Asap rokok mengepul setelah lepas dari bibir Gilang. Lelaki dengan tatanan rambut berantakan—khas orang baru bangun tidur—itu menuruni tangga dengan sebatang gulungan tembakau terselip di bibir. Beberapa kali ia mengucek mata yang setengah terbuka karena masih ngantuk. Semalam setelah Maya keluar dari kamarnya, Gilang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Melalui pagar belakang ia berhasil kabur. Apartemen Radit menjadi pilihan, memang tidak ada tempat yang bisa ia tuju saat pikiran sedang kacau. Teman-temannya adalah tempat lelaki itu pulang dan mencari sandaran.
Kendati Gilang tak pernah menceritakan apa pun masalahnya. Ryan, Zio, dan Radit selalu menjadi orang yang paling memahami Gilang. Mereka tidak bertanya apa dan bagaimana Gilang terluka, tapi mereka selalu siap menjadi penyembuhnya. Buktinya semalam, setelah Radit mengabarkan bahwa Gilang datang, Zio dan Ryan langsung menyusul. Keberadaan mereka membuat Gilang sejenak melupakan luka yang sudah digores Maya.
Semalam ia baru tertidur jam setengah tiga pagi. Sebenarnya Gilang malas sekali meninggalkan kasur empuk Radit, tapi aroma roti bakar dari dapur menggelitik hidung lelaki itu dan membangunkan cacing-cacing di perutnya.
“Pagi!”
Gilang terlonjak dan memundurkan langkahnya saat dari arah belakang lelaki itu muncul Dara dengan keranjang berisi buah-buahan.
“Rokok terus.” Gadis itu mendengkus dan melempar apel ke arah Gilang.
Dengan satu tangan lelaki itu berhasil menangkap buah yang lebih besar dari genggamannya. Untung saja Gilang cukup gesit, kalau tidak, hidungnya pasti sudah berdarah. Ia lantas melangkah mengikuti Dara menuju dapur, di sana sudah ada Radit yang tengah membakar roti dan mengoles selai di atasnya. Gilang mendekati lelaki blasteran Indonesia-Belanda itu.
“Kenapa, tuh, cewek ada di sini?” bisiknya kemudian.
“Gue yang minta dia datang, tadi stok roti habis.”
Gilang mengisap rokoknya kembali sembari memainkan apel merah di tangan kanan. Apartemen Radit memang sudah menjadi basecamp mereka. Kedua orang tua lelaki itu menetap di Belanda, hanya ia sendiri yang ingin menghabiskan masa sekolahnya di Indonesia. Katanya mau jadi orang Indonesia tulen. Sebenarnya ia punya keluarga di Malang, tapi Radit menolak mentah-mentah untuk tinggal di sana dengan beralasan ingin mandiri, padahal, mah, dia cuma ingin hidup bebas tanpa peraturan.
Selama Radit tidak buat masalah, orang tuanya juga tidak akan mempermasalahkan keputusan lelaki itu untuk tinggal sendiri. Oleh sebab itu pula, apa pun masalah yang mereka hadapi, hanya Radit yang tidak diperbolehkan membolos oleh teman-temannya. Lihat saja sekarang, lelaki itu sudah menggunakan seragam lengkap siap berangkat sekolah.
“Yang lain ke mana?” Gilang melangkah menuju kulkas yang terletak di pojok ruangan.
“Pulang, katanya mau ambil seragam.”
Gilang menelanjangi isi kulkas, mencari snack kesukaannya yang biasa nangkring di freezer. “Cokolatos?”
Radit menoleh. “Semalam, kan, lo yang abisin.”
Lelaki itu lantas menggaruk kepalanya sebelum menutup kulkas kembali. Ia lupa tadi malam sudah menghabiskan satu kotak chocolatos dingin sendirian.
“Udah sana mandi terus turun sarapan. Kalau lo mau sekolah lo bisa pake seragam gue.”
Tidak ada bantahan, Gilang hanya menurut, membawa langkahnya kembali ke kamar Radit. Diam-diam di depan meja makan, Dara memperhatikan bagaimana lelaki itu kembali mencari pelarian.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISTAKE [Terbit]
Teen Fiction[MISTAKE versi cetak sudah dipindahkan ke aplikasi Karyakarsa] ~~ Gilang pernah berpikir apa jadinya jika ia tidak pernah ada. Jika saja waktu itu ia digugurkan oleh sang mama sebelum sempat menghirup udara. Atau ia dibunuh saja saat pertama kali ta...