Aku dan Xavier sampai di Bogor pukul tujuh lewat. Hampir setengah delapan. Karena aku dan Xavier memang belum sarapan saat pergi tadi, kami akhirnya memutuskan untuk sarapan dulu. Gak di restaurant fastfood, enggak. Kita sama-sama sudah bosan sama makanan kaya begitu. Jadi, pilihan kita jatuh pada kedai bubur kaki lima di pinggir jalan.
Xavier memesan dua porsi. Satu untuknya; lengkap. Dan satunya untukku; tidak memakai bawang seledri dan kacang. Sekali lagi, tanpa sadar aku tersenyum kecil saat Xavier mengingat apa yang tidak aku suka saat makan bubur ayam.
Setelah bubur ayam siap, tukang bubur itu menyerahkan dua mangkuk bubur itu ke arah kami. Aku mengambilnya. Setelah meniup-niup bubur itu, aku melahapnya. Mmmm, tidak kalah dengan makanan di fastfood kok, serius deh.
Saat buburku masih ada setengah, milik Xav sudah habis bis bis. Aih, dia itu, makannya emang kuli. "Laper atau gimana sih, Xav?" Tanyaku.
Ia nyengir. "Laper iya. Doyan iya. Rakus? Enggak, itu mah elo." Dia meminum teh yang di suguhkan.
Aku membrengut. "Ya elah, rakus mah lo banget. Bawa-bawa gue!"
Kalau tadi ia nyengir, sekarang ia tertawa. "Semerdeka lo deeh, Queen Elektra. Udah cepetan makannya!"
Aku memgangguk sambil memasukkan satu sendok bubur ke mulutku. Dengan mulut penuh, aku berucap, "iya, iya."
Xav langsung terkekeh. "Makannya di telen dulu, neng."
***
Setelah sarapan tadi, aku dan Xav menuju villa milik keluarga Xav.
Aku melemaskan otot-ototku saat turun dari mobil. Udara terasa sejuk. Walaupun aku merasa agak dingin. Dan, pemandangan di sini juga oke.
Aku suka tempat-tempat seperti ini. Sepi. Tapi aku tidak merasa sendirian. Penghilang kepenatanku. Dan, setidaknya aku merasa lebih nyaman berada di sini, daripada di Jakarta; dekat dengan rumah. Dengan Dad. Tante Lisa. Emily. Berarti, dekat dengan kesedihanku. Kalau di sini, aku jauh dari mereka. Membuatku jauh lebih.. lepas. Tidak terpikirkan rumah. Apalagi, aku bersama Xavier. Ah.
"Gimana? Seger banget, kan?" Aku menoleh. Dan mendapati Xavier sudah berada di sampingku dengan tangan di saku celana.
Aku mengangguk. "Iya, kok lo gak pernah ngajak gue sih sebelumnya?"
"Sebenernya, ini villa baru," katanya. Aku ber-ohh ria. Xav melanjutkan, "dan, villa ini khusus buat gue gitu. Gue yang minta."
Aku menoleh ke arahnya. "Perasaan, waktu lo di tawarin punya villa sendiri di Bandung, lo gak mau," kataku.
Xavier mengangguk. "Beda dong, Tra, Bandung sama Bogor."
Aku memutar kedua bola mataku. "Intinya, lo kenapa minta beli villa ini?"
Xavier tersenyum—senyuman misterius. "Kenapa, ya?" Katanya.
Aku mendengus. "Serius, dih."
"Karena, gue tahu lo suka tempat kaya gini."
Aku langsung menoleh kearahnya. "Apa..?" Jangan bilang aku salah dengar. Jangan. Jangan.
Xavier berdeham. "Mm, enggak. Gue masuk ya, mm, dingin."
Xavier masuk ke dalam. Aku masih bergeming.
Tidak, tidak. Aku tidak salah dengar. Karena, gue tahu lo suka tempat kaya gini. Iya, aku yakin ia mengatakan itu. Lagi, aku tersenyum, entah untuk keberapa kalinya. Dan itu, karena Xavier.
Ketika aku masuk ke dalam villa, aku melihat Xavier yang terlelap di kursi panjang ruang tamu. Melihatnya, aku tersenyum kecil sambil masuk ke salah satu kamar.
Di kamar, aku mengambil selimut. Lalu aku berjalan ke arah ruang tamu lagi. Menyelimuti Xavier yang terlelap.
"Sleep well, Xav," ucapku.
Kemudian aku masuk lagi ke dalam kamar. Menutup pintu, memutuskan untuk melakukan hal yang sama.
***
Aku terbangun beberapa jam kemudian saat mencium wangi nasi goreng. Mm, asal tahu saja, hidungkuku sangat sensitif kalau berhubungan dengan makanan kesukaanku itu—nasi goreng.
Aku melihat jam yang ada di handphone. Lalu terkaget saat melihat bahwa sekarang sudah pukul empat. Astaga, aku sudah tertidur lama sekali.
Saat keluar kamar, aku mendengar suara-suara berasal dari arah dapur. Kuduga, pasti Xavier sedang memasak. Jangan salah, Xavier jagonya kalau memasak makanan kesukaanku itu.
Baru aku berniat mengagetkan Xav, dia sudah melihatku duluan. Dia nyengir, "halo, Sleeping Queen, Elektra."
"Adanya sleeping beauty, kali," jawabku sambil menarik kursi meja makan.
"Kalau gitu, sleeping beauty queen, ya?"
Aku mendengus, "ya, ya, terserah lo." Tapi dalam hati, aku senang juga.
Kemudian Xavier datang dengan dua piring berisi nasi goreng. Dan, nasi goreng itu kelihatan enak sekali. Aih. Perutku sudah berdemo ingin merasakannya, serius.
"Easy, baca doa dulu ya, queen, baru boleh di makan."
Aku merasa malu, "apaan sih."
Xavier tertawa. "Oke, pray time, queen."
Aku memejamkan mata. Memanjatkan doa.
"Amin," ucapku dan Xavier bersamaan.
Aku tersenyum lebar, meraih sendok dan mulai melahap nasi goreng.
"Tuh, kan, rakus," ucap Xav. Aku memeletkan lidah.
"Bodo!"
Tiba-tiba handphone Xav yang ada di meja makan bergetar. Ia mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelfonnya terlebih dahulu. Kebiasannya.
"Hal—"
Xavier berdeham. "Iya, Om, Elektra ada sama Xavier, kok."
Itu sukses membuat perhatianku yang tadinya terfokus pada nasi goreng teralihkan.
"Mm, kita lagi makan, Om. Abis ini, bakal jalan balik. Oke, Om."
Setelahnya, Xavier menaruh kembali handphonenya.
"Dia tau kita bolos?" Tanyaku.
Xavier mengangguk, "iya. Katanya, tadi dia jemput lo ke sekolah, mau makan bareng sama Tante Lis sama Emily. Ya, ketahuan lah."
Aku menghembuskan nafas.
"Makannya abisin, Tra. Abis ini kita pulang," ucap Xav. Aku mengabaikannya. Selera makanku benar-benar hilang mendengar nama Tante Lis dan Emil. Kapan, sih, mereka akan membiarkanku bahagia—atau setidaknya, ketenangan sedikit saja?
"Tra?"
Aku memandang lurus ke arah Xav. "Udah kenyang. Sorry."
Setelah itu, aku bangkit, lalu masuk kembali ke dalam kamar. Bersiap untuk pulang.
Kembali lagi bertemu Dad. Tante Lis. Emil.
==============================
A/N: lupa bilang deh. ini itu novella, gak sependek cerpen, tp gak sepanjang novel hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
It Hurts
أدب المراهقينPada akhirnya, aku memang selalu menjadi pihak yang tersakiti.