Kali ini aku sudah sampai di depan kampus, dan meninggalkan Mang Lili di mobil. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai di gedung kuliah Fakultas Humaniora yang mana dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Jadwal hari ini bisa dibilang padat, karena aku juga harus latihan teater untuk acara Bulan Bahasa yang diadakan oleh jurusanku, sastra Indonesia.
“Ardaaaaaa...” teriak seseorang.
Aku kenal betul siapa orang yang sudah memanggilku itu, dari nada suaranya yang cempreng dan jelas tidak enak untuk di dengar. Tapi aku selalu merindukannya, sebutlah dia Neiryna Zakhira Fathir. Selalu ku panggil Ney, di karenakan banyak huruf ‘R’ nya. Harus ku akui, kalau seorang Ardanarfita ini kurang fasih ketika menyebutkan huruf ‘R’.
Neiryna Zakhira Fathir, sahabat yang sangat berjasa dalam hidupku. Aku mengenalnya sewaktu OSPEK dulu ketika awal masuk universitas ini. Dan kami berdua menjadi semakin akrab, karena dia sudah menolongku dari usilan si ratu heboh di kelas beserta antek-anteknya, namanya Reina Tantania Marsida. Sebagai tanda balas jasa, aku harus membantu Ney terkait hal-hal yang berhubungan dengan sastra. Karena selama ini Ney termasuk salah satu orang yang salah jurusan, dia seharusnya berada di jurusan arsitek karena jago dalam urusan gambar menggambar. Akibat dari Ayahnya yang merupakan salah seorang penulis, dengan sangat amat berat hati Ney harus mengikuti jejak ayahnya dalam dunia sastra.
Aku heran kenapa setiap anak harus mengikuti jejak orangtua nya, padahal anak punya dunia dan kesukaannya sendiri. Tidak selamanya apa yang disuka orangtua juga disuka anak. Aku beruntung, walaupun Ayah dan Bunda begitu sangat sibuk, tapi mereka tidak pernah menuntutku untuk menyukai suatu hal yang mereka sukai. Karena mereka mengerti duniaku, dunia sastra seperti halnya eyang yang juga sangat pandai menulis.
Eyang Sadniya Cipta, Ibu dari Ibu yang sangat gemar dalam dunia tulis. Sastra baginya sangat berperan penting di kehidupan, karya-karyanya banyak yang terkenal dan juga membuatku iri karena tidak bisa sepertinya. Eyang Niya tinggal di daerah buah batu, ditemani oleh seorang pembantu yaitu Bi Yanti. Kadang jika punya waktu luang, aku selalu mampir ke rumah eyang. Disana kami akan menyastra sampai tiada batas. Bicara tentang Eyang Sadniya membuatku jadi merindukannya.
“Oyyy Arda, are you okay?” tanya Ney, membuyarkan lamunanku.
“Apasih? Emang aku kenapa?”
“Bengong mulu ya, mikirin apasih? Mikirin Elang ya?”
“Elang? No, apaansih!”
“Ciee ngambek niee,”
“Uh berisikkk ya Ney!”
Ney refleks membungkam mulutnya, lalu dia tertawa mengejek. Aku tentu saja dibuat kesal oleh karenanya dan aku tidak pernah suka orang menertawaiku walaupun itu suatu hal yang dapat menghiburku. Rasanya bodoh saja bila harus menertawakan diri sendiri, seperti tidak ada hal lain saja yang harus di tertawakan.
“Arda, Ney, ngapain masih di sini? Bentar lagi mata kuliah Teater akan segera dimulai. Mau lo berdua di marahi lagi dosen killer?” cerocos Dervano.
“Ya ampun, gue lupa kalau sekarang ada matkul teater. Oh dosen killerrrrr…” histeris Ney.
“Gak usah pada lebay deh ya, nanti aku aduin kalian berdua sama Pak Narda. Pak Narda dibilang killer nih sama Ney dan Vano hahahaha, yakin deh pasti kalian berdua langsung dapat nilai D.”
“Gila lo Arda, teman macam apa lo?”
“Tau lo da, masa tega sih sama kita.”
“Kenapa juga aku harus gak tega?”
“Ciee aku kamu euy ngomongnya, jadi malu gue kan bilangnya loe gue hehe,” ucap Vano.
“Ih Vano kayak gak tau aja, Arda kan anak baik.”
“Duh pantes Arda di sayang Pak Narda,”
“Heem jadi takut ih di aduin sama Pak Narda kalau kayak gini,”
“Yaudah deh, pasrah aja Ney kita mah.”
”Ih berisik tau! Udah deh kalian tuh jangan lebay! Ayo kita ke kelas!”
Kami bertiga pun segera ke kelas, karena sebentar lagi akan di mulai matakuliah teater sekaligus juga pemilihan pemeran utama yang akan dipentaskan nanti di acara Bulan Bahasa jurusan sastra Indonesia. Dosen matakuliah teater namanya, Pak Narda, kata anak-anak beliau ini killer. Tapi menurutku tidak begitu, mereka saja yang terlalu dramatis menilai seseorang. Dulu di acara Bulan Bahasa untuk mahasiswa baru, ketika awal masuk. Aku dan Vano terpilih menjadi pemeran utama dalam teater berjudul “Lentera Air Mata”. Dan disitulah aku dan Vano menjadi akrab.
Namanya itu Dervano Alganta Bijaya, berjenis kelamin laki-laki. Menjadi sahabatku semenjak kami berdua akrab dalam memerankan peran utama di teater awal masuk universitas ini, khususnya yang diadakan jurusan kami. Anak nya lucu dan juga baik, sangat cocok untuk di ajak diskusi sastra, karena wawasannya sungguh luar biasa luas. Ada beberapa hal yang dia miliki mempunyai kesamaan denganku, dan mungkin ini alasan kami menjadi sahabat sampai saat ini.
***
Kemanapun kaki berpijak jauh, suatu hari nanti tetap kau akan butuh seorang sahabat. Sahabat itu bagaikan udara yang tidak bisa kau lepas dari kehidupan. Bagaikan angin yang selalu datang membawa kesejukan hati. Bagaikan air yang mengalir memberi kehidupan dengan tulus.
Sahabat itu tidak mengenal waktu dan kondisi. Dimanapun dan kapanpun, ia selalu hadir tanpa perlu diminta. Senang, susah, sedih dilalui bersama tanpa silih acuh tak acuh. Sahabat itu seseorang yang hadir dengan membawa segenap ketulusan di jiwa.
Aku lahir ke bumi ini, diberkahi suatu alat untuk bernafas menghirup udara sebebas-bebasnya. Dan itu takkan berarti jika ku lakukan itu sendiri tanpa hadirnya sahabat disisi.
Kepada kalian Neiryna Zakhira Fathir dan Dervano Alganta Bijaya, terimaksih sudah mengizinkanku menjadi sahabat kalian. Terimakasih selalu ada di saat kapanpun aku sendirian. Kalian adalah orang-orang yang dianugerahkan Tuhan untuk menemani hidupku, bahkan disaat aku sedang jatuh pun. Terimakasih untuk segala-galanya.
Salam sayang, semoga bahagia selalu menemani hari-hari kalian…
KAMU SEDANG MEMBACA
ARDANARFITA
RomanceAku lahir dengan nama Ardanarfita Reihandi Cipta. Jenis kelamin perempuan. Aktivitas sebagai mahasiswi jurusan sastra di Perguruan Tinggi Negeri. Lahir dalam cerita ini dengan segenap perjuangan dari penulis. Aku bersyukur telah terlahir. Ada atau t...