Ini sudah satu minggu lebih sejak.., mm, aku dan Xavier.., berpacaran.
Err, aku norak sekali, sih, mengatakan itu saja ribet.
Dan, selama ini juga, aku semakin dekat dengan Xav. Kebayang, kan, sedekat aku sekarang? Yah, mungkin benar-benar seperti surat dan perangko.
Sekarang, hari Sabtu pagi. Sekitar pukul enam. Aku sudah bangun. Ralat, terbangun, maksudnya. Aku mengambil handphone. Membuka-buka aplikasi. Bermain pou. Flappy bird—sampai rasanya aku ingin membanting IPhone 5-ku. Tapi, aku tetap saja bosan. Tahu sendiri, kan, aku tidak bisa tidur lagi kalau sudah terbangun seperti sekarang.
Dengan nekat, akhirnya aku mencoba menelfon Xavier. Siapa tahu dia sudah bangun. Atau dia belum tidur. Atau dia juga terbangun. Atau apalah.
Terdengar nada sambung.
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik.
Empat detik.
Lima detik.
Enam detik.
Belum juga di angkat. Aku mendesah. Mungkin Xavier masih tertidur.
Tapi, detik berikutnya suara Xavier mengalun seperti sebuah lagu di telingaku.
"Halo,"katanya.
"Eum, halo. Gak tidur?" Aku sadar pertanyaanku bodoh. Aku sadar.
"Menurut kamu? Kebangun. Karena telfon kamu."
Aku antara bersalah dan sebal juga dia menjawab seperti itu. "Yaudah. Tidur lagi sana. Good—"
"Aku bercanda, ma cutie pie," ia terkekeh dengan suaranya yang khas orang bangun tidur. "Lagian, aku udah gak ngantuk, kok."
Aku tersenyum juga mendengarnya. "Aku gabisa tidur lagi."
Dia berdeham di sebrang sana, "oke. Sekarang, mau aku ngapain?"
"Gak tau," jawabku jujur.
"Aku nyanyiin lagu, ya, buat kamu?"
Aku mengangguk. "Mmm, boleh."
Terdengar suara kresek-kresek di sana sebelum suara gitar mengalun. Lalu, suara Xavier terdengar.
"I never meant to wither
I wanted to be tall
Like a fool left the river
And watched my branches fall
Old and thirsty, I longed for the flood
To come back around
To the cactus in the valley
That's about to crumble down,"
Aku tersenyum. Xavier menyanyikan lagu favorite-ku. Cactus in the valley.
"And wipe the mark of sadness from my face
Show me that your love will never change
If my yesterday is a disgrace
Tell me that you still recall my."
Aku tiba-tiba memotongnya, "Xavier."
Xavier langsung berhenti. "Iya?"
"Tell me that your love will never change. And tell me, that you still recall my name no matter what," aku tidak tahu setan apa yang merasuki-ku sampai-sampai aku berbicara seperti itu kepada Xavier. Sungguh.
Hening.
Lalu, suara Xavier kembali mengalun. "Tra, listen. Kamu adalah hal yang paling berharga buatku. Aku pengen kamu selalu ada buat aku. Pengen kamu jadi milik aku. Dan, ya, i promise, that my love will never change. Until the end. Dan, Tra, nama kamu adalah nama terindah buat aku. Nama pertama yang akan selalu aku ingat saat aku baru bangun dari tidur. Dan nama terakhir yang akan aku ingat saat aku akan tidur, apapun yang terjadi. Selalu, Tra."
Aku rasanya ingin menangis—terlalu bahagia. Perempuan mana, sih, yang tidak akan bahagia jika pacarnya berkata seperi apa yang Xavier katakan tadi? Tidak ada. Dan, aku pun begitu—sudah pasti. Apalagi, diriku yang tadinya seperti sosok yang terbuang. Ah-ha-ha.
"Aku sayang kamu banget, Xav," akhirnya kata-kata itu yang keluar dari bibirku.
Malamnya, Xavier mengajakku makan malam. Ketika aku membuka pintu dengan balutan dress tak berlengan berwarna peach, Xavier berdiri dengan sebuket mawar putih yang di kombinasikan baby's breath.
Ia menyodorkan sebuket mawar itu sambil tersenyum. Aku mengambilnya, sambil tersenyum juga.
"Kamu tau, gak, arti bunga mawar yang di kombinasikan dengan baby's breath?" Tanya Xavier, saat kami sudah berada di dalam mobil A6 putihnya.
Aku menggeleng. "Enggak. Emangnya, apa?"
"Bunga mawar putih dapat berkata ‘aku sangat tulus mencintaimu’, dan bunga baby’s breath terkadang dapat melambangkan kematian. Tapi, bunga mawar putih yang dikombinasikan dengan bunga baby's breath dapat berkata ‘aku sangat tulus mencintaimu.. sampai mati’."
"Kamu.. gombal."
Xavier tertawa renyah. "Enggak, itu seruius."
"Ya, ya."
"Elektra," panggilnya.
"Mmm?"
"Aku sangat tulus mencintaimu.. sampai mati."
================
ini apaan sih? gak tau.

KAMU SEDANG MEMBACA
It Hurts
Ficção AdolescentePada akhirnya, aku memang selalu menjadi pihak yang tersakiti.