05. maknae

282 52 49
                                    

Malam Minggu, menjelang makan malam member Divisi D berkumpul di ruang makan bersama Emma, duduk dengan bantal ganjalan di kursi, tangan memegangi kartu-kartu. Emma sangat antusias menanyai siapa saja di sisinya; apa saja nama simbol ini, mengapa ada empat simbol dan bukan lebih, mana yang lebih besar pangkatnya, apa Ace sama dengan nomor satu, apakah Jack adalah anak King dan Queen, dan mengapa Joker selalu disimpan saat bermain. Tipikal anak-anak penuh rasa ingin tahu, mempelajari segalanya dengan menanyakan detil-detil yang terkadang tak diperhatikan saking remehnya.

Fukumoto-san memakai celemek beruang, mencuci tangan dan dua ikat romaine. Aku kebagian jatah menyiapkan teflon, talenan, pisau, minyak, saun bawang, dua siung bawang merah, dan satu siung bawang putih besar. Selepas mengupas kulit dan dicuci, kuraih pisau, dan mulai mencacah bawang merah lebih dulu, baru menggeprek bawang putih dan dicacah juga.

"Wow, pemandangan langka."

"Eh, maksudnya?"

"Tahulah, perempuan zaman sekarang—apalagi yang jam terbangnya padat—ada saja alasan menghindari memasak."

"Ah, itu." Aku manggut-manggut, menuang minyak ke permukaan teflon, memasukkan bawang-bawang, lalu menyalakan kompor. Menggunakan sendok kayu, bawang-bawang yang ditumis dibolak-balik hingga aroma penggetar nafsu makan mengudara. Di sampingku, Fukumoto-san sudah selesai memotong romaine, meletakkan garam, gula, dan kaldu jamur di dekat talenan.

"Wow ...."

"Bisakah kalian berhenti bertingkah seperti orang yang lama tidak menyentuh makanan selain nasi dan garam?"

"Ya ... habis, selama ini sarapan, makan siang, makan malam—bahkan bekal—semuanya dimasak Fukumoto dan Odagiri—notabenenya laki-laki. Saat ini ada perempuan memasak untukku ... khh—aku ingin menangis!" Datang dari mana datangnya saputangan merah muda itu.

"Kaminaga, biasanya juga kau dimasakkan pacar-pacarmu," Tazaki-san berujar.

"Lagipula dia tidak memasakkan hanya buatmu saja, jadi jangan besar kepala."

"Cih, perusak kebahagiaan orang."

"Oh, kau orang?"

"Memangnya kaupikir selama ini aku itu apa, Hatano?"

"Hidung belang."

"Sialan. Ucil sial—"

"Stop bicara yang berpotensi mencemari telinga Emma."

Juru masak andalan mengambil alih, memintaku melanjutkan membuat lauk saja. Para pemuda meneruskan obrolan (baca: perdebatan).

"Kakak keren!"

Aku tersentak, menoleh ke arah Emma. "Benarkah?"

"Emma juga mau belajar masak!"

"Ooh, semangat yang bagus, Emma. Cara memenangkan hati laki-laki adalah dengan menjinakkan perut lebih dulu."

"Benarkah?" Aduh, anak sekecil ini dijejali yang seperti itu.

"Oke, mumpung sekarang aku belum banyak pekerjaan, Emma boleh belajar masak kapan saja."

"Terima kasih!" anak itu tersenyum sangat cerah.

Emma Grane. Putri angkat Amari-san. Tidak ada data selain usia dan keluarga lain (baca: Frate). Tanggal lahir, riwayat pendidikan, riwayat penyakit, latar belakang keluarga atau kerabat lain-lain tak tercantum seolah data dirinya adalah rahasia setara data diri milik para anggota Divisi D. Aku tidak berhak tahu, tetapi bukan berarti tidak penasaran sama sekali, sebelum tinggal di sini, di mana Emma tinggal dan bersama siapa dia hidup selama ini? Ibu? Ayah? Mengapa Amari-san memutuskan untuk mengadopsi Emma? Bagaimana respons rekan-rekan kerjanya—bagaimana respons Yuuki-san? Apa mulanya beliau keberatan atau bersikap seperti lansia yang sangat mengharapkan keberadaan anak kecil untuk meramaikan rumah besarnya?

The Only Juliet | Joker GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang