It Hurts

30K 768 4
                                    

"Shit," aku memgumpat saat melihat jam di handphone sudah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit. The hell. Aku masuk sekolah pukul tujuh, dan bahkan sekarang aku baru saja terjaga.

Aku menendang selimut yang menutupi tubuhku, dengan cepat meraih handuk dan berlari ke arah kamar mandi.

***

Aku telat pada hari pertamaku menjadi murid tingkat dua Sekolah Menengah Atas. Tapi, siapa peduli, sih.

Oh, kecuali kalau aku tahu wali kelasku adalah si macan betina yang siap menerkam kapan saja-Ms. Erika. Hell yeah, salah gue apa.

"Ini hari pertama, Ms. Lynn, dan Anda sudah telat datang? Oh, apa Anda pergi ke club semalam, jadi Anda telat bangun?"

Mulutnya tajam. Itu hanya satu dari alasan aku membencinya. Oh God. Sambil memandangnya tajam, aku berucap, "Anda sebenarnya guru atau apa? Bagaimana murid mau berbicara sopan kalau-kalau Anda sendiri berbicara seperti itu?" Sinis. Dingin. Tajam. Menusuk. Aku berdoa, semoga dia merasa nada-nada itu di setiap kata yang kuucapkan. Dia memang guru gila. Gila.

Dan untuk informasi, aku tidak pernah ke club-ya, ya, ralat, jarang. Bisa di hitung menggunakan jari, kok. Si macan saja yang memang gila.

"Anda-" dia berhenti berbicara. Matanya masih memandangku tak percaya. Kurasa dia kehabisan kata-kata, atau apalah. Dia mendesah kesal. "Saya rasa waktu kita akan makin terpotong kalau hanya untuk membicarakan ini. Silahkan duduk, Ms. Lynn."

Aku mendengus. Lalu berjalan ke arah bangku yang kosong-tepat di pojok paling belakang; dengan jendela yang menghadap ke taman belakang selolah. Sempurna.

"Baiklah, saya rasa cukup untuk sekarang. Saya permisi mengurus para murid MOS."

Aku bersorak dalam hati. Akhirnya, macan betina gila itu pergi juga. Aku mengeluarkan earphone dan novel yang baru saja aku beli beberapa hari lalu. Memasukkan earphone ke dalam kedua telinga, aku mulai membaca.

Entah sudah berapa lama aku terlalu asyik membacanya, yang jelas, aku tidak sadar waktu namaku di panggil.

Seseorang itu, mencabut earphone yang kupakai. Merasa terusik, aku menoleh ke arah sumber yang mengusik. Dan, mataku membulat setelah tau siapa sumber yang mengusikku itu.

"Hello to you." Ia tersenyum.

Aku masih membeku. Antara karena kaget akan kehadirannya, atau karena senyumnya yang selalu bisa membuat jantungku berdetak tidak normal. Maksudnya, tiba-tiba banget datengnya.

"Kenapa bisa di sini?" Aku merutukki kebodohanku. Karena nyatanya, yang keluar dari bibirku adalah nada yang sinis. Uh.

Senyumnya menghilang. Dan aku menyesal setengah mati. "Kamu emangnya gak kangen sama aku?"

Kangen, sumpah demi apapun. "Gue nanya, Xavier Lember."

Iya, sumber pengusikku, itu Xavier Lember. Cowok yang lebih tua satu tahun dari pada diriku. Sahabatku. Sahabatku sejak aku berumur empat tahun. Kakakku juga. Tempat bersandarku. Tapi, sayangnya bukan milikku. Hell yeah, kenapa jadi ngelantur gini, sih. Err.

"Aih, satu minggu gak ketemu kok, kayanya kamu makin galak sih, Tra?"

"Satu minggu yang lo gak kasih kabar sedetikpun. Asik banget ya, emang, liatin bule bule topless?" Ini terdengar seperti seorang wanita yang cemburu pada pacarnya. Ok, aku bodoh lagi. Salahkanlah mulutku ini yang selalu mengeluarkan kata-kata tanpa disaring lagi.

Xavier terkekeh. Merdu di telingaku. "Elektra King Lynn," ucapnya, memangill nama lengkapku. Terdengar seperti sebuah lagi di telingaku. "Kangen kamu juga."

Oh Tuhan.

***

Aku pulang dengan Xavier sepulang sekolah. Tentu saja dengan mobil A6 putih milikknya.

Aku memasukkan CD berwarna putih ke dalam CD player. Suara milik Lights Bokan yang melantuntan lagu Cactus In The Valley terdengar. CD ini milikku. Yang sengaja aku taruh di mobil milik Xavier. Dan untuk informasi, aku selalu memikmati lagu-lagu Lights. Selalu. Tapi yang paling sih, Cactus In The Valley. Ngena aja gitu, liriknya.

"Lights mulu, gak bosen apa Tra?"

Aku mengabaikan pertanyaan gak penting yang di lontaran Xavier. Kenapa gak penting? Hell-o, dia hampir selalu mengatakan itu saat aku memutar lagu Lights.

"Seneng banget sih, garingin gue. Gak bosen apa, Tra?"

Aku menoleh dengan tatapan 'bisa-diem-gak-sih-lo' ke arahnya. Dan, dia langsung diam.

"Turunin gue di tempat biasa aja, Xav," kataku tiba-tiba saat mobil berhenti di lampu merah. Tempat biasa yang aku maksud itu, tempat biasa aku dan Xavier nongkrong-B's Caffee. Hot chocolatenya itu loh, enak banget. Punya 'something' yang buat semua orang yang menghirupnya jatuh cinta. Plus tempatnya yang asik, adalah kenapa aku dan Xav suka banget nongkrong di situ.

"Loh? Bukannya Emily pulang dari Sidney hari ini, ya, Tra?"

Perutku bergejolak mendengar nama Emily di sebut. "Then, gue harus jemput dia ke bandara, berpelukkan--bertukar rasa rindu sama dia, gitu?" Suaraku tajam dan dingin.

Xavier seperti baru sadar apa yang ia ucapkan setelah aku berkata seperti itu. "Sorry, Tra. Sorry." Aku dapat mendengar dengan jelas rasa bersalah di ucapannya.

"Gapapa," jawabku.

Bukan rahasia lagi kalau aku dan Emily-kakak-ku (aku benci mengatakannya) yang berbeda Ibu memang tidak dekat. Bukan, aku dengan Emily bahkan seperti dua orang yang sama sekali tidak mengenal. Bahkan, mungkin bukan rahasia lagi kalau aku membenci Emily-atau tidak, karena hanya Xavier yang tahu. Dan Tuhan. Dan, mungkin Tante Lisa dan Emily itu sendiri.

Biar kuceritakan, Ibu Emily-Tante Lisa, adalah pelacur yang akhirnya menjadi istri Dad sekarang. Aku kasar? Masa bodoh. Waktu itu, Mom tidak juga mengandung padahal Mom dan Dad sudah menikah hampir lima tahun. Makanya, menurut cerita Dad, diam-diam Dad bercita dengan Tante Lisa karena frustasi tak juga memilikki anak. Dan lahirlah Emily. Tapi, Dad gak pernah cerita apapun tentang Emily dan Tante Lisa ke Mom. Sampe satu tahun kemudian, Mom hamil, sampai lahirlah aku. Enam tahun sesudahnya, Emily dikatakan positif mengidap kanker darah, leukimia, dan, itu lah hal yang membuat akhirnya membuat Dad memberi tahu tentang Emily, dan juga Tante Lisa. Mom, yang hatinya selembut sutra, tidak keberatan menerima Emily dan Tante Lisa. Sampai, tidak sampai satu tahun kemudian, aku melihat dengan kepala mataku sendiri kalau Tante Lisa membunuh Mom. Aku masih terlalu kecil saat itu, sampai Dad tidak mempercayai penuturanku. Jadi, sampai sekarang, Tante Lisa dan Emily masih ada di rumahku--yang seharusnya, sudah di tendang jauh-jauh dari rumah. Dan, Emily baru selesai chek up dari Sidney. Ia masih harus chek up dua kali dalam satu bulan setelah kemoterapi satu tahun penuh di Sidney. Sekarang, jangan tanya kenapa aku bilang aku membenci Emily. Oh, aku juga lupa, bahwa Emily merenggut seluruh perhatian Dad. Seluruh.

"Tra, kok bengong?"

Aku tersadar dari lamunanku. "Eh? Sorry. Udah sampe, ya? Thanks udah nganterin. Gue pergi, dah." Aku keluar dari mobil Xavier tanpa menunggu jawaban Xavier lagi.

Dadaku terasa sesak setiap mengingat kejadian itu. Air mata pun siap kapan saja di tumpahkan. Tapi, aku tidak selemah itu. Oh, tentu saja tidak. Kalau aku selemah itu, mungkin aku sudah seperti Cinderella.

Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya.

Mungkin segelas hot chocolate dapat meringankanku.

It HurtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang