BAB 1 - Satpol PP

32.2K 1.5K 192
                                    

Bagi Gilang, malam dan jalanan adalah surganya. Jika sudah memegang stang motor dan melesat di aspal jalan maka tidak ada yang bisa menghentikan lelaki itu. Lihat saja bagaimana mata di balik helm full face itu menatap fokus ke depan, sesekali melirik spion untuk memastikan lawannya tertinggal di belakang. Tangannya dengan lihai menarik gas, membawa motor dengan body besar itu menyelip di tengah lalu-lalang kendaraan lain.

Mengikuti balapan ilegal seperti ini bukan hanya sekadar hobi semata. Namun, ini adalah cara Gilang untuk mendapatkan tenangnya. Jika rumah bisa menjadi neraka, maka jalanan adalah surganya. Bagi Gilang suasana malam dan gigitan angin yang menerjang adalah penyembuh atas segala luka yang ia punya. Dari jalanan Gilang dapat melepas sedikit beban yang bertumpu di bahunya, membiarkan masalah itu tertinggal jauh di belakang.

Biar kata orang ia berandalan, Gilang tak pernah peduli. Semua orang mempunyai cara sendiri untuk sembuh dari lukanya, dan ini adalah cara Gilang. Namun, sialnya malam itu semesta sedang tidak berpihak kepadanya. Sebelum mencapai garis finish, Gilang terpaksa menekan rim dan menghentikan roda motornya untuk berputar. Kericuhan yang berasal dari titik awal ia memacu motornya kini dipenuhi oleh teriakan orang-orang yang berkumpul di sana. Kerumunan itu terpecah, semua berlari lintang-pukang untuk menyelamatkan diri.

Gilang mengangkat kaca helm yang dikenakan, kini sepasang iris cokelat gelap itu menatap tajam kericuhan di depan sana. Dua mobil Satpol PP lengkap dengan petugasnya tampak mengejar dan menangkap tiap orang yang ia temui. Gilang berusaha menemukan teman-temannya di tengah kekacauan yang terjadi. Namun, belum sempat netra lelaki itu menjumpai apa yang ia cari, teriakan dari salah seorang pol PP lebih dulu mengagetkannya. Buru-buru ia putar arah dan tancap gas meninggalkan tempat itu.

Umpatan kasar berhasil lolos dari bibir Gilang. Saat merasa lokasinya sudah cukup jauh, ia baru menepi dan mengeluarkan ponsel yang tersimpan di saku jaket. Nama Ryan menjadi kontak teratas saat ia membuka riwayat panggilan. Gilang membuka helmnya kasar sebelum menempelkan ponsel di daun telinga, dengan raut yang memerah, lelaki itu mencoba untuk bersabar menunggu nada sambung berakhir yang kemudian digantikan suara sosok di seberang.

“Lolos?” sergah Gilang langsung tanpa perlu basa-basi.

“Lolos, tapi—“

“Kenapa?”

“Abang lo ketangkep.”

Gilang berdecak kesal. “Gue udah ingetin sebelumnya jagain sebentar.”
“Sorry, Lang. Gue kira dia naik sama Zio, tapi ternyata ketinggalan.”

Lelaki itu mendengkus. “Yaudahlah, udah terlanjur. Marah juga percuma. Kalian langsung balik ke basecamp aja.”

“Lo gimana?”

“Mau gimana lagi? Gue harus nyusul Galang.”

“Gue temenin?”

“Nggak usah, kalau lo ikut bakalan panjang urusannya.”

Lantas terdengar gelak tawa dari seberang. “Ya udah hati-hati, kita tunggu di basecamp.”

Setelah itu panggilan terputus. Gilang menghempas napas kasar, hal inilah yang paling ia benci jika membawa orang baru, lebih-lebih orang itu adalah saudara kembarnya sendiri, bikin repot. Terpaksa ia harus berurusan dengan orang-orang berseragam sok disiplin itu lagi. Walaupun Gilang malas, tapi ia tidak mungkin membiarkan Galang sendirian di sana.

MISTAKE [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang