"Mengulang kenangan buruk itu seperti air lemon yang disiramkan ke atas luka bakar yang masih basah. Perih."~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Flo melangkahkan kaki pelan memasuki gerbang. Ia mengembuskan napas berat. Entah sudah ke berapa puluh kalinya ia melakukannya, berharap beban sedikit berkurang. Jika saja Jayden tak meninggalkannya tadi di depan gerbang, pasti keadaan tak seburuk ini.
Gugup. Takut.
Dua kata itu yang sejak tadi memenuhi rongga dada Flora Renata. Ini hari kedua ia menginjakkan kaki di gedung berlantai tiga ini. Hari pertama adalah dua hari yang lalu dimana ia ditemani ayahnya untuk mendaftarkan kepindahan ke sekolah ini. Sebenarnya jika boleh jujur, ia lebih suka bersekolah di sekolahnya dulu. Meskipun pada kenyataannya sekolah baru ini tak beda jauh dengan sekolah lama.
Flo sadar, persoalan sebenarnya bukan pada sekolah baru atau sekolah lama, tapi dirinya. Ya, ia yang sulit beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan tempat baru. Karena ini berarti kemungkinan ia harus mengulang semua adegan pertama kali masuk SMP atau SMA lama dulu.
Bagi kebanyakan remaja sepertinya, mungkin akan sangat menyenangkan saat masuk sekolah baru, dengan seragam baru dan bisa berkenalan dengan teman baru. Tapi tidak bagi Flo. Ini sangat sulit dan rasanya selalu sakit. Karena Flo tak seperti remaja lain, seperti yang mereka katakan bahwa dirinya berbeda. Terlalu sulit baginya mendapatkan teman dan dirinya akan berakhir sendiri. Selalu seperti itu. Seperti saat dirinya masuk SMP dan SMA yang lama.
Apa boleh buat, takdir sepertinya senang sekali mempermainkan. Ibunya dipanggil Allah lebih cepat, meninggalkannya sendiri di dunia. Dan sekarang, ia harus tinggal bersama keluarga baru ayahnya yang berarti harus tinggal juga bersama ibu serta kakak tiri yang dulu belum pernah ia sekali pun.
"Permisi, Pak," ucapnya serak. Tenggorokannya terasa kering meski sejak tadi tak terhitung berapa kali ia menelan ludah.
Ia berdiri di depan pintu ruang tata usaha yang berada di lantai satu dekat lapangan. Seorang pria muda yang sedang merapikan berkas-berkas di meja mendongak dan menatapnya lama—tepat di bagian kaki kanan. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa sakit setiap mendapatkan jenis tatapan seperti itu.
"Kamu siswa pindahan yang kemarin diantar Pak Arya, kan? Mari silakan masuk."
"Kamu sudah bawa kekurangan berkas yang kemarin?" tanya pria itu setelah Flo masuk dan langsung duduk di kursi yang disediakan.
Flo mengangguk pelan dan segera mengambil berkas yang dimaksud dari dalam tas gendong. Ia langsung menyerahkannya pada pria itu.
"Baiklah, tunggu sebentar. Saya akan memeriksa kamu ditempatkan di kelas mana." Pria itu membuka-buka map yang berada di atas meja dan mulai membacanya. "Nah, ini kamu di kelas XII IPA-2. Mari saya tunjukkan kelasnya."
Flo berjalan tersendat-sendat mengikuti langkah kaki cepat petugas tata usaha itu. Inilah yang paling membuatnya kesal, berjalan mengikuti orang yang tidak paham kondisinya sama sekali. Ia mendongak saat mereka sampai di bawah tangga menuju lantai dua. Matanya membulat dengan degup jantung yang yang berdebum.
"Apa kelas saya d lantai dua, Pak?"
Pertanyaan itu memantul di dinding hatinya dan mulutnya sama sekali bungkam. Flo menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Percuma, bertanya pun tak mengubah keadaan. Ia menelan ludah sekali lagi. Petugas tata usaha itu sudah sampai di anak tangga ke lima. Ia masih berdiri di bawah, mendongak ke atas menatap undakan anak tangga di depannya.
Sebanyak lima belas anak tangga harus ia naiki. Flo memejamkan mata sejenak sebelum mulai melompat ke anak tangga pertama. Tangan kirinya mencengkeram erat pegangan tangga. Ini memang sebuah tantangan baru, karena di sekolah-sekolah sebelumnya Flo selalu ditempatkan di lantai satu sehingga tidak perlu naik-turun tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Wings (Pindah Ke Dreame)
Teen FictionCerita ini pindah ke dreame ya. Kalian bisa baca di sana mumpung masih gratis. Terima kasih. "Cinta sempurna bukan karena kita berusaha mencari cara untuk mendapatkan dia yang sempurna dalam segalanya untuk kita cintai. Tapi cinta sempurna karena k...