SEPANJANG JALAN

9 1 0
                                    

Disini aku berada di sebuah mobil berwarna hitam yang mana sedang dikendarai oleh Mang Lili. Aku hendak berangkat ke kampus, jaraknya lumayan jauh, bisa menghabiskan waktu tempuh sekitar 30 menit kalau sedang tidak macet dan berjam-jam kalau macet. Keadaan jalanan saat ini, tidak terlalu macet. Biasanya di hari rabu ini selalu macet, karena banyak orang yang juga ingin beraktivitas entah itu pergi kerja, sekolah dan mungkin juga hal-hal lainnya.
Mang Lili menyalakan sebuah musik dangdut dengan volume sangat keras di mobil. Seketika saat itu aku kaget, dan juga ingin tertawa. Mungkin maksud Mang Lili adalah hanya untuk ingin mencairkan suasana agar tidak sepi. Mang Lili ini umurnya sudah puluhan tahun tapi sikapnya selalu so merasa bagai anak muda dan mungkin anak muda juga akan kalah gaul olehnya.
“Ih si amang, apaan sih! Berisik tauuuu..”
“Biarin atuh non biar gak bête hehe,”
“Uhuyyy… Tau bête euy,”
“Ya harus dong non, sebagai orangtua yang hidup di jaman modern perlu dan wajib mengikuti perkembangan jaman. Jadi harus ikutan modern juga,” ucapnya seraya mengelus-ngelus rambut.
Aku hanya tertawa melihat tingkah laku Mang Lili. Tapi musik dangdut yang sedang dinyalakannya, seketika ku matikan dan menggantinya dengan musik beraliran pop.
“Ih ngapain diganti non?”
Aku menghiraukan pertanyaan Mang Lili, sebuah pertanyaan yang mana itu adalah sebuah lontaran protes yang di ucapkan dengan cara tidak langsung.
Musik pop yang baru saja ku nyalakan mulai terdengar suara lagunya, lagu yang tak asing terdengar di telinga.
Aku terlalu rapuh untuk mengenang memori-memori indah
Aku terlalu sakit untuk mengenang dirimu
Aku terlalu takut untuk mengenang memori-memori indah
Aku terlalu sakit untuk mengingat wajahmu
Duhai kekasih kau selalu di hatiku
Lagu itu adalah lagu yang berjudul “Memori Indah” dinyanyikan oleh Achi. Aku ikut hanyut dalam lagu itu dan lagu itu mengingatkan ku akan suatu hal. Menyakitkan? Tidak, hanya saja membuatku beku perasaan. Tidak merasa sakit juga merasa pedih, mungkin terlalu sakit dan pedih sehingga yang ku rasa saat ini adalah beku perasaan.
Apapun yang terjadi di masa lampau seharusnya tidak harus mengakibatkan masa sekarang. Dan apa yang terjadi padaku saat ini adalah masih di bayang-bayangi akan masa lampau. Tak ingin kembali mencoba dan membuka hal baru, karena takut akan terjadinya hal yang sama seperti kejadiaan dulu. Dan hari ini, di masa ini aku hidup masih dengan pembekuan perasaan yang tak kunjung-kunjung mecair. Heran adalah suatu jawaban dari kenapa, yang mampu ku jawab.
Mang Lili melihatku sekilas, mungkin heran juga karena aku terlihat melamun. Aku berusaha untuk bersikap normal kembali agar tidak menimbulkan kecurigaan terhadapnya. Air bening yang menetes membasahi pipi, segera ku hapus. Mata kosong, melihat jalanan yang penuh dengan kendaraan, segera ku atur untuk terlihat lebih berbinar. Sebisa mungkin, aku mencoba untuk terlihat sebaik-baiknya di mata orang.
Aku tidak menipu, hanya saja itu sebagai suatu cara untuk membuat orang tidak khawatir akan diri kita. Semoga ini tidak menjadi beban hidup yang begitu teramat sulit, esok jika semuanya sudah kembali normal ku pastikan apa yang terjadi ini adalah suatu hal terburuk yang tak harus kembali terulang.
“Eh si non malah ngelamun,”
“Apasih mang, siapa yang melamun? huh,”
“Itu dari tadi diem mulu,”
“Lagunya mang, bikin sesuatu,”
“Cieeee... baper ya?”
“Nah iya tuh, baper kayaknya hahaha,”
“Aduh anak muda memang aneh, tuhkan dari pada lagu gitu mending lagu kataji,”
“Apaan tuh lagu kataji? Aneh nih amang,”
“Ituloh non, lagu yura.”
“Masa ada sih? Kok aku gak tahu ya mang?”
“Yee, kalau gak percaya dangukeun yeuh dangukeun, amang mau nyanyi,” (Dangukeun = Dengarkan)
“Iya mangga mangga,” (Mangga = Silahkan)
“Na kunaon? Na kunaon? Na kunaon?
Ieu hate bet kataji
Ka iwat endahna basa
Ka irut imut nu manis
Hate bet kataji
Uuuuhh…”
Aku tertawa mendengar Mang Lili menyanyikan lagu yang katanya berjudul kataji dan juga bertepuk tangan, untuk menyenangkannya karena merasa di hargai. Demi apapun, hari ini di hari rabu aku merasa sungguh terhibur, oleh karena apa yang dilakukannya.
***
Apapun yang terjadi di hari ini, bersyukurlah karena masih mempunyai orang-orang yang mampu membuatmu tertawa. Jangan pernah merasa sedih, hanya karena satu orang. Lihatlah… masih banyak orang yang ingin melihatmu tertawa. Lakukan apa yang seharusnya dilakukan, berbahagialah kamu. Mari tertawa! Hilangkan sedih dan buanglah beban…
Untukmu Elangga Septa Andala, kepadamu aku berusaha untuk bisa membuka hati ini. Maafkan jika ini membutuhkan waktu panjang, karena luka yang lalu terlalu dalam tergoreskan. Bersabarlah untuk senantiasa menungguku, karena saat ini aku juga sedang menunggumu untuk bisa hadir di dalam hatiku. Bantu aku…


ARDANARFITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang