Prolog

12.7K 767 30
                                    

Dinding putih mengkilap yang memantulkan cahaya mentari tampak memantulkan bayangan dari isi ruangan. Ruangan itu tampak sangat terang akibat dindingnya yang terbuat dari es putih yang memantulkan cahaya matahari dan hampir segala perabotan di sana dilapisi segala hal yang bernilai tinggi.

Perhatian utama dalam ruangan itu ada di bagian tengah, di mana terlihat seorang wanita berambut pirang sepunggung bergelombang dan memakai mantel putihnya duduk manis di atas kursi berlapis emas dengan potongan batu rubi sebagai hiasannya. Manik biru cemerlangnya memandang lurus ke arah meja, di mana terlihat papan catur beserta bidaknya berdiri.

"Kau tampak menyerah?" Wanita itu mengalihkan pandangannya dari bidak catur putihnya pada seorang pria di hadapannya.

Pria tersebut berdeham dan balas menatap manik biru sang wanita. Rambut hitamnya tampak kusut, dengan manik amber menghiasi wajahnya dan senyuman tipis turut menambah ketampanan pria itu. "Tentu saja tidak, chérie. Aku menunggumu lengah."

Sang wanita terkekeh mendengarnya dan menutupi mulutnya dengan punggung tangannya. Wajahnya yang merona tampak sangat manis sehingga sang pria tersenyum lebar. "Kenapa?"

"Tidak, tidak ..." Tangan wanita itu berkibas pelan. Setelah mengambil napas, ia menatap pria di hadapannya lekat-lekat. "Kemenangan yang sudah ditunggu-tunggu olehmu akan segera kandas."

Pria itu tersenyum. "Lihat saja nanti. Setiap orang menunggu kemenangan, bahkan bangsa Achler."

Wajah wanita itu yang tadinya sumringah langsung berubah drastis. Ia tampak lesu mendengar perkataan pria di depannya. "Benar juga. Aku sangat jenuh melihat mereka tak berubah sedikitpun. Karena itu, terkadang aku melihat bumi."

"Ada apa dengan bumi?" tanya sang pria.

"Manusia-manusia di bumi benar-benar hebat! Aku mengakuinya karena mereka benar-benar teratur walaupun saat ini kondisi mereka juga parah," ujar sang wanita.

Pria itu memajukan kesatrianya membentuk huruf L pada catur. "Perang juga?

Wanita itu mengangguk dan melanjutkan permainan. "Kudengar peperangan mereka amat mematikan dan melibatkan banyak negara."

"Oh, dengar-dengar pembagian wilayah mereka dengan negara, ya? Beda dengan kita," cerocos pria itu.

Sang wanita mengangkat kepalanya. "Yeah. Justru itu membuat mereka mampu bertahan. Setiap manusia yang tergolong dalam suatu negara akan membela wilayahnya habis-habisan. Aku salut pada mereka."

"Sepertinya aku pun begitu." Sang pria mengangkat wajahnya dan menatap lekat-lekat mata wanita di depannya. "Apa mereka tak bisa menyatu antara satu negara dengan negara lain? Maksudku, lewat jalan damai, bukan jalan perang."

Jari wanita itu mulai mengetuk meja di depannya. Setelah diam sepersekian detik, ia menatap sang pria dalam.

"Mereka jarang ditemukan, monsier. Ada seorang pria dari negara mana menikah dengan wanita dari negara lain. Anak mereka sangat manis. Sayang, masing-masing dari pihak ayah dan ibunya sangat menentang keberadaan anak tersebut."

"Lalu?" Sang pria tampak tertarik dengan pembicaraan mereka.

Si wanita menghela napasnya mengingat semua yang dilihatnya. "Sang anak disembunyikan oleh ayah dan ibunya yang mana keduanya disiksa sebelum akhirnya dibunuh."

"Astaga." Sang pria menutup mulutnya. "Sadis sekali."

"Setuju, 'kan? Aku ingin sekali berada di sana dan menyelamatkan anak itu. Astaga! Jika saja ada anak seperti itu, aku bersumpah akan menjadikannya orang istimewa bagi Loctus! Akan kujadikan ia salah satu pemegang kekuatan langkaku!" katanya dengan dramatis.

Sesuatu bersinar. Benda mirip kristal raksasa berwarna putih bersinar begitu terangnya begitu sang wanita mengucapkannya.

"Kau baru saja bersumpah?" Sang pria bertanya dengan menaikkan nadanya.

Wanita itu turut melihat kristalnya dan beralih kembali pada sang pria. "Astaga, aku tak sengaja!"

Sang pria tersenyum. "Lanjutkan saja. Tidak apa-apa."

Sang wanita tampak ragu. "Bagaimana jika--"

"Kau tahu pada akhirnya kau harus menyerahkan keenam kekuatan langkamu untuk menghentikan kegelapan ini, 'kan?"

Sang wanita memejamkan matanya tidak percaya, kemudian berpikir kalau ide itu tidak buruk. Ia menghela napas panjang dan mengangguk pelan.

"Aku bersumpah akan menjadikan orang-orang yang lahir atas dua negara yang berbeda istimewa. Akan kuberikan keenam kekuatan langkaku pada keenam dari mereka agar mereka bisa menggunakannya untuk melawan kegelapan yang ada di Loctus."

Kristal bersinar kembali. Sang wanita melanjutkan, "Dan menjadikan mereka pemimpin Loctus di masa mendatang."

Sinar putih keluar dari kristal, membuat sang pria mencoba menghalangi silaunya sinar itu. Setelah beberapa saat, sinarnya menghilang, meninggalkan sebuah cawan berisi cairan kental.

Tanpa aba-aba, tangan wanita tersebut tengah masuk dan tampak mengaduknya. Cukup lama ia memasukkan tangannya hingga saat ia menarik kembali tangannya, bibirnya terangkat senang.

"Aku sudah memilih, enam orang yang akan menjadi pemegang kekuatan langkaku," katanya.

"Siapa? Kapan mereka hidup?" tanya sang pria penasaran.

Sang wanita tersenyum. "Mungkin beberapa puluhan tahun lagi."

***

90 tahun kemudian ...

Seorang pria tua dengan senangnya masuk ke istana Raja Zandars, raja Loctus, di mana beliau duduk di singgasananya.

"Yang Mulia, Profesor Al datang!" Seorang pengawal yang mendampingi pria itu menunduk.

Sang raja memberikan isyarat pada pengawal agar meninggalkan mereka berdua. Setelah itu, barulah si pria tua mengeluarkan kesenangannya.

"Aku menemukannya! Enam blasteran yang kita cari bertahun-tahun sudah ketemu!"

Seulas senyum tersungging di bibir sang raja. "Baiklah. Sekolahkan mereka dan sembunyikan identitas mereka dengan ramuan yang kau tujukan padaku minggu lalu. Lindungi mereka dengan segenap hati sampai mereka diberitahu siapa mereka sebenarnya."

Sang pria tua membungkuk. "Tentu saja, Yang Mulia."

***

Happy reading.

1 - Loctus : The Game Of Portal [END-PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang