"Tra.. ngomong, dong," Xavier mendesah.
Sudah dua jam aku berdiam diri di mobilnya—urung untuk turun. Padahal, rumahku hanya tinggal beberapa jengkal saja. Dan, dua jam juga aku urung berbicara.
Aku sudah bersiap akan turun, tapi handphoneku berdering.
Aku mengangkatnya.
"Halo," sapaku. Detik berikutnya, aku menahan nafas saat suara Dad yang terdengar.
"Elektra, kamu sudah bilang ke Xavier, kan?"
"Udah."
"Bagus. Oh, Dad lupa menanyakan ini kemarin. Xavier belum punya pacar, kan, Elektra? Kalau memang sudah punya, kasih tahu Dad, ya. Biar Dad suruh dia mundur. Okay?" Khas sekali Dad. Selalu, apapun yang dia mau, terkabulkan—apalagi, ini anak kesayangannya yang meminta—permintaan terakhir, pula.
Oh, apa aku pernah bilang bahwa kemungkinan Dad tidak mengabulkan permintaan Emil demi aku ada 00,01 persen? Sekarang, kuralat. Kemungkinan untuk itu terjadi adalah 00,00 persen.
"Elektra? Kamu di sana, kan?"
"Mm, yeah Dad. Xavier belum—punya pacar. Dad gausah khawatir."
Xavier langsung menatapku. Aku memilih untuk berpura-pura tidak melihat tatapannya.
"Omong-omong, Emil akan pulang lusa. Kalau begitu, Dad tutup."
Dan, telfon di matikan.
Aku menghela nafas.
"Emil pulang lusa."
"Dan, aku harus peduli?"
Aku mendesah. "Xav, please. Gak ada kemungkinan buat kita." Hatiku, sakit saat mengatakannya.
"Tra, pasti ada—"
"Gak ada, Xavier. Dan itu gak akan berubah, sampai kapan pun." Dengan itu, aku keluar dari mobil Xav dan bergegas masuk ke dalam rumah.
***
Makan malam sudah siap.
Begitu aku memasuki ruang makan, Dad, Om Harry—ayah Xav--dan Xavier, sudah menunggu.
"Maaf, aku lama," ucapku, sambil duduk di kursi yang sudah ditarikkan Mbok Min untukku.
Om Harry tersenyum maklum.
Dan, makan malam pun di mulai. Aku dan Xav sama-sama terdiam. Hanya berbicara kalau memang perlu.
Setelah makan malam selesai, Dad menggiring kami ke ruang santai.
Pembicaraan yang sesungguhnya pun di mula. Belum apa-apa, aku rasanya sudah ingin pergi saja. Enggan mendengar pembicaraan ini.
"Jadi, sebenarnya saya ingin membicarakan sesuatu," mulai Dad.
"Oh, ya, ya. Silahkan saja," balas Om Harry ramah.
"Begini—"
Tidak, tidak. Aku tidak sanggup mendengar kata-kata itu, lagi. "Mm, maaf, tapi aku punya banyak tugas. Boleh.. aku permisi?"
Dad memandangku. Lalu mengangguk setelah beberapa saat.
"Aku permisi, Om Harry," pamitku, sambil mencoba tersenyum. "Dan.. Xav. Bye." Aku pun bangkit, tanpa melihat ke arah Xavier lagi.
Mungkin, Xavier tahu, apa maksud dari ucapan selamat tinggal itu. Selamat tinggal untuk—selamanya.
Aku menghindar dari Xavier. Tentu saja. Walaupun, rasanya sangat-sangat sulit. Sangat menyakitkan.
Tapi saat pulang sekolah, Xavier menghadangku juga.
"Gue mau pulang," ucapku—sebisa mungkin dengan nada datar.
"Kita masih harus bicara, Tra."
"Gak ada yang harus gue dan lo bicarain."
"Tra.. please," Xav terlihat frustasi.
Sedih. Aku sedih melihatnya seperti ini. "Xav, udah gak ada lagi kita. Yang ada cuma lo dan gue. Lo harus ngerti." Aku lantas teringat sesuatu. Kalung pemberan Xav.
Baru aku ingin melepasnya, Xavier menahan tanganku.
"Jangan," katanya. "Simpen kalung itu, Tra."
Aku menggeleng. "Gue gak bisa, Xav."
Xavier mendesah keras. "Kenapa gak bisa?"
"Karena—"
"Tra, listen. Gue emang akan tunangan sama Emily. Tapi, lo harus tau, Tra. Satu-satunya perempuan yang ada di hati gue, ya cuma lo. Perempuan yang paling berharga. Perempuan yang gue mau jadi pendamping hidup gue. Cuma lo, Tra."
Xavier melanjutkan, "Dan samai kapan pun, satu-satunya perempuan yang gue sayang, cuma lo, Tra. Cuma lo. Gak peduli gue bakal tunangan sama Emily sekali pun. Cuma lo, yang ada di hati gue."
============================
AN: satu part lagi end, hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
It Hurts
Teen FictionPada akhirnya, aku memang selalu menjadi pihak yang tersakiti.