P R O L O G U E

983 113 145
                                    

Muto mengepalkan tangannya dengan kesal di permukaan meja, giginya bergemeletuk, keningnya berkerut-kerut. Dari bibirnya, lolos geraman tipis hasil menahan luapan amarah. Mata pria itu melirik benda di laci mejanya seolah ingin menghancurkan benda itu kalau saja tidak ada yang penting di dalam sana.

Pintu ruangannya diketuk dari luar, itu cukup membuat Muto meredakan kejengkelannya. Ia menarik napas, menyandarkan punggung ke kursi singgasananya. "Masuk," perintahnya.

Sakuma menutup pintu di belakangnya, lantas melangkah mendekati meja kerja Muto, dan memasang gestur hormat. Namun, rupanya Muto tak mau repot-repot melihat bawahan langsungnya bersikap patuhーsetelah apa yang bawahan sialannya ini lakukanーpadanya. Pria itu melempar amplop cokelat payung ukuran besar ke meja, nyaris jatuh kalau saja Sakuma tak sigap menangkap.

"Berikan pada bocah itu," titahnya begitu saja.

Sakuma ragu mengintip isi amplop, melilhat sekilas apa-apa saja yang harus diberikan pada salah satu bawahannya. Sebenarnya dia kurang yakin membiarkan orang lain menggantikan tugasnya yang telah dia jalankan selama beberapa tahun terakhir, tetapi, perintah adalah perintah, Sakuma bisa apa selain mematuhi atasannya.

"Pak, mohon maaf kalau saya lancang." Muto meliriknya waspada, tetapi tak melakukan apapun sehingga Sakuma lanjut bicara. "Apa keputusan menugaskan anak ini sudah benar? Maksud saya, dia baru masuk divisi kita empat bulan lalu."

"Keputusan ini sudah bulat. Mau dia anak baru, mau dia sudah senior, aku akan tetap menugaskannya di sana." dari semua sifat buruknya, sisi tegas Mutoーyang sangat jarang munculーadalah yang menjadi pengingat Sakuma untuk terus menghormatinya. Kalau saja dia tidak gila jabatan dan gila hormat, sudah pasti Muto tidak akan dapat kesan buruk, bahkan dari polisi-polisi muda sekalipun.

Namun, Sakuma tetap tidak puas. "Apaー"

"Jangan banyak omong! Cepat datangi dia dan berikan berkas sialan itu. Aku tidak mau tahu, pokoknya bocah itu harus bersedia." Oh, hilang sudah respek minim Sakuma padanya.

Sakuma memberi gestur hormat. "Baik. Saya, permisi dulu." Pria itu mempertahankan raut wajah non ekspresinya hingga menutup rapat pintu ruangan Muto dari luar. Setelahnya ia mengembus napas, mulai melangkah menjauhi tempat itu sambil menggumam, "... pasti dia begini karena meremehkan anak itu."

Aku menatap tak percaya pada Sakuma-san. Kalau tak ingat yang berdiri di hadapanku adalah seorang senior merangkap atasanku, sudah bisa dipastikan mulutku bakal menganga tidak elit.

"... saya, Sakuma-san?" Tanyaku heran.

Sakuma-san mengangguk sekali, seolah meyakinkan memang akulah yang ditunjuk. Ia menyerahkan amplop padaku tanpa ekspresi. Aku menerima amplop ini dengan sangat ragu.

"Seperti yang kukatakan, tugasmu adalah memantau mereka dan melaporkan apapun yang mereka lakukan," terang Sakuma-san membuatku yang tadinya mengintip isi amplop jadi mendongak.

"Apapun?"

Ia mengangguk, memasukkan tangan ke saku celana. "Apapun," ulangnya lugas.

"Tapi, kenapa saya? Padahal 'kan Sakuma-sanー"

"Mau bagaimana lagi. Ini perintah atasan." Kurasakan tatapannya melunak. "Kau bersedia 'kan?"

The Only Juliet | Joker GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang