It Hurts : 04

3.2K 249 0
                                    

Sampai di rumah, Xavier menawarkan agar dia saja yang menjelaskan kenapa aku bisa bolos.

Tapi aku melarangnya. Toh, pada akhirnya, Dad akan tetap marah-marah padaku. Pasti. Hah. Lain lagi urusannya jika yang bolos itu Emily. Iya, kan? Ah-ha-ha. Miris sekali sih, hidupmu, Elektra.

Masuk ke dalam rumah, tentu saja Dad sudah menungguku di ruang tv.

Ia menyadari kedatanganku. Lalu ia langsung bangkit. "Kemana kamu bareng Xav? Kenapa kamu bolos? Emily bahkan baru pulang dari Sidney, Elektra." Nada bicaranya dingin. Emily. Emily lagi. Selalu Emily. Dan akan selalu Emily.

"Dan apa hubungannya sama aku?"

"Elektra!"

Aku mendengus. Kapan, Dad bisa mengerti perasaanku? Jawabannya sudah pasti, tidak akan pernah. Tidak akan. Berpikir begitu hanya seperti mimpi di siang bolong. "Dad, aku capek." Andai Dad tahu arti sebebarnya dari ucapanku.

Andai.

"Kamu sudah kelewat batas, Elektra. Ini sudah lebih dari sepuluh tahun, kamu masih belum bisa menerima mereka? Lisa sudah sangat baik mau merawat kamu, Elektra."

Aku ingin muntah detik ini juga rasanya. Dad selalu melihat Tante Lisa dan Emily. Selalu mereka. Hanya mereka. Dad tidak pernah melihat sedikitpun ke arahku.

Dad hanya memandangku dari sudut pandang Tante Lis dan Emil. Yang membuatku terlihat jahat. Kejam. Bukan sebaliknya.

"Dad gak akan pernah ngerti aku," kataku lirih. Takut-takut air mataku tumpah di depan Dad, aku bergegas naik ke lantai atas; ke kamarku.

Aku mengunci pintu kamarku setelah masuk. Selalu begini. Selalu berakhir dengan aku yang menahan sesak, menahan rasa sakit, menahan air mata, menahan semuanya dalam diriku. Dan pada akhirnya, aku menangis juga. Menumpahkan segalanya ke dalam air mata.

Aku terisak dalam diam. Sampai, aku jatuh tertidur.

***

Aku keesokannya sudah berangkat sebelum yang lain bangun. Itu akan lebih baik untukku. Walaupun aku tahu pada akhirnya Dad juga akan memarahiku—apalah. Aku tidak peduli.

Sampai di kelas, aku duduk di bangku-ku yang berada di paling pojok belakang. Menaruh tanganku di meja, lalu menelusupkan kepalaku ke dalamnya.

Lalu suaran-Nya mengusikku. Aku mendongak. Dan, dia berada tepat di depanku.

"Morning, Tra," sapa Xavier.

Aku melirik jam yang tergantung di dinding. Baru jam enam lewat sepuluh. Aku melirik Xav aneh, "Kok tumben banget lo udah di sekolah?"

"Maaf ya, pasti gara-gara kemaren lo di omeli sama bokap lo."

Tanpa masalah itu pun, itu akan tetap terjadi. "Udah biasa. Santai aja."

"Mm, senyum dong, Tra."

Aku mendengus. "Jangan norak, deh, Xav."

"Ah, pelit senyum banget emang juga! Yaudah, ayo ke taman belakang." Xavier langsung menarikku begitu daja. Aku menurut. Taman belakang sekolah itu tempat favoriteku di sekolah ini—Harapan Bangsa High School.

Sampai di taman belakang, kami duduk bersebelahan di bangku besi yang sudah mulai berkarat. Maklum saja, taman belakang ini memang jarang berpenghuni. Jarang di jamah. Seperti terbuang. Sama, seperti diriku, ya? Ha-ha.

"Mm, Tra," panggil Xavier. Aku menoleh.

"Ya?"

"Gue mau ngomong, Tra," ucap Xavier. Kalau nada bicaranya tidak seserius ini, kemungkin aku akan menjawab dengan 'ya tinggal ngomong' atau apa. Tapi, nada bicara Xaver kali ini berbeda.

"Ng-ngomong apa?" Entah kenapa, jantungku malah-malah berdetak kencang. Aduh, apa-apaan coba.

"Gue suka sama lo," ucapnya setelah beberapa saat terdiam. "Gak, gak. Gue sayang sama lo. Atau bahkan.. gue cinta sama lo, Tra."

Aku bergeming. Masih shock dengan pengakuannya. Ya Tuhan. Aku pikir, rasaku pada Xavier tidak terbalaskan. Tapi ternyata, aku salah. Xavier juga punya perasaan yang sama denganku. Untuk pertama kalinya setelah belasan tahun, aku merasakan Bahagia. Menimbulkan kehangatan yang luar bisa juga. Efeknya besar sekali, ya.

"Tra? G-gue—"

Aku segera saja memotong. "Gue juga." Well, aku bahkan tidak tahu kenapa aku mengatakan itu.

"Lo.. juga?" Xavier seperti sama shock-nya denganku.

Aku mengangguk. "Ngg, iya."

Xavier tersenyum lebar. Mau tak mau, aku ikut tersenyum juga. "Kalau gitu, lo.. mau, gak, jadi.. mm, pacar gue?" Aku bahkan tidak pernah melihat Xavier segugup ini. Lucu.

"Harus banget di jawab?" Aku mengerling jahil ke arahnya. Jangan di tanya lah, aku pasti akan menerimanya. Semenjak Mom meninggal, sumber kebahagiaanku hanya Xavier. Xavier seorang.

Xavier mendesah, "Tra, gue serius."

Aku tertawa, lalu menjawab, "Iya, Xavier. Gue mau."

"Jadi.. kita?"

"Pacaran," kataku, mencoba sedatar mungkin. Padahal, err, kata itu terasa asing bagiku. Terasa.. ah, begitulah.

"Oh Tuhan. Elektra King Lynn pacar gue!" Kata Xavier norak. Tampak tak percaya.

Sama. Aku juga. Aku sama sekali tidak percaya kalau detik ini, aku sudah menjadi pacar seorang Xavier. That Xavier. Xavier yang sahabatku sejak aku masih ingusan. Cinta pertamaku—serius. Sumber kebahagiaanku. Dia milikku sekarang. Milikku.

"Jangan norak, Xav," kataku. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Asal jangan melihat mata biru Xavier, pokoknya.

"Tra, gue mau kasih lo ini," ia memutar kepalaku sampai aku menatapnya. Ah.

"A-apa?"

Xavier mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Dan memperlihatkanku benda itu.

Sebuah kalung. Dengan liontin berbentuk biola. Cantik, sungguh.

"Itu..?"

"Buat kamu, Tra."

"A-aku..?" Dan sekarang, aku ber-aku-kamu ria dengannya.

"Ini liontin yang Mom kasih ke aku sebelum dia meninggal," ucapnya. Itu satu kesamaanku dengan Xavier. Ibu kami sama-sama sudah berada jauh di sana—Surga. "Dan, Mom bilang supaya aku kasih kalung ini ke seseorang yang paling berharga untuk aku. Yang akan mendampingi aku seumur hidupku. Perempuanku."

Jantungku berdetak tidak beraturan. Ya Tuhan. Itu berarti, Xavier mengatakan kalau aku adalah yang paling berharga dalam hidupnya secara tidak langsung. Paling berharga. Aku merasa, aku perempuan paling beruntung di dunia—terlepas dari masalah keluargaku, sungguh.

"Xav.."

"Aku mau kamu pake ini, Tra."

Aku masih tak bisa berkata-kata. Jadi, aku hanya bisa mengangguk.

Lalu Xavier mamakaikan kalung dengan liontin indah itu.

"Kamu suka, gak?" Katanya kemudian.

Aku mengangguk, tersenyum. "Ini kalung paling indah yang pernah aku lihat, Xav." Aku bukannya menggombal atau bagaimana. Aku serius.

Xavier ikut tersenyum. Lalu Xavier mendekat. Aku bergeming.

Detik berikutnya yang aku tahu, bibir Xavier mendarat di bibirku. Kecupan yang lembut. Aku menahan nafas.

Hanga terhitung benerapa detik saja. Dia melepaskannya. Akhirnya, aku bisa bernafas dengan benar lagi.

Aku masih shock. Untuk kedua kalinya hari ini. Aku memilih untuk menundukkan kepalaku. Malu. Wajahku pastu sudah memerah. Pasti.

Aku dapat mendengar kekehan Xavier. Lalu, ia mengangkat daguku. Aku kembali menatap mata biru Xavier.

"Aku sayang kamu, Tra. Jangan pernah tinggalin aku, ya?"

Aku tersenyum. Lalu mengangguk dengan pasti.

Tidak. Aku tidak akan pernah meninggalkan sumber dari kebahagiaanku. Tidak akan pernah.

It HurtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang