa dilucuti seketika. Ia merasa sudah dikhianati oleh prasangkanya sendiri. Jadi, apakah usahanya untuk berpikir bahwa Maya akan berubah dan balik memerhatikannya selama ini pada akhirnya hanya angan-angan semata?
“Den—”
Gilang langsung berbalik dan keluar dari pos satpam Pak Beni. Langkah lebarnya ia bawa memasuki rumah. Tangan lelaki itu mengepal dengan amarah yang mulai membakar.
Tungkai Gilang langsung terhenti saat menemukan sosok Maya yang tengah menyiapkan sarapan di ruang makan. Levin yang kebetulan sudah duduk di sana dengan secangkir kopi dan lembar koran lantas tersenyum menyambut kedatangan Gilang, yang tak ia sangka kalimat lelaki itu langsung menghancurkan bahagianya.
“Mama apakan motor aku?”
Maya yang baru selesai meletakkan segelas susu putih di atas meja lantas mengangkat pandangan, menatap Gilang yang tampak berang. Tapi sepertinya kobaran api yang dibawa Gilang dari tajam tatapnya tak sedikitpun mengusik wanita itu. Ia justru melenggang masuk ke dapur sembari menjawab santai.
“Mama jual.”
Suara enteng Maya seolah menjadi petir yang menyambar tepat pada tenang yang mati-matian Gilang jaga. Mata lelaki itu memerah, bukan hanya karena marah tapi juga rasa kecewa yang tak terbantah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISTAKE [Terbit]
Teen Fiction[MISTAKE versi cetak sudah dipindahkan ke aplikasi Karyakarsa] ~~ Gilang pernah berpikir apa jadinya jika ia tidak pernah ada. Jika saja waktu itu ia digugurkan oleh sang mama sebelum sempat menghirup udara. Atau ia dibunuh saja saat pertama kali ta...