KEMBALI KERUMAH

21 1 0
                                    


Berharap hari ini akan usai dan segala urusan-urusannya sudah terselesai tanpa perlu ku selesaikan. Aku mengusap kening yang basah oleh keringat yang mengucur akibat hadirnya panas yang disebabkan oleh munculnya matahari. Hahh.. lagi-lagi masalah selalu muncul dengan tak tahu dirinya, aku merasa sudah lelah dan juga jengah.

"Non Narfi!"

Kudapati suara yang khas dan sudah tak asing lagi terdengar memanggilku. Itu adalah suara dari Mang Lili. Yang mana ia sekarang mau menjemputku untuk pulang. Hari sudah sore, kira-kira pukul 17.12 wib saat ini. Aku tersenyum ketika melihat Mang Lili, seraya berjalan ke arahnya. Rasanya ketika melihat Mang Lili, semua beban berat tiba-tiba tumpah dengan sendirinya.

"Mang Lili!"

"Ih si non, kayak lihat apa aja ngeliat amang. Cieee.. ngefans ya?"

"Ih apaan sih amang! Mana mau Narfi ngefans sama amang. Suka ngaco nih ya." ucapku seraya tertawa.

Kulihat Mang Lili mengedarkan pandangannya, seperti sedang mencari sesuatu. Aku jadi penasaran sedang mencari apa sih Mang Lili ini?

"Amang tuh nyari apa sih? Kan Narfi udah disini!" ucapku kesal.

"Enggak, amang hanya nyari orang."

"Siapa?"

"Pacar non Narfi, masa sih cantik gini gapunya pacar?" godanya,

"Hih apaansih! Gaada mang, udah ah gak usah ngaco!"

"Hehehehe,"

Mobil pun melaju dari parkiran kampusku, lelah sekali rasanya. Tapi entah kenapa aku jadi memikirkan Elang. Hari ini adalah hari pertama, kami bercengkrama dengan durasi yang bisa dibilang panjang.

Kalau dipikir, kita sedang sama-sama menunggu ya. Kamu menunggu dia dan aku menunggu kamu. Aku akan buktikan jika menungguku jauh lebih kuat dari kamu yang menunggunya.

Hah.. kata-kata iu terus berputar dalam memori otakku juga terngiang di telinga. Aku begitu heran bila harus berbicara dengan rasa. Rasanya hidup hanya untuk mengarah pada suatu titik yaitu "Rasa Cinta" seperti tidak ada hal lain saja. Bukankah kata Chairil Anwar dalam puisinya yang berjudul "Derai-derai Cemara",

Hidup hanya menunda kekalahan

Apalagi yang dicari manusia sebenarnya? Mereka hanya melakukan apa yang tidak perlu dilakukan sebenarnya. Mereka itu terlalu berpikir pendek, tanpa mempertimbangkan dampak kedepannya. Kalau dalam bahasa Sunda, Kumaha Engke (Gimana nanti).

"Non Narfi, bengong aja! Mikirin pacarnya ya?"

Suara mang Lili membuyarkan lamunanku, aku tersenyum mendengarnya. Selalu saja begini, ia tahu posisi dimana aku sedang berada pada pikiran sesuatu yang berat. Sikapnya yang humoris membuat siapa saja yang berada dekat dengannya pasti akan tertawa.

"Enggak ih! Mang tadi ayah atau bunda ada telepon gak?"

"Oh itu, ada kayaknya tapi ke telepon rumah. Yang ngangkat pasti si Bi Susi!" ucapnya seraya tetap fokus menyetir mobil.

"Hmmmm," gumamku.

"Kangen ya?"

"Banget,"

"Nanti juga pulang,"

"Hahh untuk apa? Kalau hanya sekedar ganti baju doang,"

"Ishhhh Non Narfi, gaboleh gitu. Mending mampir ke rumah Eyang yuk?"

Rumah Eyang? Sebenarnya aku rindu ingin jumpa bersama Eyang, ingin bercengkrama dan juga menyastra. Kalau aku bertemu Eyang pasti kami akan berbicara biasa seperti sedang membaca puisi. Karena kata-kata obrolan yang kami ucapkan akan bermajas juga gaya bicara kami akan percis bagai orang yang sedang membaca puisi. Hah aku rindu Eyang. Ingin memeluknya, menciumnya dan meluapkan segala masalah ini padanya. Eyang mengerti aku, aku juga mengerti Eyang. Mungkin Eyang disana sendirian dan kesepian, seperti halnya aku.

"Eyang, maafkan Narfi. Tapi Narfi sayang Eyang. Semoga Eyang sehat terus, kalau waktunya tepat Narfi akan berkunjung ke buah batu untuk bertemu Eyang." batinku.

"Eh non malah bengong!"

"Eh iya mang, ke rumah Eyang ya? Euuu, sebenarnya pengen sih. Tapi kayaknya gak hari ini. Narfi lagi capek banget, tugas juga numpuk."

"Hmm, yaudah gapapa. Tapi kalau mau ke buah batu, bilang aja ya non,"

"Siap deh!"

Kini aku dan mang Lili sudah memasuki perumahan yang bisa dibilang elite di kawasan Ciwastra. Sebentar lagi aku sudah sampai dirumah, rasanya ingin cepat-cepat. Ketika sampai dirumah, aku ingin membersihkan diri, makan, rebahan, buat naskah teater, dan juga pergi ke warung kopi lalu membaca puisi. Eh atau, sesudah makan langsung ke warung kopi dulu ya? Mungkin begitu saja deh, biar lebih enak. Sekarang sudah pukul 19.00, waktu yang sedikit telat sampai dirumah. Oh iya, di persimpangan jalan aku dan Mang Lili membeli dulu martabak. Tentunya untuk dimakan. Dan pasti yang akan ngabisin adalah Bi Susi, si ratu martabak. Dia sukanya martabak coklat, aku membeli sesuai kesukaannya. Walaupun ini juga mendapat protes yang menggebu dari Mang Lili. Karena mang Lili sukanya martabak kacang.

Sampainya di rumah, aku disambut hangat oleh Bi Susi yang cerewet. Sumpah ya, baru saja mobil sampai di pagar rumah, dia langsung lari menyambut dan teriak memanggil namaku seperti tidak bertemu selama sebulan saja.

"Non Narfiii!" teriaknya.

"Aehh.. Aehhh.. sugan gelo ari si Susi! Karek ge datang." ucap mang Lili. (Gila kayaknya si susi! Baru juga datang).

"Ih amang gaboleh gitu," ucapku seraya menyenggol lengannya.

"Hehehehe,"

Ketika turun dari mobil, Bi Susi dengan refleksnya menarik tanganku juga dengan semangat ia menceritakan masakan apa saja yang ia masak untukku pasti enak. Aku hanya tersenyum mendengarnya seraya ku lirik Mang Lili yang cemberut lalu memelerkan lidah, aku tertawa karena lucu melihat tingkah dua orang yang selalu setia menjagaku, memberikan sesuatu yang ku suka, sesempurna mungkin dengan penuh ketulusan.

"Bibi sudah masakin makanan kesukaan Non Narfi loh,"

"Oh ya? Apa aja bi, aduh jadi gak sabar nih,"

"Banyak pokoknya, yaudah mandi dulu. Nanti bibi siapin makanannya ya?"

"Oke bi, eh ini," ucapku seraya memberikan martabak coklat yang tadi kubeli bersama Mang Lili.

"Apa ini?"

"Martabak coklat," ucapku seraya berlalu menuju kamar.

"Wah makasih ya Non," teriaknya senang.

Kulirik sekilas Bi Susi, ia terlihat girang sekali. Tapi disana juga ada mang Lili. Mereka rebutan martabak. Lucu. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah mereka.

***

Disini kita hidup untuk kalah lalu bangkit lalu kalah lagi lalu bangkit lagi, seperti itu. Aku selalu berusaha bersyukur atas apa yang Tuhan beri di kehidupanku. Ya, walau aku ingin Bunda, aku ingin Ayah. Tapi Tuhan hadirkan mereka, orang-orang yang rela melakukan apa saja untukku, melakukan hal yang hanya untuk terlihat sempurna dimataku, dan dirasaku. Aku berterima kasih, kepada semua pihak yang rela membuatku merasa hidup sempurna. Walau ku tahu, sempurna itu tak ada. Sempurna hanyalah milik Tuhan, Allah swt. Aku sangat mengakui itu.

Disana di tempat lain, seseorang sedang menulisku. Menggoreskan suatu kisah dalam kertas ini, dan membuatku hidup. Aku tidak tahu, apakah aku ada dan nyata atau hanya lahir didalam sebuah cerita ini. Namun, ketika kalian menganggapku ada, mungkin aku ada. Kalaupun kalian menganggapku tak ada, berarti aku memang tak ada.

Kita hidup di bumi, tempatnya manusia berkumpul dan ada juga makhluk lainnya. Ingin ku sampaikan pada setiap pihak yang ada, jika kita hidup hanya untuk membuka mata dan lalu menutup mata. Tak ada yang perlu di banggakan.

Aku ingin fana, tapi seseorang disana telah menunjukku ada. Dan menggoreskan cerita yang rumit untuk ku jalani. Aku ingin tak ada. Hapus aku..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 31, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ARDANARFITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang