04. critical eleven

320 58 7
                                    

Aku terbangun sebelum matahari terbit, kamar dalam kondisi gelap, satu-satunya sumber penerangan hanya cahaya remang-remang dari jendela. Pada akhirnya kemarin aku tidak jadi nonton drama, langsung menggulung diri dengan selimut, lalu berusaha tidur walau belum sepenuhnya mengantuk.

Jam digital di layar ponsel menunjukkan angka lima, bertepatan alarm berbunyi, pantas saja masih gelap. Aku menjejak selimut, membiarkan suhu rendah menyerbu tubuh yang hanya memakai kaus dan celana training, menatap langit-langit kamar karena memang tidak ada yang bisa kulakukan sepagi ini di asrama Divisi D. Ketika belum tinggal di sini, bukan hanya aku yang bangun di pagi buta begini, yang lainnya pasti sudah bangun, bahkan mandi untuk bersiap mengikuti apel pagi. Tak ada suara di luar ruangan, pula tidak ada aroma makanan, membuatku menduga belum ada yang beraktifitas di jam segini, aku baru tahu jam kerja mereka sefleksibel ini.

Pada akhirnya, aku berganti bajuーkaus lengan panjang ditiban jaket kupluk yang diritsleting hingga dada, celana olahraga parasut, kaus kaki, dan sepatu olahraga. Mencuci muka dan menggosok gigi, mengalungkan handuk mini, lalu mengisi botol minum di dapur. Sekarang tinggal meninggalkan pesan untuk penghuni asrama lain, kutulis pada sticky note dan kutempel pada pintu kulkas, baru menenteng sepatu olahraga.

Langit berwarna pucat di atas kepala, perpaduan mazarin dan jari-jari matahari mengusapi langit, tinggal menunggu waktu saja sampai matahari terbit. Suhu rendah berhasil ditangkal lapisan kaus lengan panjang dan jaket, tetapi tak sampai menghangatkan wajah, telapak tangan, dan telinga. Jalan beraspal dilewati satu mobil bak terbuka yang mengangkut boks-boks sayuran, pematang jalan dihinggapi burung-burung gereja, paruh kecil mematuk-matuk permukaan trotoar, terbang begitu saja sewaktu kulewati, suara sapu lidi menggesek tanah berasal dari pekarangan luas sebuah rumah, seorang wanita paruh baya tersenyum padaku.

Aku menarik napas dari hidung, mengembus perlahan lewat mulut, kaki mengetuk trotoar melintasi halte, kuseka pelipis basah keringat memakai handuk mini. Kuteruskan lari kecil hingga tiba di sebuah taman kosong. Di sudut taman, dipagar beton yang dirambati tumbuhan, ada jungkat-jungkit, perosotan besar, beberapa ayunan, kotak pasir, ban-ban raksasa dicat warna-warni didirikan membentuk terowongan, bagian atasnya penyok-penyok (mungkin) karena tapak kaki anak-anak. Ada beberapa bangku panjang diletakkan terpisah, semuanya tepat berada di naungan pohon, salah satunya menjadi destinasiku.

Kutenggak isi botol hingga tersisa separuh, sekali lagi membersihkan keringat yang melekati tengkuk, bagian bawah telinga, leher, pelipis, dan kening. Aku memacu langkah kembali ke asrama, tiba bertepatan dengan matahari terbit.

Sambil menenteng sepatu olahraga, aku hendak langsung naik untuk menyikat sepatu yang kena tanah basah, mendadak perhatianku teralih sebab ada keributan dari dapur.

“ーkenapa jadi ada banyak barang yang tidak ada dalam list kalian beli?” Itu suara Fukumoto. Ia mengembus napas. “Dengar, aku tidak akan bicara begini kalau kalian menghamburkan uang kalian sendiri.”

“Tapi … kita belum gajian ...,” Kaminaga menggumam, masih dapat didengar.

“Kalau begitu, gaji kalian bulan ini kutahan,” cetus Fukumoto.

“Hah?!” Hatano berseru gusar.

“Jahat!”

“Diam.” Keduanya bungkam di bawah desisan berbahaya Fukumoto. Wow apa yang mengomel ini benar-benar juru masak Divisi D, atau aku hanya salah dengar. “Kaminaga, pasti kau yang beli Jumpーuntuk apa kau beli ini?”

“… Gintama ada di seri itu sebelum pindah terbit.”

“Hatano, kenapa pula kau membeli banyak jajanan ber-MSG begini? Aku memang memasukkan snack dalam list, tapi maksudku adalah yang aman dimakan Emma juga dan jumlahnya tidak mengalahi isi pabrik begini.”

The Only Juliet | Joker GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang