Emily membuka pintu ruang kerjanya. Lalu ia memandang beberapa orang yang kini sedang bekerja serius. Mereka tersadar kalau atasan mereka menatap mereka dengan raut yang tidak dapat ditebak.
"Sudah ada titik terang?" Tanya Emily berwajah datar. Wanita itu mengawasi satu per satu pegawai yang bekerja di satu ruangan kecil itu. Matanya menatapi satu per satu dari mereka, sambil tersenyum sedikit. Namun apa daya, senyuman itu malah membuat mereka bergidik nyeri.
"Be..belom, Bu.."
Emily menghela nafas panjang. Ia tahu kalau kasus ini susah bila ditangani sendiri. Tapi ia sebisa mungkin tidak melibatkan polisi, karena kalau tidak, nyawa anak itu dalam bahaya.
"Baik, teruskan. Dan jangan sampai masalah ini terdengar ke media. Saya membentuk tim ini karena saya percaya pada kinerja kalian."
Pintu ruangan yang penuh dengan lima buah komputer berteknologi canggih itu pun tertutup pelan, menyisakan tujuh orang berusia pertangahan tiga puluhan bernafas lega. Kini mereka kembali bekerja, menyusuri satu per satu kamera pengawas di segala tempat yang memungkinkan ditemukannya anak itu.
***
Pintu kayu jati itu terbuka pelan. Sosok laki-laki berusia pertengahan tiga puluhan berjas hitam dan bertubuh gagah muncul dibaliknya. Ia menghampiri Emily dengan langkah ringannya. Seperti sudah terbiasa, Jason duduk di sofa cokelat mewah ruang kerja Emily kemudian menyesap anggur mahal yang diimport langsung dari Italy. Kantor dengan interior dan nuansa elegant dominan warna krem ini sudah menjadi tempat bekerja Emily selama empat tahun belakangan. Pemandangan kota Jakarta yang terpampang jelas dari jendela tembus pandang besar yang terletak di sudut ruangan. Seluruh benda yang terpajang disini juga dipesan dan dibuatkan khusus untuk Emily dengan harga yang tidak murah. Karena wanita itu menyukai sesuatu yang berbeda. Klasik namun elegant.
"Kau benar bisa menangani ini sendiri? Kau tahu, beberapa polisi dan detektif bisa bekerja dengan baik dalam penyelidikan ini. Aku kenal baik dengan mereka." Pria yang memiliki wajah tampan, dengan hidung mancung, berambut lebat hitam dan alis yang tebal itu menatap Emily dengan serius. Ia melepaskan satu kancing jas nya kemudian kembali menyesap anggurnya.
Emily yang duduk di kursi kerja berwarna merah tua di depan meja kerjanya itu terdiam. Sudah berkali kali ia berpikir untuk melibatkan polisi dan detektif, namun dengan begitu ia harus siap untuk menghadapi fitnah, gossip dan urusan lebih riwuh untuk yang kesekian kalinya. Emily hanya tidak ingin masalah ini menjadi lebih besar.
"Tidak. Aku percaya pada tim investigasi perusahaanku, Jason."
"Lalu jika tidak ada hasil?"
Emily terdiam. Bibir tipisnya menghirup teh dari cangkir putih dengan pelan.
Jason terkekeh pelan. "Kau tahu siapa yang bisa dihubungi, Emily. Aku akan bersedia membantumu."
Emily menatap Jason dengan tatapan kesal. "Kau orang kesekian yang selalu menawarkan bantuan. Aku tidak tahu apa maksud dibalik itu, tapi aku memiliki firasat yang buruk."
Jason tertawa kencang. "Aku membantumu pasti ada tujuan. Maka dari itu, menikahlah denganku, tujuanku memang melamarmu. Ini sudah kulakukan kesekian kali, kau hanya membuatku merasa buruk ketika kau menolakku lagi."
Wanita itu menggeleng. "Jangan bermimpi untuk menikahiku kalau kau sudah memiliki isteri dan anak."
"Aku bisa bercerai dengan istriku kalau itu yang kau mau."
Emily menoleh pada Jason dengan tatapan semakin kesal. "Kalau kau hanya mengoceh tidak jelas di siang hari ini, sebaiknya kau balik ke kantormu. Kau hanya menambah penatku hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
EMILY and RANDY (Tjaya's Fam Series I)
RomanceKenyataannya, cinta tidak sebahagia yang kau pikirkan Pada ceritanya, cinta juga adalah hal rumit yang paling susah untuk dijelaskan Cinta yang membuatmu tersakiti Cinta juga yang membuatmu bersedia untuk melakukan banyak hal Emily sangat percaya bi...